[ Irish Rindu Katanya ]

1.4K 143 0
                                    

[ Bagian Tiga ]

Aku mengantar Keira pulang, bahkan sampai di pintu utamanya. Pertama kali yang aku lihat saat pintu utama terbuka adalah Ayah Keira. Laki-laki itu menatapku dingin, seperti dulu bahkan lengan Keira sampai ditarik kasar saat melihatku. Setelah Keira dibawa pergi oleh Bundanya, Ayahnya menatapku kembali menatapku.

"Mau apa lagi kamu ke sini? Nggak cukup buat anak saya menderita?"

Aku menunduk, kata-kata Om Kelvin menusuk hingga membuat dadaku sesak mendengarnya.

"Seharusnya dari dulu saya pindahkan saja Ella dari sekolah itu."

Aku menahan pintu besar itu saat Om Kelvin ingin menutupnya. "Saya sayang sama Keira, Om."

"Rasa sayang kamu yang buat dia jadi seperti ini."

Setelah mengucapkan kalimat itu, pintu di depanku dibanting pelan olehnya. Aku menghembuskan nafas lalu pulang ke rumah.

Sembari menatap langit-langit kamar, aku memutar-mutar ponsel yang berada di tanganku lalu tersenyum lebar saat sadar bahwa aku sudah dekat dengan Keira. Berarti aku bisa menelfonnya kan? Setelah 2 tahun menyimpan nomor itu di ponselku, akhirnya malam ini aku bisa menggunakannya.

"Halo?"

Katanya dari sebrang sana membuatku tersenyum lebar. Ternyata Dikta tak memberi nomor telfon palsu. "Gue ganggu lo?"

"Nggak kok. Kenapa?"

"Nggak pa-pa," aku mengulum bibirku, "kangen."

Setelah perbincangan singkat itu, aku meminta Keira untuk membantuku menyelesaikan PR matematika yang tadi baru diberikan. Lumayan, sekalian modus. Dan di sinilah kami sekarang. Aku menaruh dua gelas kosong di meja makan lalu mengambil sekotak jus mangga dan menuangnya di gelas tadi.

"Lo masih suka jus mangga?"

"Masih, kamu tau?"

Aku tersenyum, apa sih yang aku tidak tau dari seorang Keira?

"Tau."

Setelah mengobrol sebentar, Keira menyuruhku untuk fokus pada PR ku. 10 menit Keira menjelaskan, aku hanya menatap wajahnya lekat tanpa mengalihkan pandangan sedikitpun. Dulu, setiap aku mendapatkan PR dengan materi yang tidak terlalu ku pahami, aku meminta Keira untuk mengajariku. Walaupun lebih banyak main-mainnya, tapi Keira masih sabar mengajarku dan sesekali menanggapi candaanku. Dan ujung-ujungnya aku mengerti karna Keira menjelaskan dengan sabar dan tidak buru-buru seperti guru waktu itu. Pernah satu kali, aku lelah karna sepulang sekolah harus latihan basket dan pulang dari latihan aku harus mengerjakan PRku. Kala itu, Keira yang datang ke rumahku. Awalnya aku menolak karna sangat lelah dan mengatakan bahwa besok aku bisa menyalinnya dari teman kelasku.

Tapi ketika ia menatapku, aku langsung luluh. Tidak enak juga menyuruhnya pulang kala itu, lagi pula ia datang sendiri tanpa ku panggil, berarti ia tau bahwa aku ada PR untuk besok.

-RTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang