[ Satu Malam Dengannya ]

2.7K 214 1
                                    

Pulang sekolah, 1 jam menuju les bersama Tya, daripada pulang ke rumah, aku memilih untuk main ke rumah Tya, bertemu dengan Abang Tya yang saat ini berada di rumah. Sudah hampir setengah jam lebih aku berada di rumah Tya tapi belum melihat Bang Dirga, kemana dia?

Pintu utama terbuka, Bang Dirga masuk dengan keringat di tubuhnya. "Udah pulang Na? Eh ada Ella juga?"

"Hai!"

Bang Dirga mendekatiku, duduk di sampingku. Kami berdua berbincang, membuang waktu sampai jam 5, aku dan Tya harus berangkat les. Bang Dirga mengantarku dan Tya dengan mobilnya. Di tempat les Egha duduk di atas motornya, memainkan ponselnya. Apa yang Egha lakukan di sini?

"Egha, ngapain kamu di sini?"

Egha turun dari motor, menatap Bang Dirga sekilas, lalu kembali menatapku. "Nungguin lo."

"Aku les sampe jam 7."

"Nggak pa-pa, gue tungguin."

Aku tersenyum lebar. "Emangnya kita mau kemana?"

"Jalan."

"Rina, Ella, belajar yang bener," ucap Bang Dirga sembari kembali ke mobilnya.

"Hati-hati Bang!"

Setelah mobil Bang Dirga pergi, aku menyuruh Tya untuk naik duluan ke atas, sedangkan aku berbincang dengan Egha.

"Kamu beneran mau nungguin aku?"

"Iya."

"Tapi–"

"Gue tungguin. 1 jam, 2 jam, 1 hari gue tungguin."

Aku tertawa kecil. "Yaudah aku naik dulu."

"Iya. Belajar yang rajin, biar anak-anak kita punya Ibu yang pinter."

Aku kembali tertawa lalu masuk ke dalam, meninggalkan Egha sendiri di luar. 2 jam kemudian, les selesai, aku pun pamit pada Tya untuk pulang duluan karna Egha sudah menunggu di bawah. Seperti biasa, Tya melarangku, menyuruhku langsung pulang ke rumah. Aku tak mendengar Tya malah berlalu begitu saja, maafkan aku Tya, alasanmu menyuruhku menjauh dari Egha sangat tak masuk akal. Di luar Egha sedang duduk bersampingan dengan tukang parkir tempat lesku, aku tersenyum lalu mendekati Egha.

"Ga, ayo."

"Udah selesai?"

"Udah."

"Pak Mail, Ella duluan."

"Hati-hati Neng."

Egha membawa motor dengan pelan. Hingga sampai di pasar malam, Egha menyuruhku turun dari motor. Saking antusiasnya dengan pemandangan di hadapanku, sampai Egha yang melepaskan helm yang bertengger di kepalaku. Egha mendekat ke arah pengait helmku, lalu mensejajarkan wajahnya dengan wajahku, tersenyum manis. Seketika pipiku memanas, detak jantungku berdetak lebih cepat sebelumnya. Helmku terlepas dari kepala, Egha mengacak lembut rambutku sebelum menaruh helm itu kembali ke motornya.

"Egha aku mau boneka itu!"

Aku melompat-lompat sembari menunjuk boneka besar yang lebih besar dariku.

"Iya, kita makan dulu tapi."

"Iya."

Kami pun masuk ke salah satu restoran dengan tema yang sedikit tenang, Egha memilih meja yang di sudut, lebih sedikit orang di sana. Pelayan datang dengan buku menu dipelukannya, siap menulis pesanan kita. Belum sempat aku menyebutkan apa yang akan menjadi makan malamku hari ini, Egha sudah lebih dulu memesannya. Saat bertanya mengapa bisa Egha mengatahui semuanya, Egha hanya terkekeh lalu mengalihkan pembicaraan. Selesai makan malam, Egha membawaku mengelilingi pasar malam. Kita membeli gelang kembar dengan bentuk yang berbeda, aku berbentuk matahari dan Egha berbentuk bulan. Egha juga membelikanku permen kapas setelah memohon-mohon.

"Apa kata dokter?"

Aku mengambil sedikit permen kapas lalu memakannya. "Katanya kondisi aku bertambah baik, jangan mikir yang keras-keras aja."

