Kejadian sore itu sangat berdampak padaku, hingga aku mengurung diri di kamar tak mau keluar walaupun itu untuk makan. Bahkan saat Tya dan Frans main ke rumah, aku yang biasanya senang karna Tya dan Frans jarang datang ke sini pun malah pura-pura tertidur saat tau mereka datang. Bukan hanya itu, ponselku dipenuhi notifikasi dari Egha. Entah itu telfon atau sekedar pesan yang masuk. Bunda juga bilang Egha selalu datang ke rumah, tapi Ayah selalu melarang. Di kamar, aku hanya menatap langit-langit kamar sembari memikirkan nasibku sebelumnya. Aku benar-benar bodoh karna berharap pada Egha. Bahkan laki-laki itu seperti mengejekku karna aku tak bisa berhenti untuk menyayanginya. Sakit, tapi itu benar.
Aku mengangkat tangan kananku. Bahkan gelang yang Egha beli untukku masih terpasang di pergelangan tanganku dan boneka yang lebih besar dari tubuhku, boneka hasil perjuangan Egha yang berada di sudut ruangan, menatapku kasihan. Semua yang aku lewati bersama Egha, tak bisa dilupakan begitu saja. Memang tak seberapa, tapi setiap detik pada momen-momen itu, aku bisa merasakan ketulusan Egha berada di sampingku. Tapi entah kenapa tiba-tiba ia lebih memilih Hani.
Cara Egha menatapku lembut, senyuman manisnya dan perlakuan kecilnya padaku selalu membuatku luluh. Egha seperti teka-teki yang harus dipecahkan. Bahkan aku lebih memilih memecahkan teka-teki yang dibuat oleh Pak Pikra tentang Sains daripada memecahkan teka-teki Egha. Aku bahkan sangat susah mengetahui seperti apa Egha itu. Egha sangat sulit dipahami, kadang ia lembut padaku, kadang juga ia sangat dingin padaku. Tak segan-segan ia menganggapku sebagai bonekanya.
Itu dulu, sekarang otakku sudah kembali bekerja.
Aku keluar dari kamar, menuju dapur, meneguk segelas air membasahi kerongkonganku. Hari ini adalah hari penerimaan rapor, tapi aku sengaja untuk mengambil rapor paling terakhir untuk menghindar dari siapapun. Aku juga sudah bilang pada wali kelasku, aku akan terlambat mengambil rapor karna ada sesuatu yang harus dikerjakan. Dan tentunya, wali kelas yang sangat menyayangiku akan menungguku di sekolah.
"Jam berapa mau ke sekolah La?"
"Jam 4 Yah."
"Mau Ayah anterin?"
Aku menggeleng. "Nggak usah. Ella naik ojek aja."
Ayah mengangguk lalu kembali sibuk dengan televisinya. Sedangkan aku bersiap-siap untuk ke sekolah. Kali ini aku memakai pakaian yang cukup sopan karna akan bertemu dengan wali kelasku. Koridor sekolah sudah sepi, hanya ada beberapa anak kelas 10 berlalu lalang di sana. Aku masuk ke ruang guru, duduk di hadapan wali kelasku sembari tersenyum karna ia bilang bahwa nilaiku membaik. Selesai konsul soal nilai dengan wali kelasku, aku keluar dari ruang guru dan mendapati Dikta.
Aku menghampirinya. "Dikta!"
Dikta yang tadinya sedang berbincang dengan temannya, berbalik padaku dan tersenyum manis. Bekas luka dipelipisnya pasti karna ulah Regha dulu.
"Oh, hai La."
"Gimana, nilai aman?"
"Aman. Lo sendiri?"
Aku terkekeh. "Aman. Tentang yang lalu-lalu, aku minta maaf ya. Aku denger kamu sampe dirawat ya?"
"Iya, santai."
"Maaf ya, gara-gara aku, kamu jadi kayak gitu."
"Nggak pa-pa La, udah lewat juga."
"Omong-omong tentang Egha. Hubungan kalian gimana?"
Aku tersenyum kikuk. "Gimana apanya?"
"Kalian baik-baik aja kan?"
"Ah iya. Aku sama Egha baik-baik aja. Egha bahagia sama Hani dan aku bahagia seperti biasa."
