Aku menyusuri koridor kelas yang sepi. 1 jam terakhir kosong karna guru yang mengajar sedang ada urusan. Keadaan kelas hari ini sangat heboh dari sebelumnya, entah apa yang terjadi, aku malas saja mendengarnya. Apalagi jika ada yang bertanya tentang hubunganku dengan Egha. Aku memilih untuk pergi ke kantin, setelah membeli sebotol air akupun duduk di salah satu meja lalu meminum obatku. Aku sangat bosan, biasanya jam-jam seperti ini, Egha berkeliaran di sekitar kantin, tapi kenapa aku tidak melihat laki-laki itu?
Kali ini aku yang mencari keberadaan Egha. Egha tak ada di kelasnya, teman-temannya bilang daritadi Egha keluar kelas dan belum kembali. Kemana perginya seorang Egha bila ingin menyendiri? Tiba-tiba pikiranku kembali ke hari senin minggu lalu, ketika Egha ikut bertepuk tangan ria atas kemenanganku di atas rooftop. Dengan cepat aku berlari ke atas sana. Benar saja, di sana Egha sedang memangku gitarnya, duduk di pinggir bangunan.
"Egha!"
Egha berbalik dan langsung berdiri, menahanku yang tadinya ingin mendekatinya. Ia membawaku turun dari sana, di tangga Egha menatapku marah. "Lo ngapain sih naik ke atas segala?"
"Memangnya kenapa?"
"Lo kan phobia tinggi. Nanti kalo tiba-tiba lo pingsan gimana?"
Aku menunduk. Baru kali ini Egha meneriakiku seperti ini. "Iya maaf, nggak lagi."
Aku mendengar Egha menghembuskan nafasnya kasar sebelum membawaku masuk ke dalam pelukannya. Ia memelukku erat, seakan-akan memberi tahuku bahwa ia sangat khawatir. Di peluk Egha, aku merasa déjà vu, seperti ini bukan kali pertama Egha memelukku seerat ini. Setelah itu Egha membawaku ke kantin belakang sekolah. Seumur-umur aku baru tahu bahwa ada kantin ini di sekitar sekolah, tempatnya nyaman dan sejuk. Egha membawa dua kursi dan menaruhnya di bawah pohon rindang, ia memainkan gitarnya sembari menunggu pesanannya datang.
"Mau gue nyanyiin nggak?"
Aku mengangguk semangat. Ternyata Egha juga bisa bermain alat musik. Setauku ia hanya pintar bermain basket saja. Baru saja 2 lagu yang Egha nyanyikan bel pulang sekolah sudah berbunyi, membuatku dan Egha cepat-cepat bangkit dari duduk. Setelah membayar aku dan Egha berjalan beriringan di koridor, seperti biasa, banyak tatapan mata yang menatapku dengan Egha. Entah apa yang mereka bicarakan aku tak perduli. Apalagi mereka dengan jelas mengatakan Egha tak pantas bersanding denganku. Ayolah, kita semua sudah besar, kita tau caranya menghargai orang lain. Dan, ini semua juga bukan urusan kalian.
Di kelas aku disambut oleh Tya yang menatapku cemas. "Kemana aja sih La? Gue sama Frans daritadi keliling nyariin lo."
"Ngapain lo di sini? Gue bilang jangan deketin Ella lagi," Frans menatap Egha sinis.
"Frans," tegurku.
Aku mengambil tasku yang berada di atas meja lalu keluar. "Ayo Ga."
"Eh, mau kemana La? Tadi Om Kelvin bilang lo harus langsung pulang."
"Aku mau ke perpus kota sama Egha, Ayah udah izinin. Aku duluan ya."
"La, mending lo sama gue daripada sama dia."
"Frans, udah ya? Kamu nggak capek setiap hari ngerendahin Egha? Semakin kesini, aku semakin tau kalo sikap kamu nggak lebih baik dari sikapnya Egha."
Sebenarnya aku tak enak mengatakan hal itu pada Frans. Apalagi Frans sudah menjadi teman seperjuanganku dari kelas 10, tapi teman harus saling mengingatkan bukan? Aku tak suka bila ia mulai membicarakan tentang Egha, dan ujung-ujungnya ia akan merendahkan Egha di hadapanku. Karna hari ini jadwalku kosong, aku memilih untuk menemani Egha ke perpustakaan kota. Katanya ada tugas geografinya yang harus ia kerjakan secepatnya. Dan di sinilah aku sekarang, Egha sedang sibuk dengan makalahnya dan aku sibuk dengan buku bacaanku. Sesekali aku tertawa kecil membaca buku itu, dan sesekali juga Egha menegurku karna aku terlalu berisik.
"Ra," tegur Egha lagi.
"Iya maaf."
"Gue udah bilang jangan senyum semanis itu, apalagi ketawa."
"Iya."
"Lo nggak takut daritadi mereka ngeliatin lo," bisik Egha sembari menunjuk ke belakang tubuhku dengan dagunya.
Di sana ada 3 orang laki-laki yang memperhatikanku dan mengalihkan pandangannya saat aku berbalik menatapnya. Aku pun tersenyum kemudian kembali menatap Egha.
"Aku nggak takut."
"Serius?"
"Kan ada kamu."
Kali ini Egha yang tertawa kecil, membuat orang-orang di dekatku, mendesis, menyuruh kami untuk diam. Aku pun tertawa tanpa suara, sepertinya kami berdua tak cocok berada di perpustakaan. Selain berisik, kami juga tidak mau diam, seperti sekarang, di lorong paling ujung, aku sedang berusaha mengambil buku yang letaknya sedikit membuatku merasa pendek. Dari arah belakang, tangan panjangnya terulur, mengambil buku yang akan ku ambil sebelumnya.
"Minta tolong sama gue."
"Iya, makasih Ga."
Aku mendonggak menatap mata Egha dalam. Laki-laki itu tersenyum manis lalu mengacak rambutku lembut. "Gue kangen banget sama lo."
Karna lorong paling ujung sepi dan tidak banyak orang, Egha memutuskan untuk mengerjakan makalahnya di sana. Bukan cuma bisa sedikit berisik, aku juga bisa sepuasnya membaca cerita yang ingin aku baca karna di sana khusus rak cerita kesukaanku. Bosan membaca buku, aku menutup buku itu, mengembalikannya ke tempat semula lalu menatap Egha yang masih serius dengan makalahnya.
"Ga, kamu kok manggil aku Keira?"
"Ya nggak pa-pa, biar beda sendiri."
"Kalo aku manggil kamu Regha gimana?"
Hening sebentar, jari-jari Egha berhenti menarik di atas keyboard lap top. Ia menatapku. "Boleh, kalo lo udah inget tapi."
"Inget apa?"
Egha tak menjawab ia kembali mengerjakan makalahnya. Egha selalu membuatku penasaran. Aku bersandar di rak buku belakang tubuhku, ikut menatap kepo apa yang Egha tulis. Walaupun tak mengerti, aku memperhatikan Egha dari samping. "Masih lama ya?"
Egha terkekeh. "Lo bosen ya?"
"Iya."
Egha menaruh lap topnya lalu berbalik ke arahku. "Lo deg-degan nggak kalo deket sama gue."
"Dikit," gumamku pelan.
"Tau nggak artinya apa?"
"Apa?"
"Lo suka sama gue."
Aku tertawa kecil mendengar jawaban Egha.
"Berarti gue nggak bohong sama Ayah lo."
"Nggak bohong gimana?" aku mengernyit bingung.
"Ayah lo nyuruh gue menjauh dari lo. Tapi gue nggak mau, mau tau alesannya?"
"Apa?"
"Gue bilang, 'nggak mau, Keira udah mulai suka sama saya Om.'"
Aku kembali tertawa. "Serius? Kamu bilang gitu?"
"Iya serius."
Egha terkekeh, sedetik kemudian Egha kembali bersuara. "Lo suka jus mangga, tapi gue nggak terlalu suka."
"Trus, sukanya apa?"
"Kamu."
Aku kembali tertawa, kali ini pipiku mulai memanas. Aku menyuruh Egha melanjutkan makalahnya daripada gombal seperti tadi. Hal itu tak baik bagi kesehatan jantungku, detaknya selalu lebih cepat dari sebelumnya.
Aku bahagia bisa mengenal Egha.
🌹
KAMU SEDANG MEMBACA
-R
Teen FictionIni semua tentangnya. Aku merangkumnya di dalam sini. ABP series I ; -𝗥 ©2019 by hip-po.