Say Goodbye

294 31 52
                                    

Aku tahu kebenaran yang kamu sembunyikan.
Aku tahu kesedihanmu hanyalah palsu.

Adinata berjalan ke arah kamarnya dengan wajah merah padam. Ia tidak tahu akan berkata apa. Rangkaian argumen-argumen itu seakan tertelan kembali ke dalam kerongkongannya.

"Adhieta, tunggu!" pekikan seorang perempuan yang membelakanginya tidak digubris olehnya.

Adinata membanting pintu kamarnya dan berjalan masuk. Membanting tubuhnya ke atas sofa seraya berteriak frustrasi.

"Xabrina, Xabrina, dan Xabrina. Seperti tidak ada orang selain Xabrina di dunia ini." Celoteh Adinata sambil memegang pisau dan mengambil buah apel di sampingnya. Ia menusuk dan menyayat buah itu sebagai luapan emosi yang tak terkendali. Sampai, ia tak sadar bahwa jemari tangannya juga ikut tersayat.

Baiklah, jika Xabrina akan dijadikan istri pertamanya sebagai perjodohan. Toh, ia bisa menikah lagi dengan wanita lain setelah Xabrina ia bunuh atau dia akan menduakan Xabrina.

Tetapi, bisakah Xabrina menutup mulut besarnya itu dengan rapat? Tidak usah menceritakan bagaimana mereka bertemu dan berkenalan. Apalagi, menyebut nama masa lalunya. Ukh! Itu hal menyebalkan bagi Adinata.

Sementara di luar kamarnya. Xabrina sedang mengetuk lemah pintu kamar Adinata yang tertutup rapat. Ia merasa sangat bersalah karena memanggil nama masa kecil Adinata. Membuatnya mengupas kembali luka dalam yang ia tutupi rapat-rapat.

"Adhie-" Xabrina menepuk bibirnya sendiri karena salah mengucap nama. "Adinata. Maafkan aku! Aku berjanji tidak akan pernah mengucapkan nama masa kecil mu."

Terdengar suara lemparan benda dari dalam. Xabrina juga merasakan bahwa Adinata atau Adhieta sudah berdiri dari tempat duduknya.

Di dalam kamar, Adinata membuka jendela kamarnya dengan perlahan. Berharap manusia menjengkelkan yang satu itu tidak mendengar ia membuka jendela kamar dan kabur.

Xabrina terduduk lesu di depan pintu kamar Adinata. Ia harus menunggu manusia dingin, arogan, dan ketus itu keluar dari sangkarnya. Karena, tidak mungkin ia akan membuka kamar itu dan langsung masuk begitu saja. Bukannya mereka akan berbaikan, mereka akan bertengkar dan adu mulut sampai kelelahan.

* * *

Adinata sudah sampai di pasar. Ia sedang menyegarkan tubuhnya dari tugas-tugas kerajaan yang harus ia kerjakan. Dan tentunya, untuk menyegarkan pikirannya dari celotehan-celotehan Xabrina yang membuat otaknya seketika mendidih dan ingin membuangnya ke laut.

Adinata menghela napas panjang, di saat-saat seperti ini ia teringat dengan adiknya yang menghilang entah kemana.

Ia berhenti di sebuah sungai di dekat pasar. Menurunkan tubuhnya dari tubuh Balkie lalu menuju sungai itu.

Adinata mengambil nafas panjang. Ia lalu terduduk di bawah pohon rindang dekat sungai.

Adinata terdiam, merenungi dirinya sendiri seraya melemparkan batu ke arah sungai. Ia sedang memikirkan masa depanya bersama Xabrina.

Besok. Besok adalah hari pernikahan antara dirinya dan Xabrina. Mau tidak mau ia harus menikah dengannya. Ia tidak mau karena dirinya, Xabrina akan disiksa oleh keluarganya.

* * *

"Sekarang kita akan kemana?" tanya Lily seraya membungkuk dan memegang lututnya. Ia bernafas terengah-engah.

"Entahlah, sepertinya kita tersesat," jawab Brave dengan santai tanpa melihat ke arah Lily.

Lily mengambil nafas panjang sambil menegakkan tubuhnya kembali, "apakah kau membawa kompas? Atau mungkin, peta?"

Brave menggeleng santai. Bahkan, ia tidak tahu benda apa yang dibicarakan Lily.

"Benarkah?" Lily bertanya untuk kedua kalinya untuk memperjelas jawaban Brave.

Brave mengangguk. Tanda ia benar benar tidak membawa benda yang diucapkan Lily.

Brave berjalan lebih dulu dari Lily. Meninggalkan Lily yang masih terengah-engah karena kejadian beberapa menit yang lalu.

"Kemana kau akan pergi?" tanya Lily seraya menatap Brave tajam. Wajah yang tadinya tertutupi oleh masker ia buka karena menghalangi bebasnya dia bernafas.

Wajahnya yang di penuhi luka goresan. Wajah yang sebelumnya cerah mendadak kusam karena ulahnya. baiklah, Brave merasa bersalah sekarang.

"Aku bertanya! setidaknya Jawab atau memberi respon! Dasar!" Lily membentak. Ini merupakan kali pertama dirinya membentak seseorang seperti itu.

"Aku minta maaf."

***

"Apakah kamu sudah siap?" tanya seseorang berjubah hitam yang berdiri di sebelah seorang gadis bertampang manis itu.

"Iya, aku selalu siap. "

Setelah itu, ruh yang berada di dalam tubuh gadis itu di ambil oleh orang berjubah hitam tersebut.

aku akan bahagia selamanya jika melakukan kebaikan

***

Clover tersenyum. Ia bahagia. Ralat, ia sangat bahagia karena rencananya sudah hampir berhasil.

Rencana yang ia susun dengan baik bersama ayahnya sekarang hampir mencapai puncaknya. Persetan dengan saudara-saudaranya yang bodoh karena tidak menyadari apa yang akan ia dapatkan ketika mereka berhasil melakukan ini semua. Harta, tahta, dan pengakuan semua akan ia dapatkan.

Sudah lama penantiannya. kini terbayar sudah. keberhasilannya menyatukan kerajaan Lovelock dengan Federica.

LilyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang