Akibat bolos les sore tadi, aku jadi merasa tak enak pada kedua orang tuaku. Mereka memang tidak marah, itu karna mereka tak mau membuat penyakit ku kambuh. Tapi aku tau persis mereka sebenarnya bagaimana. Sebelumnya aku pernah seperti ini, mereka marah besar dan mengurungku di kamar semalaman, menyuruhku belajar. Aku tak masalah, memang itu yang ku lakukan setiap malam. Namun kali ini semenjak aku divonis terkena penyakit itu, kedua orang tuaku jadi takut-takut untuk membuatku disiplin seperti dulu.
Di kamar, di depan buku pelajaranku, aku menidurkan kepalaku di atasnya, bukan, bukan karna sakit kepalaku kambuh, tapi karna pikiranku kembali ke sore tadi. Tentang Irish yang menceritakan tentang Mawar, kue berbentuk mawar dengan nama Raphaella dan respon Egha saat aku bertanya tentang siapa itu Mawar. Aneh. Apa yang sebenarnya terjadi?
Dan satu lagi, aku ingin memberi tahu respon kedua orang tuaku saat melihat Egha mengantarku pulang. Mereka sepertinya masih tidak suka jika aku dekat-dekat dengan laki-laki. Bukan hanya Egha, Frans pun pernah ditatap seperti itu oleh kedua orang tuaku, namun kali ini beda. Mereka juga memberi tahuku langsung bahwa aku harus jauh-jauh dari Egha, katanya Egha membawa pengaruh buruk terhadapku. Jika ini tentang bolos les, aku akan berada diurutan paling depan dalam menolak alasan itu.
Kenapa sih orang tuaku malah ikut-ikutan menyuruhku menjauh dari Egha?
Ponselku bergetar, di sana menampilkan nama Egha. Setelah mengunci pintu aku mengangkat telfon Egha.
"Gue ganggu lo?"
"Nggak kok. Kenapa?"
"Nggak pa-pa."
Samar-samar aku mendengar gumaman Egha dari sana, 'kangen' yang membuat pipiku seketika memerah.
"Besok lo kosong nggak?"
"Besok ya, tanggal 14 jadwal periksa rutin aku."
"Besoknya lagi?"
"Aku les."
"Jadwal kosongnya kapan?"
"Hari Rabu."
"Kalo gue ajak jalan mau nggak?"
"Kemana?"
"Maunya sih ke hati gue langsung. Tapi pelan-pelan dulu kali ya."
Aku tertawa kecil mendengar jawaban Egha. Entah kenapa baru kali ini aku merasa nyaman-nyaman saja ketika berbincang dengan orang asing, maksudku aku baru mengenal Egha 3 hari tapi laki-laki ini sudah membuatku seperti temannya dari lama. Di sekolah, setiap bertemu dengannya, seperti biasa aku menyapanya.Senyumnya melebar ketika melihatku berlari ke arahnya. Sepanjang koridor kami berdua berjalan beriringan, dan berujung di kantin. Aku tak terlalu memperdulikan pandangan orang-orang terhadap ku dan Egha.
Namun yang aku herankan adalah Tya dan Frans mati-matian menyuruhku untuk menjauhi Egha. Aku sampai risih sendiri pada mereka berdua. Bukannya tidak suka, mereka seakan-akan melihat Egha sangat rendah.
"Lo masih suka jus mangga?"
"Masih, kamu tau?"
"Tau."
Aku membawa dua gelas jus mangga dan Egha membawa sepiring kue mawar yang Bunda Egha simpan di rumah untuk cemilan Egha. Aku menatap Egha yang sibuk dengan catatannya.
"Kalo ini pindah ke sini, berubah tanda juga?"
Aku tertawa kecil sembari menatap Egha yang sedang frustasi menatap deretan angka. Setengah jam full aku menyenderkan tubuhku pada sofa di belakang, menatap Egha yang masih serius dengan bukunya. Jika dilihat secara dekat, wajah Egha seperti tak asing, ia pernah melihat Egha apalagi dari sudut sini. Aku memejamkan mataku erat, sakit itu datang lagi.
Aku meringgis pelan, berusaha menahan sakit itu, seperti ribuan pisau menghantam kepalaku dengan cepat. Samar-samar aku mendengar Egha memanggil namaku, matanya menatapku cemas. Egha membuka tasku, mengeluarkan kotak kecil khusus obatku. Setelah meminum obat itu, perlahan sakit itu hilang, aku menatap Egha yang sedang menelfon Bundanya, menyuruh Bundanya pulang karna Egha sendiri pun bingung ingin melakukan apa.
Aku tertawa kecil. "Kamu lucu."
Egha berdecak. "Lo pucet gini masih bisa senyum?"
Tak lama kemudian, pintu utama terbuka, Bunda Egha datang dan langsung memeriksaku. Setelah itu Bunda Egha pergi ke dapur, memasak sesuatu sedangkan Egha masih menatapku cemas.
"Jangan mikirin macem-macem, nanti sakitnya tambah parah."
"Iya," jawabku, "Eh?"
Aku baru sadar, Egha tau tentang penyakitku? Di sini, yang tau penyakitku hanya orang tuaku, dokter dan aku sendiri. Selebihnya, Tya dan Frans hanya menjalankan tugas dari orang tuaku untuk menjagaku selama di sekolah dan les.
"Kok kamu tau?"
"Tau apa?"
Belum sempat aku kembali bertanya, Egha sudah meninggalkan ku, berjalan menuju dapur dan kembali dengan piring dan segelas air, duduk di hadapanku. "Makan dulu, abis itu minum obat lagi."
"Iya."
Aku menikmati makan siangku, sesekali aku tertawa kecil ketika Egha bercerita tentang Ayahnya dulu, tentang Irish yang kecilnya sangat nakal dan tentang kucingnya. Egha menceritakannya pelan-pelan hingga aku bisa memahami semua ceritanya. Setelah selesai, aku pamit pada Bunda Egha dan diantar pulang lagi oleh Egha. Selama perjalanan Egha tak henti-hentinya menanyakan apakah aku sudah baik-baik saja atau belum. Jika belum, kita ke rumah sakit sekarang, katanya.
Di rumah, Egha ditatap seperti sebelumnya. Bahkan orang tuaku sama sekali tidak mengulurkan tangannya untuk membalas tangan Egha. Ayah menyuruhku masuk, meninggalkan mereka berdua. Samar, aku mendengar Ayah berbicara dengan nada dinginnya.
"Mau apa lagi kamu ke sini?"
Aku mengernyit lalu berbalik pada Bunda yang menuntunku menuju kamar. "Bunda, Bunda kenal Egha?"
Bunda tersenyum kecil lalu mengelus rambutku lembut tanpa mau menjawab pertanyaanku tadi. "Ella tadi kemana?"
"Di rumah Egha Bun," ucapku sembari mengganti pakaian.
"Ngapain aja di sana? Ella ketemu sama orang tuanya Egha?"
"Bantuin ngerjain tugasnya Egha. Iya, Bundanya Egha baik banget sama Ella Bun."
Aku berantusias menceritakan apa yang ku lalui bersama Egha. Tanggapan Bunda seperti biasa, tersenyum dan menungguku menyelesaikan cerita baru ia kembali bertanya.
"Tapi, Ella heran Bun. Kan Bundanya Egha buka toko kue ya, salah satu kuenya berbentuk bunga mawar, tapi namanya Raphaella, nama Ella."
Senyum Bunda perlahan luntur. Lalu tersenyum kembali. "Di rumah Egha kepala Ella sakit?"
"Iya Bun. Padahal Ella cuma natap Egha dari samping trus kepala Ella sakit banget."
"Jadi sakitnya bisa ilang karna apa?"
"Egha ambil obat aku di tas, Bundanya buatin aku sup krim."
Aku duduk di meja belajar, mulai membuka buku catatanku. Baru dua paragraf membaca, mataku terarah pada pagar rumah. Di sana Egha memasuki mobilnya yang diantar langsung oleh Ayah. Aku kembali menatap Bunda yang sedang menatap foto di atas lemari kecil samping kasur.
"Tapi Bun, kenapa Egha tau kalo aku punya penyakit? Egha juga tau takaran obat aku."
Bunda kembali terdiam, ia mendekatiku, mencium puncak kepalaku lalu keluar dari kamar. Aneh. Apa yang sebenarnya terjadi?
🌹
KAMU SEDANG MEMBACA
-R
Teen FictionIni semua tentangnya. Aku merangkumnya di dalam sini. ABP series I ; -𝗥 ©2019 by hip-po.