[ Bagian Tujuh ]
Sedari tadi aku sadar bahwa Keira mengamati dari lantai atas. Tapi ketika sedang berbicara dengan Hani, ia menghampiriku. "Ga, ada yang mau aku omongin."
Aku mengikuti langkahnya sembari tersenyum gemas. Melihat raut wajahnya seperti tadi, membuatku ingin mencubit kedua pipinya keras-keras.
"Kamu malu ya berteman sama cewek berpenyakitan kayak aku?" tanyanya tiba-tiba membuat raut wajahku berubah.
"Kata Bunda semua penyakit aku nggak nular. Tapi kenapa kamu menghindar?" lanjutnya.
Detak jantungku seakan berhenti saat itu. Aku memeluknya erat. Di dalam hati, aku berseru, "jangan nangis Ra."
Aku melepas pelukan. Menaruh kedua tanganku di bahunya, mensejajarkan pandangan kami. "Ra, janji sama gue, lo harus lawan penyakit ini."
"Kenapa?"
"Janji sama gue," ucapnya lagi, "ada ataupun nggak ada gue disamping lo, lo harus sembuh."
Ya, ada ataupun tak ada. Karna aku tak bisa menjamin akan selalu ada di sisinya setiap waktu sedangkan Om Kelvin berusaha memisahkan kami.
"Apa sih serem banget, kamu kayak mau mati aja," ucapnya sembari mengusap air matanya.
Aku tertawa kecil. Dalam keadaan seperti ini, ia masih sempat-sempatnya bercanda.
"Kamu jaga Hani ya. Semoga bahagia," pesannya sebelum meninggalkan lapangan.
Aku menghembuskan nafasku kasar sembari menatap punggung Keira yang hilang dibalik pintu. Aku berjalan cepat, mengganti baju basketku lalu menuju perpustakaan, semoga Keira masih berada di sana. Selain sejuk karna AC di sana tak pernah mati, di sana juga tenang itulah yang menjadi alasan mengapa perpustakaan menjadi tujuan semua orang ketika mereka mengantuk.
Aku tersenyum ketika melihat Keira tertawa geli tanpa suara di sana. Aku duduk di sampingnya, mengambil alih buku yang ia baca lalu menutupnya tanpa membaca satu katapun, hanya melihat salah satu gambar yang berada di sana.
"Kamu ngapain ke sini? Nanti Hani marah," ucapnya sembari membuka lembaran baru buku tadi dengan cepat.
Aku tersenyum sembari menusuk-nusuk pipinya dengan jari telunjukku. "Cemburu ya?"
Ia menggembungkan pipinya lucu sembari membelakangiku. Aku duduk di sampingnya, menatapnya. Saat ia mengatakan bahwa ia sama sekali tak ingat, harapanku sedikit hilang.
Aku menarik tangannya, mengusap gelang yang malam itu ku beli. "Gue udah nunggu 2 tahun lebih, dan semuanya masih sama aja."
"Lo sama sekali nggak inget?" tanyaku sekali lagi.
"Kita emangnya pernah kenal sebelumnya?"
Benar apa yang dikatakan Om Kelvin. Pikiran Keira yang menolak untuk mengingat kejadian masa lalu.
🌹
Mataku menatap lurus dokter yang diikuti 2 suster sedang memeriksa Keira. Entah apa yang mereka katakan, sebelum dokter dan suster itu keluar dari kamar rawat Keira, Om Kelvin tertunduk sedikit sembari mendekati anak tunggalnya. Dari sini aku bisa melihat dengan jelas air matanya keluar, hal itu yang membuat jantungku berdetak lebih cepat dari sebelumnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
-R
Teen FictionIni semua tentangnya. Aku merangkumnya di dalam sini. ABP series I ; -𝗥 ©2019 by hip-po.