Dikta mengernyit. "Egha sama Hani?"
Aku tersenyum. "Bukannya mereka jadian?"
"Kayaknya nggak deh."
"Maksudnya nggak?"
"Egha sama Hani nggak jadian, dan Egha mungkin sekarang lagi nggak bahagia. Nggak tau ini beneran atau kebetulan aja. Sejak hubungan kalian renggang, Egha jadi aneh. Dia bukan Egha yang gue kenal."
Aku mengulum bibirku tak paham. Dikta bicara apa sih? Aku benar-benar tak paham. Egha dan Hani tidak jadian? Dan apa yang Dikta maksud dengan Egha mungkin sekarang sedang tidak bahagia? Apa yang terjadi?
"Coba sekali-kali lo jengukin dia deh," lanjut Dikta, "gue duluan ya!"
"Hati-hati!"
Aku menunggu ojek onlineku di depan gerbang sembari memikirkan apa yang Dikta ucapkan tadi. Gara-gara Dikta, aku jadi tidak sabaran untuk mendatangi rumah Egha. Selama perjalanan, aku mendoakan semua yang Dikta ucapkan tadi tak sesuai dengan pikiranku. Sesampainya di rumah Egha, laki-laki itu tak ada di rumah. Bunda Egha bilang Egha tak pulang dari tadi malam. Bahkan Bunda Egha sampai menangis khawatir pada Egha. Jantungku berdetak kencang, dengan cepat aku menuju ke gedung tua belakang perumahan. Aku menaiki tangga sembari berlari. Sesampainya di atas, aku membulatkan mataku sempurna, bungkus obat-obatan terlarang berserakan bersama dengan bungkus rokok dan botol minuman beralkohol.
Aku mendekati barang-barang haram itu dan tak sadar hingga berdiri di ujung rooftop menatap ke bawah. Lagi-lagi aku merasa déjà vu, kepalaku seketika terasa sangat sakit. Dunia seakan-akan berputar. Aku memejamkan mataku erat, berusaha mengusir semua rasa sakit yang aku rasakan.
"Keira!"
Teriakan Egha membuatku membuka mataku dengan cepat, aku menatapnya. Aku bisa mengetahuinya walau pandanganku memutar, Egha menatapku panik. Samar-samar aku mendengar Egha melarangku bergerak sedikit pun. Tapi suara Egha dan suara yang lain seperti klakson kendaraan di jalan raya sana terdengar sangat nyaring di telingaku. Bahkan letak jalan raya dari gedung ini lumayan jauh. Tapi entah kenapa suara-suara jauh seperti itu bisa terdengar nyaring di telingaku.
Tiba-tiba diriku seperti ditarik ke masa lalu, seperti kaset rusak, memoriku kembali memutar kejadian lalu. Aku melihat bahwa ada perempuan berdiri di tempat ini dengan dress putih selutut, menangis sembari menatap laki-laki berseragam putih-biru yang sedang menyuruhnya menjauh dari sana.
"Keira jauh-jauh dari sana!" teriak anak laki-laki itu.
"Regha kamu jahat sama aku! Kamu bilang kamu nggak akan ninggalin aku, tapi apa?!"
Setelah percakapan singkat itu, aku melihat perempuan itu terjatuh dari sana dan kedua mataku langsung terbuka. Seperti ada batu besar yang menghantam kepalaku, kepalaku sangat sakit, seperti aku tak bisa menahannya lagi. Aku memejamkan kedua mataku erat, menjambak sendiri rambutku keras-keras. "Sakit."
Samar-samar aku mendengar hentakkan suara sepatu Egha dengan lantai rooftop yang begitu nyaring di telingaku. Hal itu membuat sakitnya bertambah parah dan tubuhku kehilangan keseimbangan.
Aku menatap Egha dari posisiku. "Regha."
Itu kata terakhir yang ku ucapkan sebelum tubuhku melayang dan mati rasa setelah menghantam tanah. Lalu semuanya menghitam.
🌹
KAMU SEDANG MEMBACA
-R
Teen FictionIni semua tentangnya. Aku merangkumnya di dalam sini. ABP series I ; -𝗥 ©2019 by hip-po.