"Baguslah kalo begitu."

"Tapi Ga," aku menatap Egha sekilas, "kamu percaya nggak sih aku bisa sembuh?"

Egha menatapku dengan tatapan lain, entahlah, tatapannya lain daripada sebelumnya. "Jangan sembarangan. Lo harus optimis, lo kan selama ini udah berjuang, masa perjuangan lo sia-sia?"

Iya sih betul juga. Aku adalah tipe orang yang jika berjuang untuk sesuatu, aku harus mendapatkannya. Semua keinginanku aku selalu optimis, tapi entah yang kali ini berbeda, aku sedikit ragu memperjuangkannya. Tidak, tidak. Aku harus bisa melawan penyakit ini, aku kuat, orang-orang disekitarku mendukungku. Aku, bisa.

Aku kembali tersenyum lalu kembali mengalihkan perhatian Egha pada boneka besar tadi. Sudah percobaan ke-7, Egha masih berjuang mendapatkan boneka yang aku inginkan. Aku tertawa kecil ketika ia kesal sendiri, apalagi raut wajahnya. Aku memperhatikan Egha dengan senyuman. Entah apa yang dimiliki oleh Egha, baru pertama kali mengenalnya, aku sudah nyaman berada di dekatnya. Jujur, aku mengharapkan Egha perduli padaku. Padahal, aku bukan orang yang seperti itu, aku tidak suka terlalu diperdulikan. Tapi berbeda dengan Egha, aku malah merasa spesial bila Egha mulai menanyakan hal-hal kecil yang ku lakukan hari ini. Seperti, 'hari ini ada apa?' atau 'hari ini lo baik-baik aja kan, nggak kangen?' aku menanggapinya dengan senyuman lebar yang dibalas senyuman juga oleh Egha.

Egha pernah melarangku untuk senyum pada semua orang. Katanya;

"Jangan senyum semanis itu, nanti orang-orang jadi suka."

"Memangnya kenapa kalo mereka suka?" tanyaku waktu itu.

"Nggak boleh, yang boleh suka sama lo cuma gue," jawabnya yang membuat pipiku memerah seketika.

Terdengar kaleng-kaleng terjatuh, aku pun menatap Egha yang sedang tersenyum senang ke arahku.

"Akhirnya," katanya sebelum menerima boneka besar itu.

"Yeay!"

Aku memekik senang sembari memeluk boneka itu. Entah bagaimana cara membawanya ke rumah, yang ku rasa saat ini adalah bahagia. Bahagia bisa seperti ini bersama Egha dan bahagia mendapat boneka besar seperti ini, apalagi Egha yang berjuang untuk mendapatkannya.

"Ra, lo suka sama cowok yang pinter?"

"Maksudnya?"

"Iya cowok yang pinter. Kalo lo suka sama cowok yang pinter, yang kalo ke kamar mandi ngitung massa air di ember atau berapa watt listrik yang dia pake, gue mending mundur."

Aku tertawa kecil menanggapi. Lalu ia kembali bersuara. "Tapi gue serius Ra. 17 tahun lo hidup, lo belum pernah pacaran kan?"

"Iya belum pernah."

"Lo masih suka sama gue?"

"Huh?"

Masih? Memangnya aku pernah menyukai Egha sebelumnya?

"Nggak usah dipikir! Nanti kepala lo sakit lagi," ucapnya galak, membuatku terkekeh.

Saking besarnya boneka yang ku peluk, hingga aku tak bisa melihat jalanan di depanku, tak sengaja aku menendang batu yang berukuran cukup besar. Untung saja Egha dengan cepat menahan tubuhku, kalau tidak, boneka yang ku peluk bisa menjadi kotor nantinya.

"Makasih Ga."

"Sini gue aja yang bawa," ucapnya sembari mengambil alih boneka yang ku peluk.

Egha membawa boneka itu dengan tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya mengenggam tanganku. "Biar lo nggak jatoh lagi."

Lagi-lagi pipiku memerah. Manisnya. Aku baru tau Egha semanis ini. Bukan hanya senyumnya saja, tapi semua perlakuannya padaku sangat manis. Bila berada di dekat Egha aku diperlakukan bak putri kerajaan.

Ah, malam ini aku sungguh bahagia.

🌹

-RTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang