Karena kemarin aku datang ke rumah dengan keadaan hampir sedingin es batu, aku jadi dimarahi oleh Ayah dan Bunda. Tapi karna jahe hangat dan dirawat semalaman oleh Bunda, aku jadi bisa ke sekolah hari ini. Padahal tadi pagi Bunda sempat melarangku karna badanku masih sedikit hangat, tapi aku memaksakan diri, berbohong kalau hari ini ada ulangan harian. Maafkan aku Bunda, aku masih penasaran kenapa Egha berubah.
Sekarang, di koridor kelasku aku sedang mengamati Egha yang sedang bermain basket di lapangan, aku juga melihat Hani sepertinya sedang menunggu Egha sembari bermain ponsel dan botol air di samping tubuhnya. Aku menyenggol Tya yang aku paksa untuk mengikuti apa yang aku lakukan sedari tadi.
"Kalo kamu liat-liat, Egha pacaran nggak sih sama Hani?"
"La, lo beneran suka sama Egha?"
"Emangnya kenapa?"
"Udah gue bilang, dia bukan anak yang baik-baik."
"Tapi dia baik sama aku."
"Terserah lo aja deh."
"Trus gimana?"
"Apanya?"
Aku berdecak, belum menjawab pertanyaanku, Tya sudah mengalihkan topik pembicaraan kita.
"Hani sama Egha pacaran nggak?"
Tya mengangkat bahunya sekilas. "Kok Egha bisa sih ngambil hati lo?"
"Maksudnya?"
"17 tahun lo jomblo, baru kali ini gue denger lo suka sama orang."
Aku diam, masih mengamati mereka berdua. Namun saat Hani benar-benar memberikan botol air itu pada Egha aku beranjak dari sana, berlari kecil menuruni tangga, menghampiri Egha. Kali ini aku tidak main-main. Aku sudah muak.
"Egha, ada yang mau aku omongin."
Egha berlalu begitu saja mengikutiku tanpa pamit terlebih dahulu pada Hani. Di lapangan basket indoor, aku berbalik, menatap Egha. "Aku punya salah ya sama kamu?"
"Nggak."
"Trus kenapa kamu menjauh?"
Egha diam sedangkan aku bingung mau mengatakan apalagi. "Kamu malu ya berteman sama cewek berpenyakitan kayak aku?"
"Kata Bunda semua penyakit aku nggak nular. Tapi kenapa kamu menghindar?"
Dengan satu tarikan, Egha membawaku ke pelukannya, memelukku erat sementara aku sudah tidak bisa menahan air mataku yang sedari tadi memberonta ingin keluar. Egha mengusap rambutku lembut, berusaha menenangkanku. Lalu melepaskan pelukannya, menyentuh kedua bahuku dengan tangannya, mensejajarkan pandangan kami.
"Ra, janji sama gue, lo harus lawan penyakit ini."
"Kenapa?"
"Janji sama gue," ucapnya lagi, "ada ataupun nggak ada gue disamping lo, lo harus sembuh."
"Apa sih serem banget, kamu kayak mau mati aja," ucapku sembari mengusap air mataku.
Egha terkekeh kemudian mengacak lembut rambutku. "Gimana caranya gue jauh-jauh dari lo kalo kayak gini?"
"Kamu kenapa mau menjauh sih?"
Hening. Padahal aku menatap Egha, menunggu jawaban darinya tapi Egha malah memutus tatapan kami, melihat ke arah lain, memberi tahu bahwa ia tak ingin menjawab. Aku menghembuskan nafasku kasar.
"Aku tau kok jawabannya, kamu jaga Hani ya. Semoga bahagia."
Aku meninggalkan Egha sendirian di sana berlari kecil menuju perpustakaan. Entahlah, aku harus menenangkan pikiranku dan dadaku yang sesak setelah mengatakan hal tadi pada Egha. Di koridor aku berpapasan dengan Tya, Tya berhenti saat aku lewat di hadapannya. Tapi bukannya ikut berhenti aku malah mempercepat langkahku menuju perpustakaan. Aku tak mau Tya mengetahui apa yang terjadi, ia selalu menyalahkanku karna tidak mendengar supaya tidak dekat-dekat dengan Egha.
KAMU SEDANG MEMBACA
-R
Teen FictionIni semua tentangnya. Aku merangkumnya di dalam sini. ABP series I ; -𝗥 ©2019 by hip-po.