"Makasih, maaf ngerepotin. Seharusnya kamu pulang sama Hani aja—"
"Om sama Tante mana?"
Aku mengusap lenganku saat Egha memotong ucapanku. "Lagi di Malang. Besok pulang."
"Malam ini sendirian?"
"Iya, kemarin malam juga."
Egha ikut turun dari motor, menaruh helmnya di motor. "Bawa baju, lo nginep di rumah."
"Loh, kenapa?"
"Jangan banyak tanya, gue tunggu."
Aku menggeleng kecil. "Nggak usah."
"Tapi lo sendirian."
"Nggak usah, Ga," tolakku lagi.
Kali ini Egha menatapku lalu menghembuskan nafasnya kasar. "Lo udah makan?"
"Belum."
"Yaudah ayo makan."
"Dimana?"
"Lo maunya dimana?"
"Di rumah kamu!"
Egha mengangguk menyetujui. Aku pun tak bisa menghapus senyumku sepanjang perjalanan. Awalnya aku ingin turun di toko kue Bunda Egha tapi Egha melarangku, menyuruhku untuk menunggu di rumah sedangkan ia menjemput Bundanya serta Irish di toko kue. Aku berlari ke teras belakang, mengambil anak kucing Egha yang sekarang sudah bisa lepas dari induknya. Aku tersenyum lebar sembari mengusap bulu tebalnya, mata lebarnya sangat menggemaskan.
Hari mulai gelap, aku dan Bunda Egha masih sibuk di dapur menyiapkan makan malam. Kami berdua berbincang tentang pertandingan Egha tadi karna Bunda Egha tak sempat datang karna sibuk mengurus kue. Bunda Egha sangat senang mendengar bahwa Egha memenangkan pertandingan tadi. Apalagi mengetahui bahwa Egha mencetak poin paling banyak. Makan malam berlangsung hangat, aku sesekali tertawa kecil saat Bunda Egha bercerita tentang Egha sewaktu kecil. Sedangkan Egha hanya diam sembari menikmati makan malamnya. Setelah selesai, aku membantu untuk mencuci piring walaupun Bunda Egha sudah melarangku berulang kali.
Keluar dari dapur, Irish menarik tanganku, membawaku menuju kamarnya. Ingin diajari bermain piano katanya. Saat aku bertanya mengapa ia bisa mengetahuinya, Irish hanya tersenyum lalu sibuk dengan pianonya. Sikap Irish tak jauh beda dengan Egha dan Bundanya. Bahkan Bunda Egha mengetahui makanan kesukaanku dan aku alergi apa.
Irish menarik tanganku, menunjuk buku yang terbuka dengan deretan not angka di atas piano. "Kak mainin ini buat Irish ya?"
"Okay."
Aku duduk di kursi, mulai menari di atas piano. Aku memejamkan mataku, mulai merasakan nada itu masuk, menelusuri pikiranku. Di dentingan terakhir, entah kenapa air mata turun dari mataku, aku menatap Irish dengan senyuman. Kepalaku mulai pusing, aku seperti pernah berada pada keadaan sekarang. Entah kapan, yang jelas ini seperti déjà vu.
"Kak Mawar! Irish nggak salah, cuma Kak Mawar yang bisa hapal not sepanjang itu—"
"Irish," panggil Egha sembari membawa Irish keluar dari kamarnya. Sedangkan aku masih memijit kepalaku berusaha menghilangkan sakitnya.
Samar-samar aku mendengar Egha membentak Irish. "Abang kan udah bilang, jangan bahas-bahas Kak Mawar!"
"Maaf Bang, Irish nggak tau."
Itu kalimat terakhir yang aku dengar sebelum tubuhku jatuh ke lantai yang dingin.
🌹
Aku terbangun, pukul 11 malam dengan tangan Egha mengenggam tanganku. Aku bangun dari tidurku, memejamkan mata sebentar lalu beranjak dari kasur. Di luar aku mendapati Bunda Egha sedang duduk di sofa dengan cahaya dari televisi menyinari, ternyata Bunda Egha tertidur dengan posisi duduk. Jika bangun, pasti seluruh tubuhnya terasa sakit, karna aku pernah mengalaminya, tapi aku bukan tertidur, tapi pingsan. Setelah memperbaiki posisi Bunda Egha, aku menaiki tangga, menuju kamar Irish. Gadis kecil itu masih sesegukan di sudut kamarnya, padahal ini hampir tengah malam. Aku mendekati nya, mengusap rambutnya lembut.
KAMU SEDANG MEMBACA
-R
Teen FictionIni semua tentangnya. Aku merangkumnya di dalam sini. ABP series I ; -𝗥 ©2019 by hip-po.