"Egha!"
Sudah ketiga kalinya sejak tadi pagi, Egha mengabaikan ku, entah apa alasannya, kemarin malam yang aku lihat Egha meninggalkan rumahku dengan wajah yang ditekuk, menatap rumahku lama lalu melajukan motornya. Karna tergesah-gesah ingin menghampiri Egha, langkah kaki ku pun tak ku hiraukan hingga akhirnya aku tersungkur di koridor, membuat buku-buku yang awalnya ingin ku bawa ke ruang guru terjatuh.
"Aduh Kak Ella, kok bisa sampe jatuh sih?"
Aku menatap punggung Egha yang hilang dipertigaan lalu menghembuskan nafasku kasar. Lengan ku terasa perih sekarang, apalagi lututku yang sepertinya nanti akan menimbulkan warna kebiru-biruan di sana. Setelah mengucapkan terima kasih, aku membawa buku-buku itu ke ruang guru, yang dibantu oleh adik kelas tadi. 10 menit sebelum bel pergantian pelajaran berbunyi, aku mengelilingi sekolah, mencari keberadaan Egha. Tapi saat menemukan laki-laki itu, bel berbunyi, aku jadi ragu untuk menghampiri Egha, takut menghalangi Egha untuk kembali ke kelasnya.
"Ella! Astaga lo jatuh dimana?"
Teriakan Tya mengundang perhatian banyak orang. Apalagi Frans yang sedang berkumpul dengan teman-temannya di belakang kelas. Ia menghampiriku, menatapku cemas. "Kok bisa sih?"
"Tadi kesandung di koridor."
Ia berdecak, menarik lenganku, membawaku ke UKS. Selama perjalanan ke UKS, aku berusaha menarik kembali lenganku tapi usahaku sia-sia karna Frans jauh lebih kuat. "Biar Tya aja Frans."
"Biar aku aja."
"Yaudah pelan-pelan, lutut aku perih!"
Aku memekik saking kesalnya. Tatapan Frans melembut. "Lutut kamu juga luka? Kenapa nggak bilang daritadi?"
Baru saja aku ingin menjawab pertanyaan Frans, Egha lewat melewati kami berdua. "Egha!"
Egha berbalik, menatap lenganku yang luka, lebih tepatnya menatap lenganku yang digenggam oleh Frans. Laki-laki itu kembali berbalik, mempercepat langkahnya. Egha sebenarnya kenapa sih?
Di UKS, aku hanya diam saja saat Frans mengajakku berbicara tentang luka yang ku dapatkan hari ini. Melihat tatapan Egha padaku tadi, membuatku sedikit aneh, biasanya Egha tak seperti ini. Apa dia marah karna kemarin malam aku menyusahkannya dengan membawa boneka yang ukurannya lebih besar dariku? Percayalah, boneka itu, aku peluk sepanjang perjalanan. Bayangkan saja bagaimana caranya. Tapi Egha bukan tipe orang yang seperti itu, bila Egha tak suka dengan hal itu, Egha langsung memberi tahuku, bukan diam-diam seperti ini.
Aku menatap perban di kedua lututku, Frans pergi membeli minum di kantin dan akan kembali tak lama setelah ia pergi. Kedua kakiku aku gerakkan, mengayunkannya dari depan ke belakang, rasanya perih. Luka luar pertama kali yang aku dapat setelah 3 tahun terakhir. Apa yang Ayah dan Bunda katakan bila aku pulang dengan keadaan seperti ini nantinya?
Karna bosan di UKS dan Frans sangat lama, akhirnya aku memutuskan untuk kembali ke kelas sendirian. Dengan rasa perih yang menjalar hingga ke seluruh kaki, aku berusaha menaiki tangga. Awalnya aku menaiki tangga satu per satu, satu tangga, berhenti lalu lanjut lagi. Sampai akhirnya aku tidak sabaran dan melangkah seperti biasa. Satu anak tangga terakhir, kaki ku terasa lemas, membuat tubuhku terhuyung ke belakang. Hanya satu yang ku lakukan saat itu, menutup mata erat-erat membayangkan ada kasur empuk yang menyambutku saat tubuhku benar-benar terjatuh.
Saat aku tak merasakan apa-apa, mataku perlahan terbuka. Dari belakang, aku mendengar suara decakan.
"Kalo kayak gini caranya, gimana gue mau menjauh dari lo."
"Kamu kenapa sih menghindar terus?" aku menatap Egha kesal, "aku punya salah sama kamu?"
"Jangan nangis!" ucap Egha langsung, ia mengacak rambutnya, "gue latihan basket dulu, besok gue tanding. Jangan lupa nonton."
Setelah itu Egha pergi, mataku yang tadinya sudah berkaca-kaca tidak jadi mengeluarkan air mata saat Egha melarangku. Kepergian Egha membuatku kembali melangkah berat ke kelas, dari belakang Frans menghampiriku dengan nafas yang terengah. Memarahi ku karna aku pergi duluan sebelum Frans kembali.
Ke-esokan harinya, sepanjang hari aku tidak melihat Egha berlalu lalang di koridor seperti biasa. Mungkin anak-anak basket sedang latihan sebelum mereka tanding di lapangan basket indoor. Sepulang sekolah, seperti permintaan Egha, aku menonton pertandingannya melawan sekolah lain yang diselenggarakan di lapangan outdoor sekolah. Egha terlihat lebih manis memakai baju basketnya, apalagi saat tersenyum tipis ke arahku. Pertandingan dimulai, membuat semua penonton mulai meneriaki tim dari sekolah mereka. Mataku hanya menatap Egha, bukan bolanya.
Hingga pertandingan itu selesai dengan menghasilkan skor 78-72 dan dimenangkan oleh sekolahku. Setelah melihat Egha sudah tak sibuk dengan teman-temannya, aku melangkahkan kakiku mendekatinya. Namun, baru saja langkah kedua, aku kembali berhenti. Hani, bendahara OSIS mendekati Egha, memberikan botol air yang ia pegang sedari tadi selama menonton. Aku yang melihat itu hanya bisa tersenyum tipis. Apa maksudnya ini? Egha menyuruhku untuk menonton pertandingannya hanya karna untuk memperlihatkan hal ini padaku? Yang benar saja!
Aku berlari menjauh dari lapangan itu, persetan dengan lututku yang perih ketika dipaksa berlari. Aku berlari menuju toilet, membuang air yang ku peluk selama pertandingan berlangsung. Menangis sejadi-jadinya di salah satu bilik toilet. Sakit, dadaku rasanya sangat sesak, seperti dihantam batu besar. Menangis seperti ini tak ada gunanya bagiku, bagi Egha. Egha juga sudah memilih Hani, dari awal, aku memang salah menaruh harapan pada Egha. Seharusnya aku membentengi hatiku seperti dahulu.
3 tahun benteng itu ku bentuk sedemikian rupa, akhirnya Egha menghancurkannya dalam waktu 3 hari.
Aku membasuh wajahku, melapisi wajahku dengan beberapa alat make up untuk menutupi mata bengkak khas setelah menangis dan bibir pucatku. Setelah selesai, aku keluar dari sana, baru saja keluar dari toilet, wajah Egha menyambutku.
"Lo nggak pa-pa?"
"Emangnya aku kenapa?"
"Ra, lo–"
"Selamat ya, tadi. Kamu hebat," aku tersenyum lebar, seperti biasa.
Seperti tau apa yang ku rasakan saat ini, hujan turun dengan derasnya. Dari raut wajah Egha, Egha mengetahui ada yang aneh dari diriku, cepat-cepat aku pergi dari hadapannya, keluar dari sekolah berjalan terus entah kemana hingga posisiku jauh dari sekolah, jauh dari Egha. Langkahku berakhir di jalanan yang sepi, kakiku sudah lemas lagi tak bisa bergerak. Lututku semakin perih terkena air hujan. Beruntungnya, mobil Tya lewat di depanku, menyuruhku ikut masuk ke dalam mobil itu.
"Lo ngapain sih ujan-ujanan? Pak Retno nggak jemput?"
Aku hanya diam, mengeratkan selimut yang Tya berikan padaku sembari menatap ke arah luar.
"Pertama kalinya lo bertingkah kayak gini gara-gara cowok. Lo beneran sayang sama Egha?"
Aku menyatukan kedua tanganku, meniupnya, menghantarkan hawa hangat dan berharap tanganku tak sedingin es seperti terakhir kali aku bermain hujan.
"Jawab Gue La! Gue udah bilang jangan deket-deket sama dia–"
"Iya."
"Apanya yang iya?"
"Aku sayang sama Egha."
🌹
KAMU SEDANG MEMBACA
-R
Teen FictionIni semua tentangnya. Aku merangkumnya di dalam sini. ABP series I ; -𝗥 ©2019 by hip-po.