Enam belas!

393 41 20
                                    

Tatapan Manaka terfokus pada cairan infus yang mengalir melalui selang yang tertancap di punggung tangan kanan Miyu. Hanya sepersekian detik saja, lalu pandangan kedua matanya berpindah ke sosok yang duduk di sebelah Miyu, Kumi.

Sejak selesai mendapat penanganan, Kumi tidak pernah beranjak dari posisinya saat ini. Meski luka jahitan, kain kasa dan darah yang mengering di bagian leher bajunya menjadi saksi betapa ia dibenci oleh keluarga pasangan hidupnya yang ia kecewakan.

Bukannya tidak mau menemani Kumi menunggui Miyu di sisi ranjang, Rika lebih memilih menahan Manaka agar ia tidak kembali melukai Kumi seperti sebelumnya. Berbekal pelukan erat di lengan kiri, Rika berhasil membuat tubuh Manaka tidak bergerak kemana pun. Padahal Rika bisa merasakan kalau tarikan nafas Manaka tidak senormal biasanya karena emosi yang tidak kunjung mereda. Maka Miku yang menggantikan posisinya.

Sama halnya dengan Manaka, Miku juga harus 'ditahan'. Untunglah Nao cepat memindahkan Hinano ke pangkuan Miku. Dengan begitu, anak kedua keluarga caplang ini enggak bisa melakukan hal nekat. Memi? Dia juga sengaja duduk di sebelah Miku.

"Kak.." mulut kecil Memi memanggil Kumi.

"Y-Ya?"

"Kalau terjadi apa-apa ke kak Miyu dan bayinya. Seumur hidup, aku enggak akan maafin kakak!"

Semua tertegun mendengar ancaman yang keluar begitu saja dari mulut Memi. Ancaman yang seakan mewakili perasaan dari seluruh anggota keluarganya.

Kumi hanya mengangguk. Memang ini semua salahnya. Maaf saja mungkin tidak cukup ia dapatkan dari keluarga pasangan hidupnya ini. Bahkan masalahnya dengan Shiho saja belum terselesaikan karena hatinya dipenuhi rasa khawatir kepada Miyu yang tidak pernah memberinya kabar sejak ia memutuskan pergi ke rumah keluarganya.

Sedikit pergerakan di kelopak mata Miyu menggerakkan semua orang yang menungguinnya sejak tadi malam. Miyu akhir sadarkan diri.

"Maaa..." panggil Miyu lirih.

"Iya sayang" Rika mendekat. Menduduki kursi yang diberikan Miku padanya.

"Kenapa? Masih sakit? Mau dipanggilin dokter?"

"M-Miyu..." kali ini giliran Kumi.

Pelan kepala Miyu mengarah ke kanan. Sebentar saja, lalu Miyu kembali menatap ke arah kiri, ke arah keluarganya yang secara enggak sengaja berkumpul di sana semua.

"Miyu mau..... ngomong sebentar.... sama Kumi....."

"Ya udah. Ngomong aja sayang"

Miyu menggeleng lemah, "Cuma berdua aja. Yang lain.... bisa keluar sebentar?"

Saling melempar pandangan, Rika lah yang pertama kali paham dengan maksud anak sulungnya ini. Setelah membenarkan rambut depan yang menutupin wajah Miyu dan memberikan satu kali kecupan, Rika menyuruh semuanya keluar. Membiarkan Miyu dan Kumi menyelesaikan masalah mereka.

Setelah semuanya keluar dan hanya ada Miyu dan Kumi, tidak ada di antara mereka berdua yang memulai pembicaraan.

Hingga, isak tangis yang terdengar membuat hati Miyu merasa pilu.

"Hei.. kamu kenapa nangis?"

"a...aku tau..... maaf aja.... enggak cukup.... tapi aku..... aku benar-benar..... masih sayang sama kamu Miyu...." ucap Kumi sembari menahan tangis yang ingin ia luapkan.

Tangan Miyu berusaha mengusap wajah Kumi yang dibasahi air mata. Berusaha kuat meski sebenarnya, dia sama-sama ingin menangis.

"Bagaimana kalau aku... enggak..."

"j-jangan......"

"Bukan gitu maksudnya. Bukan aku enggak sayang lagi. Aku masih sayang sama kamu, Kumi. Tapi untuk percaya lagi ke kamu... jadi hal yang sulit"

The Caplang's, RETURN!!! (II) [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang