[19] Goodbye

1.6K 111 0
                                    

Love has come

But you say that you're leaving

*

Tangannya bergetar saat membaca surat kecil tersebut. Perlahan, diremasnya kertas tersebut, lalu dibuangnya ke dalam kantung sampah. Jantungnya seakan terpacu untuk berlari. Mengejar sesuatu yang sudah pergi saat itu juga, meninggalkan dirinya.

"Bal.."

"Jangan bilang lo udah tau?"

Disampingnya, Hafiz meneguk ludahnya dalam-dalam, lalu menganggukkan kepalanya. Beberapa saat kemudian, sebuah bogem mentah melayang dan meninju pipi laki-laki tersebut. Tanpa henti, Iqbaal memukuli laki-laki yang padahal sahabatnya sendiri.

"Brengsek! Kenapa lo gak kasih tau gua?"

"Iqbaal! Berhenti, Bal!" Dennis meneriaki laki-laki tersebut, namun bagaikan ditutup oleh kapas tebal, Iqbaal tidak menuruti perintah temannya itu.

Beberapa murid perempuan saling berteriak histeris meminta pertolongan, namun antrean massa untuk menonton adegan tersebut semakin bertambah. Murid-murid yang berwibawa--misalkan anggota OSIS--pun mulai berlari berhamburan mencari-cari guru dan satpam.

Davita Keara sang ketua OSIS pun berlari menghampiri mereka dengan Pak Momon yang tergopoh-gopoh mengejar larinya yang begitu cepat. Karena tubuh Pak Momon begitu besar dan faktor umur, pria itu langsung berpeluh keringat begitu tiba di hadapan Iqbaal dan Hafiz.

Murid laki-laki yang bertubuh besar pun cepat-cepat menghampiri Iqbaal dan Hafiz untuk menarik mereka. Hafiz yang kini dipenuhi oleh pukulan disana dan disini hanya bisa terkulai lemah dan langsung dibawa ke ruang UKS.

"Iqbaal Dhiafikri Ramadhan!" seruan Pak Momon membuat seluruh murid yang ada disana terdiam menonton mereka. Dengan tajam, Pak Momon menatap murid-murid disana. "Tunggu apalagi? Cepat kalian kembali ke kelas masing-masing! Bukannya membantu justru meneriaki murid yang bertengkar."

Melihat wajah Pak Momon yang tampaknya tidak dapat lagi menahan amarah, murid-murid langsung berhamburan meninggalkan Davita, Pak Momon, dan juga Iqbaal yang masih mengepalkan tangannya. Nafas Iqbaal begitu berat sehingga Davita yang berdiri mengawasi mereka dapat mendengarnya dari jauh.

"Apa yang kamu lakukan, Iqbaal?" tanya Pak Momon kesal. "Apa kamu tidak lihat apa yang baru saja kamu perbuat? Orang tua Hafiz bisa-bisa menghampiri saya dan kamu dapat dikeluarkan dari sekolah ini!"

"Hafiz anak yatim piatu, Pak," ujar Davita pelan.

Seketika, bibir Pak Momon langsung terjahit rapat. Ia menghela nafas berat, lalu meninggalkan tempat tersebut. Sekilas ia melirik ke belakang dan mendapati Iqbaal yang masih terdiam di tempatnya. "Tunggu apa lagi? Ayo, ikut saya ke ruangan."

**

"Seumur hidup, gua baru nemuin orang paling goblok kayak lu, Bal," ujar Dennis setelah Iqbaal kembali dari ruang Pak Momon dan menghampiri ruang UKS dimana Hafiz masih terbaring diatas sana.

Keadaan Hafiz memang sudah membaik. Beberapa luka akibat pukulan Iqbaal pun sudah diberi plester coklat dan juga kapas. Memar-memar disana sudah membaik berkat pekerjaan Bu Dewi sebagai dokter SMA Harapan Abadi.

Sekali lagi, Dennis menatap Hafiz dan tampak kasihan pada sahabatnya itu. "Lu mau tau kenapa dia gak ngelawan lu sama sekali, Bal?"

Iqbaal lagi-lagi terdiam.

"Dia suka sama Vita, Bal! Bahkan dia duluan suka sama Vita," ungkap Dennis.

"Emang Hafiz kenal Vita dari kapan?"

Dennis mendesah. "Sorry, gua gak bermaksud ngebocorin rahasia ini. Tapi, Hafiz udah kenal sama Vita dari mereka masih kecil. Itu karena waktu orang tua Hafiz kecelakaan, orang tua Vita-lah yang ngebawa Hafiz ke rumah mereka dan sampai akhirnya Hafiz bisa tinggal sendiri.

Anything ✕ CJRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang