[ Halo, ini Egha ]

1.4K 152 1
                                    

Halo, ini Egha. Lebih tepatnya, Tenggara. Tapi ada 1 orang yang memanggilku dengan sebutan Regha. Tak beda jauh memang dari Egha, tapi aku merasa panggilan itu sangat spesial. Sembari menunggu perempuan yang berada di gedung sebrang itu membuka mata, aku akan menceritakan sebuah kisahku.

Saat berumur 4 tahun aku masih tidak mengetahui tujuan aku dilahirkan di dunia ini. Namun saat perempuan yang saat itu sedang terjatuh dari sepeda itu meminta bantuanku, aku mulai paham mengapa aku diciptakan. Yaitu untuk melindungi dan menolongnya. Entah apa yang aku pikirkan saat itu, hanya itu yang aku tangkap dari 4 tahunku lahir di dunia. Bunda bilang aku sudah berteman dengan gadis ini sejak dalam kandungan karna rumahku dan rumahnya hanya dipisahkan oleh jalanan, Bunda dan Bundanya sangat akrab. Mereka saling menjaga satu sama lain ketika Ayah atau Ayahnya bekerja. Dulu sewaktu dalam kandungan aku yang paling nakal, aku memberontak ingin keluar dari kandungan, itulah yang menyebabkan aku lahir satu bulan sebelum kelahirannya.

Ia sangat tergila-gila pada bunga mawar. Semua yang berhubungan dengan bunga mawar selalu ia koleksi dan menceritakannya padaku. Semenjak kelas 7 SMP, aku sudah memiliki uang jajan berlebih, jadi aku memutuskan untuk membelikannya bunga mawar. Karna itu, setiap bunga mawar yang ada di kamarnya layu, selalu ia tergantikan oleh bunga mawar baru.

Aku kira kami benar-benar bisa bersahabat dari dalam kandungan hingga waktu yang cukup lama. Tetapi saat menginjak bangku SMP ditahun terakhir, ia menyatakan perasaannya padaku. Dengan bodohnya aku merespon dengan tawa yang terbahak-bahak yang membuat wajahnya semerah kepiting rebus padahal waktu itu aku menyimpan perasaan lebih dari itu. Kami sudah melewatkan waktu yang cukup lama bersama-sama. Aku sering mengajaknya ke gedung tua di belakang perumahan, melihat bagaimana indahnya saat matahari mulai terbenam dan pulang setelah bintang-bintang mulai menghiasi langit, begitu terus setiap hari hingga kecelakaan itu terjadi.

Ia sangat kecewa padaku karna mendapatiku sedang berduaan dengan perempuan sepulang sekolah saat ia memintaku untuk menemaninya makan es krim di dekat sekolah. Namanya juga masih puber, ia menghindariku hingga sore harinya, aku mendapatinya sedang menatap matahari terbenam di ujung gedung tua biasa. Aku mendekat, namun responnya malah membuatku terkejut. Ia sama sekali tak ingin berada di dekatku, bahkan saat aku mendekat satu langkah, ia malah mundur dua langkah.

"Jangan deket-deket!" teriaknya waktu itu.

"Keira jauh-jauh dari sana!"

"Regha kamu jahat sama aku! kamu bilang kamu nggak akan ninggalin aku, tapi apa?!"

Itu kalimat terakhir sebelum kakinya tak menapak pada atap rooftop. Aku melihatnya dengan jelas, bagaimana ia terjatuh dari posisinya dan tubuhnya menghantam tanah di bawah, menimbulkan bunyi yang cukup keras.

Setelah kecelakaan itu, ia koma, keluarganya memutuskan untuk pindah rumah, jauh-jauh dari keluargaku, tepatnya jauh-jauh dariku. Bahkan kedua orang tuanya mengubah nama, gaya berpakaian dan model rambutnya. Dua bulan koma, ia membuka matanya, hari-harinya kembali seperti biasa. Bahkan ia bisa mendapatkan banyak piala dan penghargaan ketika memasuki masa putih abu-abu. Kedua orang tuanya yang sangat menjaga ketat anak tunggalnya pasti melakukan segala cara untuk menjauhkanku darinya. Awalnya ia ingin memindahkan anaknya ke sekolah lain saat mengetahui bahwa aku juga sekolah di sini, tapi entah kenapa aku masih bisa melihatnya hingga sekarang.

Hampir dua tahun aku hanya memperhatikannya dari jauh. Jujur, aku rindu pada semua yang berada di dalam diri itu. Semuanya tentu aku tak menyimpannya sendiri, aku menceritakannya pada Dikta, itulah mengapa Dikta dapat mengetahui letak gedung tua itu. Hari itu, hari selasa pukul 11 pagi, ia berjalan dengan linglung di koridor kelas 10. Aku yang saat itu sedang bermain basket seperti biasa memperhatikan setiap gerak-geriknya. Tapi yang membuatku terkejut adalah, bola basket itu mengarah ke padanya saat shootingan Dikta meleset. Saat itu Dikta menepuk bahuku, menyuruhku untuk membantunya.

Dan, mari ku ceritakan bagian kesukaanku.

[ Bagian Satu ]

"Lo sih!" aku membentak Dikta dengan Keira di gendonganku.

"Gue kan nggak sengaja. Gimana nih? Dia bakalan bangun kan?"

Aku menatap wajah pucat Keira. "Iya, tapi 2 jam-an."

Ah ya, tentang namanya yang selalu ku panggil Keira, itu namanya dulu, Keira Anastasia. Dan Irish memanggilnya dengan sebutan 'Kak Mawar' karna Keira sangat terobsesi pada bunga mawar.

Sambil menunggunya aku duduk di samping kasur UKS, menatap wajahnya lama. Baru kali ini setelah 2 tahun terakhir aku menatapnya sedekat ini. Bahkan dari wajahnya, sama sekali tidak ada yang berubah. Karna takut menganggu istirahatnya, aku memutuskan untuk menunggunya di luar sembari melarang siapapun masuk ke dalam.

"Mau ngapain?" tanyaku galak sembari menatap perempuan yang selama ini menjadi musuhku karna ia sudah memfitnahku meminum pereda nyeri datang bulan miliknya.

"Masuk, pala gue pusing."

"Tunggu di sini biar gue yang ambilin," ucapku sembari masuk ke dalam UKS lalu keluar dengan obat itu di tangan, "nih."

"Tumben."

"Cewek gue lagi istirahat nggak boleh diganggu."

"Halah, gayaan. Makasih ya."

"Iya. Udah sana pergi, hush!"

1 jam kemudian, Dikta mendatangiku sembari memutar kunci mobilnya. 2 menit lagi bel pulang akan berbunyi tapi Keira masih tertidur pulas, masih tak ada tanda-tanda ia akan sadar. Dikta memberikan kunci mobilnya padaku lalu berlalu untuk pulang. Ya, aku meminjam mobilnya untuk mengantar Keira pulang sedangkan motorku dibawa pulang oleh Dikta. Aku menghabiskan waktu sembari memainkan ponselku, hingga aku mendengar suara dari dalam, buru-buru aku masuk ke dalam. Ternyata benar, ia sudah sadar dan kini sedang memijit pelan tulang hidungnya.

"Kepala lo masih sakit? Pengen gue beliin makanan?"

Ia menggeleng sebagai jawaban. Aku melihatnya menarik tasnya yang berada di meja samping kasur. "Gue anterin pulang ya?"

"Nggak usah," tolaknya lagi.

Saat Keira mencoba menuruni kasur, aku sudah berancang-ancang bahwa kakinya masih belum kuat menopang tubuhnya jadi aku sudah bersiap sewaktu-waktu ia terjatuh. Dan benar saja, tubuhnya terhempas jatuh ke lantai yang dingin. Untung saja tanganku sudah berada di pinggir kasur, menahan kepalanya. Aku membantunya berdiri lalu menawarkan ajakan pulang bersama untuk kedua kalinya. Kali ini, ia tidak menolak. Ia mengangguk sebagai jawaban, sedangkan aku keluar dari UKS, melompat-lompat heboh tanpa menimbulkan suara lalu kembali masuk, membantunya berjalan.

Di mobil, sangat banyak yang kami berdua bahas. Apa saja, aku membahasnya, membuat Keira nyaman bersamaku. Saat meminta izin untuk memanggilnya dengan sebutan Keira, ia tidak menolak bahkan ia mengangguk senang. Selain bunga mawar, ternyata dia masih sangat menyukai kucing. Matanya berbinar ketika aku membahas tentang kucingku yang baru saja melahirkan. Bukan, bukan kucingku sebenarnya. Itu kucing Keira 2 tahun yang lalu. Semenjak Keira koma, kucing itu tak ada yang merawat, jadi aku memutuskan untuk memelihara dan menjaganya.

Semuanya masih sama, Keira masih Keira yang dulu.

🌹

-RTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang