[ Arlan dan Egha ]

1.4K 151 0
                                    

Kalimat Egha kemarin sore tergiang-ngiang di kepalaku sejak pulang dari rumah Egha. Sepertinya Egha sangat benci pada Ayah sejak kejadian malam itu. Karna hari ini libur aku bermalas-malasan di rumah, kedua orang tuaku ada bisnis di luar kota dan aku ditinggal sendiri. Awalnya Bunda ngotot ingin mengajakku, jika aku tidak ikut lebih baik ia tinggal saja di sini bersamaku. Akhirnya aku berargumen dengan menghasilkan alasan bahwa Tya akan menemaniku di sini, padahal Tya sedang sibuk dengan lomba renangnya. Aku mengamati langit-langit kamar sembari memikirkan kejadian kemarin, bisa-bisanya Egha mengatakan hal yang menohok hati seperti itu.

Katanya aku bodoh karna menyayanginya. Saat sedang asik melamun, ponselku bergetar, aku menatap malas ponsel yang berada tak jauh dariku, malas menggapainya. Pesan dari Tya.

Tyara: La, Egha tanding basket di SMAN Patriot.

Ella: OTW!

Aku melompat dari kasur, masuk ke kamar mandi membersihkan tubuhku lalu memakai baju kaos, celana yang tidak terlalu pendek lalu berlari keluar rumah cepat-cepat menuju sekolah yang Tya bilang tadi. Sesampainya di sana, aku tidak mengenal siapa-siapa, tanpa ragu aku masuk ke dalam sana, punggung tangan kananku dicap dengan lambang basket sekolah mereka. Aku duduk di tribun atas, karna tribun di depan sudah penuh, di bawah sana terlihat tim basket sekolahku sedang pemanasan berlari keliling lapangan sembari mengiring bola. Aku tersenyum lebar saat Egha berada di salah satu dari mereka.

Saat pertandingan berlangsung, sesekali aku berbincang dengan wanita paruh baya di sampingku. Tante Yuni namanya, ia datang untuk menonton anaknya yang sedang bertanding dengan sekolahku. Betul sekali, anaknya di SMAN Patriot. Tante Yuni datang bersama gadis kecil yang bernama Nada, gadis ini mengenakan dress ungu lembut dengan senyuman yang sangat manis. Sedangkan suami Tante Yuni sedang berada di tribun paling dekat dengan lapangan, menyemangati anaknya lebih dekat.

Pertandingan selesai, membuat semua penonton beranjak dari tempatnya dan bergerombol ingin keluar dari tribun ini. Begitupun aku, aku berdiri ingin menghampiri Egha di bawah sana. Tapi saat melihat Egha menerima botol air dari perempuan yang aku kira itu Hani, aku jadi mengurungkan niatku. Tante Yuni menarik tanganku untuk kembali duduk, mungkin karna aku menghalangi orang yang ingin keluar.

"Ella pulangnya naik apa?"

"Naik ojek Tante."

"Tante anterin ya? Kebetulan rumah Tante ngelewatin rumah kamu."

Aku tersenyum kikuk. "Nggak usah Tante, nggak enak. Ella pulang sendiri aja."

"Atau Ella mau diantar sama Arlan aja? Mana ya dia?" Tante Yuni mengedarkan pandangannya.

Wah, jangan-jangan Arlan itu anaknya, jangan sampai. Bagaimana mungkin aku diantar pulang oleh orang yang belum ku kenal? Tante Yuni meneriakkan nama Arlan sembari melambaikan tangannya, menyuruh mendekat. Aduh, dia datang lagi. Laki-laki yang dipanggil Arlan itu benar-benar mendekat, tadi aku sudah melihatnya tapi dari sini, tidak terlalu jelas wajahnya. Saat melihat dari dekat, aku baru setuju pada Tante Yuni yang menyebutnya manis. Apalagi saat senyum seperti sekarang.

Aku menyalimi sopan suami Tante Yuni, layaknya Arlan, ia juga tersenyum sembari menyambutku hangat. Setelah itu ia menggendong gadis kecik tadi lalu keluar dan mengatakan akan menunggu Tante Yuni di parkiran. Sisa aku, Tante Yuni dan Arlan.

"Lan, kamu anterin Ella pulang ya? Kasian masa anak gadis pulang naik ojek."

Dengan cepat aku menolak. "Nggak pa-pa kok Tante, Ella pulang sendiri aja. Lagian Arlan pasti capek abis tanding, aku–"

"Iya," jawabnya singkat membuatku menutup mataku sebentar.

"Oke, Mama tunggu di rumah. Hati-hati sayang."

"Iya Mah."

"Hati-hati Tante!"

Setelah itu aku beralih menatap Arlan, mengulurkan tanganku, mengajaknya kenalan walau sudah tau namanya adalah Arlan. "Ella."

Ia menyambut uluran tanganku. "Arlan."

Sembari mengantri untuk keluar dari lapangan indoor ini, Arlan membuka obrolan. "Jadi, gimana lo bisa deket sama Mama sedangkan dia susah komunikasi sama orang asing?"

"Nggak tau, Tante Yuni asik orangnya, tiba-tiba jadi ngobrol aja."

"Gue nggak pernah liat lo di sekolah gue, berarti–"

"Ah, iya aku bukan di Patriot."

Arlan mengangguk samar. "Sekolah lo emang nggak pernah terkalahkan sih."

Aku tertawa kecil. "Sekolah kamu keren kok tadi."

"Sekeren apasih sama sekolah lo?"

Karna banyaknya orang yang ingin keluar dari sana, aku yang pendek ini seperti dianggap kurcaci oleh mereka. Dan hampir saja aku terlempar dari kerumunan kalau saja Arlan tak menahan bahuku.

"Hati-hati," katanya sembari membawaku lebih dekat dengannya.

Aku merasa seperti memiliki bodyguard sekarang. Apalagi Arlan mengulurkan tangannya untuk menjaga orang-orang disekitarku agar tidak menghantam tubuh mungilku. Berhasil keluar dari sana, membuatku menghembuskan nafas lega. Arlan ingin mengambil tasnya jadi mau tak mau aku harus mengikutinya menyusuri koridor sekolahnya. SMAN Patriot sedari dulu menjadi musuh terbesar dengan sekolahku. Sekolah kami sangat bertanding keras agar menjatuhkan satu sama lain dalam urusan akreditas. Layaknya perang antar kerajaan, sekolahku dan SMAN Patriot sama-sama mencoba untuk menjadi nomor 1. Contohnya aku, Tya, Frans dan teman-temanku yang lain menjadi prajurit pertama yang dipanggil untuk berperang.

Aku mengenal seseorang di sekolah ini. Dia Viha, yang mengalahkanku pada Olimpiade Sains tahun lalu. Aku sudah bilang, sekolahku dan sekolah ini sama-sama mengeluarkan prajurit terbaiknya untuk mengangkat derajat sekolah.

"Kamu nggak ganti baju sekalian?" aku bertanya saat Arlan keluar dari ruang ganti tanpa mengganti bajunya dengan tas yang menyampir di bahunya.

"Nggak, gue nggak enak buat lo nunggu."

"Nggak pa-pa kali, santai aja."

Arlan tersenyum manis sembari menatapku. Kami berdua berjalan menuju parkiran sekolah ini yang sangat penuh oleh motor-motor penonton tadi. Aku menunggu Arlan mengeluarkan motornya sembari menatap sekelilingku. Tubuhku mematung saat mendapati Egha dan Hani mendekat dan berhenti tepat di depan motor Egha yang terparkir 6 motor dari motor Arlan, tempatku berdiri. Hani yang duluan menyadari keberadaan ku di sini kemudian mata Egha menatapku lalu beralih pada Arlan yang sedang memberiku helm.

"Nih," ucap Arlan sembari memberi helmnya padaku.

"Ah iya, makasih," ucapku kemudian kembali menatap mereka berdua.

Aku melihat Arlan juga menatap mereka berdua, lebih tepatnya Egha. Dan saat yang bersamaan, aku merasa bahwa hubungan mereka berdua tidak baik hanya dengan melihat tatapan Egha pada Arlan dan sebaliknya.

Egha mendekatiku, menarik lenganku. "Ayo pulang."

"Jangan kasar gitu dong sama cewek," ucap Arlan dengan nada meledek sembari menahan lenganku yang ditarik oleh Egha.

Egha menarik helm yang sedari tadi aku pegang, mengembalikannya pada Arlan. "Dia pulang sama gue."

"Oke," ucap Arlan lalu beralih padaku, "hati-hati, gue harap kita bisa ketemu lagi."

"Iya, hati-hati juga."

Lenganku kembali ditarik oleh Egha, membawaku mendekati motornya lalu menyuruhku naik. Aku hanya bisa menuruti perintahnya karna aku memang datang ke sini untuk ini. Motor Egha melaju kencang meninggalkan SMAN Patriot, meninggalkan Arlan yang sedang melambaikan tangannya padaku dan meninggalkan Hani yang masih diam di tempatnya.

"Jangan kenceng-kenceng Ga," ucapku karna Egha membawa motornya seperti orang kesetanan.

Laju motornya perlahan melambat.

"Maaf."

🌹

-RTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang