In the Hallway

804 96 65
                                    

Berlama lama di lorong sempit ini. Mungkin tidak bisa di sebut lorong karena tempat itu sangat kecil dan lebih mirip saluran udara daripada lorong.

Lily sudah mulai kehabisan nafas. Ia mulai bernafas terengah engah. Lily melihat ke arah Brave yang seperti tidak terjadi apa apa. Brave menyusuri lorong itu dengan santai tanpa nafas yang terengah engah

Brave yang sedang merangkak menyusuri lorong berhenti. Membuat Lily berhenti dalam keadaan terkejut.

"Ke-" Belum selesai Lily mengucapkan ucapannya Brave meletakkan jari telunjuknya di bibir seolah memberi isyarat kepada Lily untuk diam.

"Я чувствую, что что-то следует за нами." Brave berucap sambil memegang pistolnya. Brave tidak menyadari seseorang di belakangnya hanya terbengong ketika dia melakukan pergerakan.

"чего ты ждешь."

Lily terdiam. Ia tidak mengetahaui bahasa apa yang digunakan oleh Brave. Tanpa ba-bi-bu lagi, Lily mengambil pistolnya dari saku jaket nya. Ia baru tersadar kalau ia memakai jaket hitam.

Brave, what are you saying? I don't understand. Oh my God, what happens now?

Batin Lily menjerit. Ia tidak suka terus diam seperti ini. Tidak boleh bertanya atau apapun itu. Keadaan apa lagi sekarang?

Ia teringat saat pertama kali ada disini. Mungkin, itu sudah dua hari yang lalu. Ia berada di ruangan serba putih. Hanya ada dia seorang di sana. Tidak ada apapun dan kosong. Ruangan yang membuat Lily mendelik ketakutan serta cemas karena suara Clover terdengar begitu sangat jelas.

Lily mengambil posisi agar siap untuk menembak. Brave membelakangi Lily. Dan, Lily membelakangi Brave.

"Ingat, tarik pelatuknya jika kamu ingin menembak. Suara yang di timbulkan sangat keras. Aku harap kamu bisa menyiapkan telingamu."

Lily terdiam. Dia pernah belajar bela diri --di-kamarnya-- tapi dia tidak pernah belajar tentang senjata. Karena Ratu Aqua tidak mengizinkan dia bermain pedang ataupun jenis senjata lainnya.

Blak!

Terdengar suara seperti pintu di banting dari arah bawah mereka.

Terlihat ekspresi terkejut dari wajah Brave. Lily hanya mematung tanpa mengeluarkan ekspresi apapun.

"Dengar, kan? Ada orang lain disini," Brave berbisik dengan suara pelan. Lebih mirip gumaman daru pada ucapan.

"Sudah ku bilang tapi kau malah diam seperti orang bodoh."

Lily terdiam. Ia sedang berpikir, tadi anda bicara pakai bahasa apa? Anda kira saya adalah kamus semua bahasa? Pikir Lily kesal. Entah kenapa manusia, ralat bukan manusia tapi mungkin seekor. Atau makhluk apapun di depannya. Membuat Lily merasa tensi darah nya naik seketika.

"Rusia," Tiba tiba Brave mengeluarkan suara yang membuat Lily tambah bingung.

"Hah?! Apa?! Rusia?! Apanya?" Lily mengajukan banyak pertanyaan sekaligus.

"Tenanglah, aku tidak mau kita ketahuan."

"Maksudmu?"

"Shuut! Tenanglah!" Brave meninggikan satu oktaf nada suaranya. Sambil menaruh jari telunjuk nya di depan bibirnya.

"Nanti, akan aku jelaskan. Sekarang, kita cari tempat yang aman. Aku pikir kita sedang dikepung oleh tentara Dixie."

"Ohh dewa. Aku tambah tidak mengerti." Gumam Lily sambil memainkan pistolnya.

Lagi pula, aku tidak membutuhkan pistol. Dasar bodoh! Batin Lily.

Gumaman Lily terdengar jelas di telinga Brave. Dia hanya tidak mau rencana nya hancur karena menanggapi semua perkataan Lily.

"Kamu lapar?" Tanya Brave tiba tiba saat mereka sudah melanjutkan perjalanannya. Ralat, bukan perjalanan ini adalah rangkakan. Rasanya tulang lengan Lily ingin patah. Karena semenjak mereka berhenti mereka tidak berhenti lagi. Bahkan Brave tidak mengizinkan Lily untuk istirahat walau hanya sebentar.

Lily bergumam lemah, "ya."

"Sebentar lagi, sabar ya." Brave memberikan senyum seribu watt nya kepada Lily.

Lah?! Kok cakep, ya? Batin Lily.

Mendadak, seperti ada sengatan listrik. Lily langsung mendadak semangat.

"Sebentar lagi, kapan?!" Keluh Lily yang sudah tidak bisa merangkak lagi.

"Hitung mundur, deh!" Saran Brave.

"Oh? Okay!" Lily menyetujui saran Brave.

"Sepulu-" Lily mulai menghitung namun di sergah oleh Brave

"Udah, sampai." Potong Brave.

Beri aku kesabaran, ya dewa. Batin Lily.

Brave menurunkan diri dari tempat mereka dari tadi merangkak.

Ya, ternyata dugaan Lily benar ini adalah saluran udara.

"Kita kemana sekarang?" Tanya Lily sambil menurunkan dari dari saluran udara.

"Rahasia."

Brave melanjutkan perjalanannya.

Apa yang di pikirkan makhluk ini?

Tanpa berpikir lebih panjang Lily mengikuti arah jalan Brave.

Sambil mengikuti Brave dari belakang Lily sedang berpikir keras.

Apakah Brave orang baik?
Apakah aku akan baik baik saja bersamanya?
Argh! Sudahlah, jika ia jahat mungkin ia sudah memperlakukan ku seperti si laba laba itu. Hah?! Iya aku baru sadar. Tubuh ku? Tidak! Tembus pandang? Tubuh Brave? Kita sama sama transparan! Apa yang aku pikirkan sampai tidak menyadarinya?! Suara waktu itu?! Jadi apakah benar aku, aku? Aku? Aku? Telah mati?!

Pikiran Lily terus ia gunakan untuk berpikir. Argumen yang ia pikirkan saling menyerang. Ia tidak tahu dimana ia. Tempat apa yang sedang ia jalani. Yang paling jelas ia baru sadar bahwa setelah ia turun dari saluran itu semua nya kembali ke ruangan putih.

Ruangan kosong yang tidak ada kelengkapan apa apa. Tidak ada figura, foto atau apapun itu. Hanya ruangan kosong yang tidak memiliki ujung yang berwarna putih.

Lily rasanya ingin menangis. Matanya sudah berair. Tapi, rasanya dia tidak bisa menangis. Mengingat, disana masihada Brave yang terus berjalan tanpa melihat ke belakang.

Jadi? Dimana aku?

Author

Huaa! Akun ini sempet ngilang :')

Btw, ceritanya aku bikin muter muter maaf ya...

Klo kalian gak suka dan nganggep 'paansih lama lama gak jelas!'

Just go... Pergi aja klo emang gak suka cerita aku.. Makasih :D

LilyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang