"Juara 1 Olimpiade Matematika tingkat Nasional diraih oleh Raphaella Kefira."
Suara tepukan tangan dan senyum lebar menyambutku yang baru saja mendonggak kaget ketika namaku dipanggil. Aku ikut tersenyum lebar sembari maju ke depan, menerima penghargaan yang selama ini aku dambakan. Belajar tanpa henti selama satu minggu itu tidak sia-sia. Selama satu minggu itu, aku sampai telat makan dan lupa minum obat yang membuat penyakit ku kambuh dan membuatku harus dirawat inap di rumah sakit. Tapi semua itu tak menghalangi ku untuk meraih piala ini. Aku tersenyum lebar ketika mataku dan mata Tya bertemu, begitupun dengan Frans walaupun piala besar ini menutupi pandanganku. Namun ada yang membuatku lebih tertarik, laki-laki yang berada di rooftop sekolah ikut bertepuk tangan sembari tersenyum lebar. Dari sini, senyum Egha terlihat lebih manis dari—astaga, apa yang ku pikirkan.
Setelah upacara selesai, aku berdiam diri di depan cermin memastikan bahwa wajahku tidak pucat sama sekali. Aku memakai sedikit liptint bibir yang berwarna merah tidak akan membuat orang mengira bahwa aku sedang tidak baik-baik saja kan? Aku keluar dari kamar mandi, bersamaan dengan itu, Egha lewat di depanku.
"Egha!"
"Eh, Keira. Gimana? Udah baikan?"
"Iya, udah sembuh."
"Selamat ya tadi."
"Makasih Ga. Jadi kapan aku ke rumah kamu?"
Egha tersenyum, manis. "Lo maunya kapan?"
"Pulang–"
"La, ngapain kamu di sini sama anak kayak dia?"
"Bisa nggak sih manggilnya Egha aja?"
Aku melirik jengkel Frans lalu beralih ke Egha lagi. Egha menatap Frans dengan tatapan tajamnya. Baru kali ini aku melihat Egha menatap orang lain seperti ini, atau dengan Frans saja?
"Ra, gue bisa kapan aja. Ke kelas gue aja."
Aku mengangguk. "Iya Ga."
Setelah Egha pergi barulah aku memarahi Frans tentang caranya berbicara dengan Egha tadi. Entah apa yang terjadi antara Egha dan Frans sebelumnya, mereka berdua sepertinya memang tak akur sejak lama. Di kelas, aku langsung mendatangi Tya, menceritakan semuanya tentang Egha. Tya kaget dan mengatakan baru kali ini Egha memperlakukan orang lain seperti ini, sebelumnya tidak pernah dan Tya menyuruhku hati-hati pada Egha. Aku pun termenung, memangnya seorang Egha itu bagaimana sih? Sampai semua orang menyuruhku hati-hati pada laki-laki itu. Padahal, selama ini Egha orangnya baik kok.
Sepulang sekolah, aku lebih memilih untuk melihat kucing Egha dibandingkan les. Aku berlari kecil menyusuri koridor menuju kelas Egha, di sana laki-laki itu sedang menatap langit dari jendela kelas. Aku memasuki kelas itu ragu-ragu, Tya memberi tahunya bahwa Egha itu memang bukan anak yang baik-baik, keluar masuk BK karna berkelahi dengan siswa lain, tawuran, balap liar. Tapi selama Egha memperlakukanku dengan baik, aku akan membalasnya juga.
"Egha ayo."
Egha terkejut ia menatapku tidak percaya. "Lo bukannya les?"
"Hari ini nggak."
"Yaudah ayo."
Di parkiran, Egha meminta maaf karna ia tak membawa mobil ke sekolah. Aku pun tertawa kecil, memangnya kenapa jika tak membawa mobil? Aku juga tak masalah bila harus naik motor, angkot atau jalan kaki sekali pun. Yang penting aku tidak menyusahkan Egha. Motor Egha berhenti di sebuah toko kue kecil di pinggir jalan sebelum masuk perumahan. Egha membuka pintu dan harum manis kue menyambutku, diikuti senyuman lebar dari wanita paruh baya yang wajahnya mirip sekali dengan Egha. Saat pertama kali melihatku, Bunda Egha terkejut hingga membuatku tidak enak. Namun raut wajahnya kembali.
"Siapa ini Ga?"
Merasa terpanggil, aku pun menyalami Bunda Egha, tersenyum lebar sembari memperkenalkan diri. "Raphaella Tante, panggil Ella aja."
Bukannya membalas uluran tanganku, Bunda Egha malah memeluk ku erat.
"Baru kali ini loh Egha ngajak temannya ke toko kue Tante," ucapnya dengan suara serak. Mata Bunda Egha memerah, Bunda Egha menangis?
Aku tersenyum menanggapi sedangkan Egha tersenyum kikuk sembari mengusap tengkuknya. Setelah Bunda Egha kembali ke belakang, aku dan Egha mengelilingi toko kue itu, melihat semua kue dengan nama-nama yang unik. Egha yang berada di hadapanku berhenti, lalu menunjukkan kue berbentuk bunga mawar ke arah ku.
"Tau nggak namanya apa?"
"Apa?"
"Raphaella."
Aku tertawa kecil menanggapi, aku kira Egha berbohong, tapi saat melihat nama kue itu di toples aku baru percaya. "Serius?"
"Iya."
Egha keluar dari toko meninggalkanku yang masih bertanya-tanya mengapa kue itu bernama Raphaella. Bunda Egha datang dengan kantong plastik di tangannya.
"Itu Egha yang namain La, katanya namanya cantik."
Aku melirik Egha yang sedang menungguku di luar. Aku tersenyum manis sembari menerima kantong plastik itu. Kata Bunda Egha isinya kue untuk cemilan di rumah Egha. Aku pun berpamitan pada Bunda Egha lalu menghampiri Egha, naik ke atas motor. Ternyata, rumahnya tak terlalu jauh dari toko kue. Hanya berjarak 7 rumah saja. Aku melepas helm, menunggu Egha masuk duluan ke dalam rumah sembari menatap halaman bersih rumah Egha. Bukan hanya gemar membuat kue, Bunda Egha juga gemar menanam beberapa bunga di halamannya.
"Bang Egha!"
Anak kecil dengan dress pink pucat berlari menghampiri Egha dan disambut hangat oleh Egha. Ia tersenyum senang sembari memeluk erat Egha lalu beralih kepadaku, ia menatapku bingung.
"Kak Mawar?"
"Bukan, kenalan dulu dong."
Egha menurunkan gadis kecil itu, membawanya mendekatiku. Aku pun tersenyum senang sembari mengusap rambut gadis itu. "Halo, namanya siapa?"
"Irish."
"Hai Irish, namanya cantik."
Irish kembali menatap Egha. "Mirip banget sama Kak Mawar Bang."
Egha mengacak rambut Irish lalu menyuruh Irish main denganku di teras belakang. Di teras belakang, sembari memeluk kucing yang diceritakan oleh Egha, Irish menceritakan banyak hal. Tentang Ayahnya dan Mawar yang daritadi ia sebut-sebut. Ayahnya meninggal saat sedang menjaga perbatasan, tiga peluru di dadanya, dimakamkan dengan hormat, satu negara menyebutnya pahlawan. Dan Mawar sendiri, tak banyak yang Irish ceritakan, ceritanya dipotong oleh Egha yang baru saja datang dan menyuruhnya masuk ke dalam.
Yang dapat aku tangkap dari cerita Irish adalah Mawar sangat mirip denganku dan perempuan itu sudah tiada. Entah sudah pindah rumah atau pindah negara, Irish tak menceritakannya.
Dan bercerita dengan Egha, laki-laki itu tak pernah menyebut nama Mawar atau sekedar menjawab pertanyaanku tentang siapa itu Mawar. Egha bungkam. Saat matahari mulai tenggelam, aku bangkit dari duduk ku, mengembalikan kucing lucu itu pada Egha.
"Udah mau malem, aku pulang ya?"
"Tunggu sebentar."
"Kenapa?"
"Biar gue yang anter lo pulang."
"Aku bisa pulang sendiri."
"Gue yang anter. Udah mau malem, gue nggak mau lo kenapa-napa."
Setelah mengatakan itu, detak jantungku berdetak lebih cepat dari sebelumnya, lagi.
🌹
KAMU SEDANG MEMBACA
-R
Teen FictionIni semua tentangnya. Aku merangkumnya di dalam sini. ABP series I ; -𝗥 ©2019 by hip-po.