19 (Special Part)

346 38 9
                                    

Melanjutkan perkuliahan di München, Erika kini tengah mengambil semester pendek sambil mengerjakan skripsi. Bolak balik perpustakaan demi memperbaiki soft file skripsinya, Erika juga mulai kerja sambilan ketika malam hari. Erika semakin serius dengan niatnya untuk menikahi Memi suatu hari nanti.

Waktu istirahatnya juga kadang diganggu Memi yang butuh hiburan setelah lelah belajar sebelum ujian. Mendengar suara Memi menjadi obat tersendiri bagi Erika dikala rasa lelah menyerang tubuhnya.

..

..

"entschuldigung (permisi)"

"Himeka..?"

"Haaai~"

Erika yang baru rebahan di lantai setelah pulang dari kampus kedatangan tamu. Sahabatnya, Himeka.

"Ngapain sih tiduran di lantai?"

"Capeeek"

"Nih! Aku buatin melonpan! Kangen sama Memi kan? Hihi"

"Hahaha.. ada ada aja"

Erika lantas duduk. Disusul Himeka yang duduk di depannya. Tangannya membuka kotak berbahan plastik, menebar aroma manis khas roti yang membuat perut berbunyi.

"Silahkan.." Himeka mengacungkan kotak plastik tersebut pada Erika.

"Makasih. Pas banget aku lagi kelaparan"

Erika mengambil salah satunya. Memotongnya menjadi dua bagian lalu melahapnya.

"Gimana? lecker? (Enak?)"

Erika mengangguk. Beruntung sekali Himeka membawakannya melonpan. Selain mengobati kerinduan, rasa laparnya juga hilang.

"Umh. Aku ambil minum dulu ya. Mau minum apa?" Tanya Erika setelah menaruh melonpan yang sisa setengah.

"Air putih aja"

Erika paham. Kalau Himeka hanya meminta air putih berarti sahabatnya ini baru selesai minum obat atau baru selesai terapi. Kelihatan kalau Himeka juga tidak ikut memakan roti melonpan.

..

..

..

Jatah roti melonpan Erika udah habis. Lanjut ngobrol berbagai topik, kadang ketawa tanpa sebab. Erika benar-benar bersyukur karena Himeka udah diperbolehkan keluar dari rumah sakit, meski harus menjalani terapi setiap harinya. Paling tidak, ada peningkatan.

"Jadiiiiiii. Kapan kamu mau melamar gadis kecil bertelinga besar itu Erika?"

"A...... Aaahahaha. Akan ada saatnya. Tunggu saja!"

"Heeee. Benarkah? Jangan lupa undang aku ya"

"E.. Um.. i-iya.. pasti"

Dari nada bicaranya, terdengar ada keraguan dari dalam hati Erika. Tatapannya mendadak kosong meski bibirnya masih sanggup tersenyum tapi tidak seceria biasanya.

Pelan Himeka bergeser. Merapatkan diri ke tubuh Erika. Kepalanya menyandar di bahu Erika dan juga jemarinya saling bertautan dengan jemari Erika.

"Untuk apa memaksakan diri kalau akhirnya tidak berujung bahagia" ucap Himeka tiba-tiba.

"Aku..... tidak memaksakan diri. Aku cuma...... ingin........ membahagiakan.... dia....."

Alasan yang spontan keluar dari mulut Erika menggelitik indera pendengaran Himeka. Kepalanya yang tidak lagi menyandar namun digantikan dengan dagunya hingga hembusan nafas Himeka mengganggu ketenangan diri Erika.

"Aku masih ingat, dan selalu ingat dengan kejadian itu" bisiknya.

Lambat... dan semakin lama keduanya semakin mendekat.

..

..

..

..

..

"Heeee? Adek mauuuuu"

"Haha. Kan tinggal beli sayang, di sana banyak yang jual. Beda sama di sini"

"Hmmm.. eh tau enggak kak. Tadi di sekolah, Kage.."

Erika membiarkan kekasihnya melampiaskan semua keluh kesahnya. Anggap saja sebagai balasan atas dosa yang tadi sempat ia lakukan tanpa sepengetahuan Memi.

***

Erika memutar-mutar pensil yang ada di depannya. Bosan, karena materi yang disampaikan tidak terlalu ia pahami dan sulit didengar karena Erika datang terlambat. Jadi pagi ini Erika kebagian dua kursi dari belakang.

Kelas dibubarkan. Erika menyusun alat tulis dan bukunya ke dalam tas lalu memeriksa ponsel miliknya.

3 panggilan tidak terjawab dari Memi dan 2 panggilan tidak terjawab dari nomor tidak dikenal. Erika lebih dulu menelpon ulang nomor yang tidak dikenal. Hanya ingin memastikan saja kalau orang tersebut bisa menepati janjinya.

"Ya?"

"Ah maaf. Tadi aku ada kelas"

"Hmm. Kita ketemu besok aja. Kupikir kamu lupa"

"Begitu. Oke.. besok ya. Di cafe yang aku tunjukkan"

"Yup!"

Telepon berakhir.

..

..

..

..

..

"Kakak tadi kemana? Kenapa telepon adek enggak diangkat?"

"Maaf sayang. Ada urusan penting. Enggak enak kalau teleponan-"

"Balas chat juga enggak bisa?! Hu-uh!! Nyebelin!"

"Memiii.."

Tapi tidak ada lagi terdengar apa-apa. Memi lebih dulu mengakhiri telepon. Salah Erika juga karena sebelumnya enggak memberitahu Memi.

Erika mengusap kasar wajahnya. Keputusannya yang tiba-tiba ini dianggap sebagian orang tidak masuk akal. Tapi memang ini kemauannya yang muncul setelah semalaman memikirkannya.

Kebahagiaan Memi yang paling utama pikirnya dan Erika rela mengorbankan apapun untuk hal itu.

The Caplang's, RETURN!!! (II) [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang