[ Berhenti Menjadi Bodoh ]

1.4K 148 0
                                    

Semenjak kejadian setelah makan bubur itu, aku jadi tidak pernah melihat Egha 2 hari ini. Saat ke kelasnya pun, kata teman Egha, laki-laki itu memang tak datang ke sekolah 2 hari ini, tanpa keterangan. Dikta—teman dekat Egha menyuruhku menunggunya sepulang sekolah. Katanya ia akan membawaku ke suatu tempat dimana Egha biasa pergi ke sana, menghabiskan waktunya berjam-jam seorang diri. Aku menyetujui dan sekarang sedang menunggu Dikta di depan pintu kelasnya.

"Lo nggak ada les kan?"

Aku menggeleng sembari memakai helm. Perjalanan cukup jauh dari sekolah tapi tempat itu berada di belakang perumahan Egha, jadi kita harus memutar cukup jauh. Sesampainya di sana, aku menatap gedung tua ini dengan tatapan bingung. Yang benar saja, Egha menyendiri di gedung ini. Aku kira Dikta main-main membawaku kesini, tapi tatapan Dikta sangat serius membuatku percaya padanya. Apalagi saat melihat motor Egha terparkir di sana. Katanya, ia akan menungguku di sini sedangkan aku naik ke atas sana, lantai paling atas. Biasanya Egha nongkrong di sana, menghabiskan waktu melihat matahari terbenam.

Tanpa banyak tanya lagi, aku naik ke sana. Tangganya berhasil membuatku terengah saat sampai di rooftop aku mengusap keringat yang mengalir di pelipisku. Di sana ada sofa panjang yang sudah tua, meja dari tong minyak dan beberapa kayu lain yang sudah lapuk. Di sofa itu, aku melihat kaki Egha menggantung di sana, sembari menggerak-gerakkannya ke atas dan ke bawah.

"Egha."

Kaki Egha berhenti bergerak, matanya muncul dari punggung sofa, membuatku tersenyum lebar sembari mendekatinya. Baru dua langkah mendekat, Egha sudah menghampiriku, menarik tanganku untuk menuruni tangga dengan terburu-buru.

"Siapa yang bawa lo ke sini?"

"Dikta."

"Aduh, kenapa sih Ga?" tanyaku sembari mengikuti langkah Egha berusaha menjaga keseimbangan tubuhku agar tak terjatuh.

Sesampainya di bawah, Egha langsung menghampiri Dikta, meninju rahang laki-laki itu. Aku membulatkan mataku, menahan Egha yang mengamuk. Sembari memukul, Egha berteriak pada Dikta. "Ngapain lo bawa dia ke sini?!"

"Egha," ucapku panik sembari menahan lengan Egha. Tapi tenaga lebih kuat daripada, dengan gampangnya Egha membuatku terjatuh di tanah.

Melihat Dikta yang hampir kehabisan nafas, aku semakin panik. Egha memukul Dikta habis-habisan tanpa memberi celah Dikta membalas pukulannya. Aku menarik kecil kemeja yang dipakai oleh Egha. Tak dihiraukan, aku menahan lengan Egha dengan kedua tanganku, memeluknya hingga Egha mengalihkan pandangannya padaku. Ia menarik tanganku, meninggalkan Dikta yang masih terbaring di tanah. Untung saja Dikta tak sampai pingsan. Egha membawaku ke toko kue, duduk di depannya. Di dalam Bunda Egha sedang berada di dapur, memberi ruang untukku dan Egha.

Aku menaruh kantong es pada tangan Egha, agar buku-buku tangannya tidak memar. "Kenapa sih tadi? Tiba-tiba mukulin Dikta kayak orang kerasukan."

"Lo yang minta dibawa ke sana?"

"Iya, karna kata Dikta kamu selalu di sana kalau nggak ada di rumah."

"Ngapain ke sana? Nanti kalo phobia lo keluar gimana? Lo jatoh lagi, penyakit lo tambah parah."

"Jatuh lagi?"

Egha berdecak. "Kapan-kapan, lo nggak boleh ke sana lagi."

"Iya maaf."

"Ayo gue anter pulang."

🌹

Ke-esokan harinya aku melihat Egha lagi, kali ini ia berjalan di koridor bersama Hani, jadi aku mengurungkan niatku untuk mendekatinya. Begitu seterusnya hingga minggu berganti, tak terasa aku dan teman-temanku akan menghadapi ujian kenaikan kelas. Saking seriusnya belajar, aku sampai melupakan tentang Egha, Bunda Egha maupun Irish. Pulang sekolah, les, setelah les, aku, Tya dan Frans kumpul di rumah untuk membahas soal ujian tahun lalu. Begitu terus hingga minggu-minggu ujian telah terlewati dan memasuki masa liburan.

Hari ini aku seharusnya pergi bersama Tya dan Frans ke salah satu Mall untuk refreshing tapi karna aku malas mandi jadi aku memilih untuk menunggu mereka datang lalu mandi. Dua minggu kemarin aku sama sekali tidak pernah berbincang, bertemu bahkan berpapasan dengan Egha. Entah pernah dan aku yang tak sadar atau memang Egha benar-benar menghindar. Gara-gara Egha aku jadi merasa lebih jauh dengan Tya dan Frans. Dan gara-gara Tya, Frans dan UKK, aku jadi merasa bertambah jauh dengan Egha.

Saat Bunda mengetuk pintu kamar dan mengatakan bahwa Tya dan Frans sudah di bawah, aku langsung lompat dari kasur menuju kamar mandi, secepat kilat aku keluar dari kamar. Setelah nonton film dan kami memutuskan untuk makan di salah satu restoran di sana. Kami kembali seperti dulu, membicarakan hal yang tidak begitu penting bahkan sangat penting layaknya presiden.

"Gue denger Hani beneran jadian sama Egha."

"Bukannya udah dari lama?" tanya Frans balik, aku hanya mendengarkan.

"Iya mereka udah lama deket, tapi Hani bilang kalo Egha baru nembak dia tiga hari yang lalu," jawab Tya ogah-ogahan.

"Ya berarti dulu-dulu aku yang halangin hubungan mereka berdua," jawabku entang.

"Nah, itu sadar."

Celetukkan Tya terus tergiang-ngiang di kepalaku selama perjalanan pulang. Keluar dari Mall menuju tempat dimana mobil Frans terparkir, aku melihat Egha jalan dengan Hani, mereka berdua terlihat serasi apalagi dengan tawa yang menghiasi. Seketika raut wajah Egha berubah, wajah datarnya kembali saat melihat ku berdiri di samping mobil Frans.

Egha mendekatiku, tersenyum tipis. "Gue boleh ngomong sama lo?"

Setelah menatap Tya dan Frans, aku mengangguk. Ia membawaku menjauh dari mereka bertiga. "Kenapa?"

"Gue kangen," katanya lembut, tak seperti nada bicara sebelum-sebelumnya.

Aku tersenyum. "Kamu udah punya Hani, kan?"

"Kata Tya kamu beneran jadian, kalo gitu, selamat ya?" ucapku sembari menatap Egha.

"Lo nggak akan berenti kan?"

"Berenti apa? Berenti untuk sayang sama kamu?"

"Lo, nggak akan bisa."

"Kamu pernah bilang, aku bodoh karna sayang sama kamu. Sekarang aku berenti. Aku nggak bodoh lagi, aku keluar dari titik bodoh itu."

Egha menahan lenganku, berusaha menarikku lebih dekat dengannya. Pastinya, aku menghindar.

"Kamu kira aku akan selamanya sayang sama kamu? Aku kira juga begitu, tapi tiba-tiba kenyataan nampar aku keras-keras. Dia bilang aku memang bodoh berharap sama kamu."

"Setiap hari aku mikirin kamu, sedangkan kamu, kamu jalan sama Hani. Setiap jalan sama Hani, kamu kira aku nggak sakit hati? Sakit Ga. Kenapa waktu aku bilang sayang ke kamu, kamu nggak bilang ke aku kalo kamu sayang sama Hani?!"

"Tolong jangan nangis," mohonnya lembut.

Air mataku tambah mengalir mendengar Egha memohon dengan nada selembut ini.

Aku sangat ingin memeluk tubuh itu.

🌹

-RTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang