[ Bangunlah, Princess ]

1.5K 160 0
                                    

Toko kue Bunda kali ini tutup lebih cepat, biasanya Bunda menutup toko sekitar pukul 8 malam, tapi kali ini, pukul 5 lewat papan bertuliskan 'TUTUP' sudah tergantung di depan pintu. Aku berjalan beriringan dengan Bunda yang sedang memeluk lenganku.

"Keira gimana?"

Mendengar nama Keira, aku menghembuskan nafas kasar. "Masih sama Bun."

"Bunda udah bilang sama kamu, jangan ke sana lagi."

Iya, seharusnya aku mendengarkan ucapan Bunda. Tapi saat itu pikiranku kembali melayang pada memori-memori indah sejak aku dan Keira menjadikan gedung itu sebagai tempat nongkrong. Gedung tua itu seperti saksi bisu hubunganku dengan Keira. Sedih, marah, bahagia semua emosi dilampiaskan di gedung itu. Setiap hari setelah kecelakaan waktu itu, aku datang ke gedung, menceritakan semuanya yang aku lalui tanpa kehadirannya di sisiku, semuanya, setiap hari, walaupun lelah bagaimana pun, aku menyempatkan diri ke sana.

Mari kita lanjutkan kisah yang sempat tertunda kemarin.

[ Bagian Dua ]

"Juara 1 Olimpiade Matematika Nasional diraih oleh Raphaella Kefira."

Mendengar teriakan itu, kedua bola mataku terbuka, dengan cepat aku berlari ke ujung rooftop, ikut bertepuk tangan ketika Keira menerima piala yang lebih besar daripada tubuhnya. Dari atas sini aku bisa melihat bahwa ia terhalangi oleh piala yang amat besar itu. Aku meneriaki namanya, bertepuk tangan sekeras mungkin hingga matanya bertemu dengan mataku, ia melebarkan senyumnya. Akhirnya, setelah 2 tahun ini, aku bisa mendapatkan senyum itu, kembali.

Upacara selesai, saat melewati toilet perempuan, namaku dipanggil oleh Keira. Perempuan itu tersenyum seperti biasanya, namun warna bibirnya tak seperti biasanya. Bibirnya lebih merah, aku sangat yakin ia menutupi bibir pucatnya agar terlihat baik-baik saja. Seperti anjing lacak sesungguhnya, Frans datang mengacaukan perbincanganku dengan Keira. Dari gaya bicara Keira pada Frans, aku sudah tau bahwa Keira mulai muak berbicara dengan anjingnya.

"Lo yakin Keira bakalan ke sini?"

"Ella, Ta."

"Iya Ella," Dikta menyampirkan tasnya di bahu, "yaudah gue duluan, semoga berhasil bawa Ella ke rumah lo."

"Yo, hati-hati."

Saat kelas benar-benar kosong, aku menatap ke luar jendela, langit siang ini ditutupi oleh awan putih bersih. Tak lama memandang langit, Keira datang dan mengatakan bahwa ia bisa ke rumahku. Padahal aku tau betul bahwa hari ini ia ada jadwal les. Tapi mungkin guru lesnya sedang ada kegiatan atau memang ia sendiri yang ingin bolos? Entahlah, aku sangat senang membawa Keira ke rumah.

Sebelum ke rumah, aku mampir ke toko kue Bunda. Reaksi Bunda saat keluar dari dapur dan melihat wajah Keira, membuatku tersenyum tipis. Matanya berkaca-kaca, tapi demi melancarkan aktingnya, ia menepuk lenganku, bertanya siapa yang ku bawa ini.

Aku mengikuti langkahnya dari belakang, jarinya menelusuri kertas yang tertempel di setiap toples. Lalu tanganku terulur mengambil kue berbentuk mawar dan menunjukkan kue itu padanya. Dua tahun yang lalu saat membantu Bunda membuat kue, aku yang pertama kali membuat bentuk mawar. Hanya beberapa untukku makan sendiri. Percayalah, dulu aku sering membuang waktuku hanya untuk memikirkan Keira saja. Kalian boleh katakan itu bucin, atau apalah yang kalian menyebutnya. Aku sampai menyuruh salah satu perawat rumah sakit untuk mengganti mawar yang sudah layu di kamar rawat Keira sewaktu perempuan itu masih koma.

Tapi Bunda malah membuat dan menjual kue itu, walaupun kesal sedikit tapi tak apa. Asalkan aku yang memberi kue itu nama, kataku waktu itu. Karna hanya aku yang boleh memanggilnya dengan sebutan 'Keira' jadi aku lebih memilih menamainya 'Raphaella' bertujuan untuk mengundang orang yang bersangkutan datang dan mencoba langsung kue itu. Dan sekarang impian itu terwujud.

Aku menunggu Keira di luar, duduk di tangga. Tak lama kemudian ia keluar dengan tas kecil di tangannya.

Di rumah, Irish berlari menghampiriku dan beralih pada Keira. Irish menatapnya dengan mata yang membulat. "Kak Mawar?"

Aku tertawa kecil. "Bukan, kenalan dulu dong."

Keira mengusap rambut Irish sembari tersenyum lebar menanyakan namanya. Sedangkan Irish kembali berbalik, menatapku. "Mirip banget sama Kak Mawar Bang."

Aku kembali tertawa, mencoba menetralkan keadaan. Setelah menyuruh Irish menemani Keira bermain di belakang, aku berlari kecil menaiki tangga dan mengganti baju. Aku menatap foto-foto yang terpajang dan tertempel dimana-mana, wajahnya memenuhi dinding kamarku. Seperti mimpi, aku sekarang berada dalam satu rumah dengannya. Aku keluar kamar menuju taman belakang, menyuruh Irish masuk dan memberiku ruang dengannya.

Lagi-lagi ia tersenyum. Tiap kali ia tersenyum dengan mata yang menatapku rasanya jantungku akan copot. Jika dulu aku hanya bisa menatapnya dari kejauhan saja, kali ini ia berada di hadapanku, menatapku sembari menceritakan apa yang terjadi hari ini. Seperti mimpi.

🌹

"Satu tangkai mawar?"

Baru saja aku ingin menyebut apa yang ku ingin beli, tapi sepertinya mbak-mbak penjaga toko bunga ini sudah hafal dengan wajah dan apa yang akan ku pesan. Sudah 4 kali dalam 2 bulan ini aku mendatangi toko bunga ini, untuk apalagi jika tidak membeli bunga? Dan yang aku suka selain bunganya masih segar adalah, mereka buka 24 jam, jadi aku bisa datang membeli bunga kapan saja. Ah ya, bunga mawarnya aku taruh di vas bunga meja samping brankar. Tapi, bagaimana caraku menaruh bunga ini pada vas itu sedangkan orang tua Keira menjaga anak tunggalnya secara ketat? Mari kita lihat.

Tak butuh waktu lama aku sudah menerima bunga itu. Dengan kecepatan normal, aku mengendarai motor. Pukul 11 malam jalanan Ibukota belum juga sepi. Sesampainya di sana aku langsung menuju kamar rawat Keira. Dengan sembunyi-sembunyi, aku mengintip ke dalam. Biasanya, jika kedua orang tua Keira ada di dalam aku akan menyuruh perawat untuk mengganti bunga yang layu dengan bunga yang baru dengan alasan layanan dari rumah sakit. Jika kondisinya seperti sekarang, hanya ada perawat yang menjaga Keira, aku akan masuk dengan bebas.

"Ada perkembangan Sus?"

Perawat itu menggeleng pelan, membuatku menghembuskan nafas kasar. Aku masuk dengan senyum yang lebar melihat Keira yang terbaring lemah di brankar. Aku mendekatinya, mengecup dahinya lembut lalu beralih mengganti bunga yang layu dengan yang baru. Aku duduk di kursi samping brankar, mengenggam tangan mungil itu lembut.

"Bangun Princess, Aku kangen."

🌹

-RTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang