[11] Little Chat

2K 142 0
                                    

Ada kalanya seseorang harus menyerah pada mimpi mereka. Tapi, jika mereka harus terus berjuang untuk mimpi mereka, kenapa tidak?

Sama seperti apanyang dilakukan oleh Vita sekarang. Entah kenapa, sekarang ia ingin menyerah saja pada mimpimya untuk menjadikan Revo sebagai pacarnya.

Kala itu, Revo hanyalah kakak yang sangat menyayanginya sejak ia kecil. Namun, perlahan tapi pasti, perasaan tersebut berubah sejak ia SMP.

Ia tahu bahwa mimpi tersebut mustahil.

Belajar mati-matian agar bisa masuk SMA Harapan Abadi adalah hal yang menyenangkan. Tapi, saat tahu bahwa Revo ternyata sudah menyukai Manda membuat perasaannya remuk.

Terutama, fakta bahwa Revo menolaknya dengan alasan bahwa ia menyukai Mandavira Justika.

"Lu ngapain bengong?"

Suara Iqbaal menyadarkan Vita dari lamunannya. Ada perasaan bersalah setelah ia menyindir Manda habis-habisan saat di perpustakaan tadi.

"Gue tadi ketemu Manda," kata Vita jujur. Ia tidak pernah berbohong pada Iqbaal kecuali soal dirinya yang masih menyukai Revo.

Jika Iqbaal menanyai perasaannya pada Revo, Vita hanya mengatakan bahwa ia sudah tidak ada perasaan pada laki-laki itu.

"Hm," Iqbaal bergumam sambil menganggukkan kepalanya.

Alunan musik Coldplay yang berjudul 'Fix You' benar-benar mencairkan suasana. Iqbaal sendiri menikmatinya sambil fokus pada aktifitasnya--menyetir mobil.

"Terus?"

"Ya gitu, dia masih gak percaya soal alasan gue yang ngejauhin dia waktu itu," kata Vita. Ia memutar volume pemutar musik agar lebih keras. "Gue cuma bilang kalau dia backstabber. Udah gitu, gue langsung kabur deh."

Iqbaal terkekeh pelan mendengarnya. "Ya dia kan emang backstabber. Udah lah, gausah bahas Manda. Bosen."

"Revo. . . Dia gimana ya?"

"Well, jangan tanya gua soal orang itu," jawab Iqbaal. Ia memutar bola matanya malas. "Yang pasti dia udah bahagia disana."

"Bahagia disana ya. . . Kenapa sih dia bisa suka sama Manda? Padahal gue lebih deket sama dia. Apalagi pas SMP," cerocos Vita.

Iqbaal terdiam. "Dia suka sama Manda?"

"E--Eh, keceplosan. Anggep aja lo gak pernah denger," kata Vita. Ia menepuk keningnya berkali-kali. "Dia emang suka Manda tapi gue gak ngerti kenapanya."

"There's no reason to like someone, Vit. That's why, you have to move on."

**

Keadaan rumah sepi memang tidak pernah menyenangkan. Tapi, mengingat bahwa kedua orang tuanya akan pulang minggu depan membuatnya lebih senang. Terutama, orang tuanya akan mengambil liburan cukup lama mengingat disana baru saja summer. Jadi, mereka dapat izin untuk cuti.

Televisinya dibiarkan menyala seperti itu tanpa ia tonton. Suara-suara para bintang hiburan menghiasi rumah yang sepi itu. Meskipun memang rumahnya ramai akibat suara-suara tanpa senagaja itu, ia sama sekali tidak ingin melirik televisinya.

Sedaritadi, tangannya menimbang-nimbang ponselnya. Ia tidak tahu ingin membalas apa pesan LINE yang baru saja dikirim oleh Revo.

Sekali lagi, matanya membaca tulisan kecil tersebut.

Revo: Vit, lu udah baca kesan pesan gua? Itu buat lu.

Apa yang dimaksudkan untuknya? Tentu saja, bagian-bagian yang Revo menyebutkan bahwa ia menyukai seseorang ditujukan hanya untuk Manda. Namun, Revo justru menyebutkan untuknya. Pikirannya semakin tercampur aduk.

Tapi, kenapa lama-kelamaan ia merasa bahwa ia tidak seharusnya marah pada Revo?

Memang benar ia kesal, tapi ia tidak memiliki hak untuk marah pada Revo karena dia bukanlah siapa-siapa. Ia hanya sahabat kecil. Sahabat kecil.

Vita: Udah. Sorry.

Gadis itu menghela nafas panjang sebelum mengirimkan LINE tersebut pada Revo. Sekali lagi, ia merasa bersalah dengan Revo karena sikapnya yang terlalu kekanakkan.

Revo: Buat apa lu minta maaf?

Vita: Sikap gue kekanakkan waktu itu. Gue marah-marah sama lo. Sorry, I couldn't handle it. Gue bisa bantuin lo sama Manda.

Revo: Gausah, gua bisa sendiri. Lu sendiri gimana? Lu masuk kelas apa?

Vita: 12 MIA-1

Setelah itu, Vita benar-benar mengunci ponselnya. Ia tidak bisa. Ia masih tidak bisa melupakan perasaan itu. Terutama, mengingat bahwa Revo menyukai Manda. Bukan dirinya.

**

Bukan Vita namanya jika ia menyerah begitu saja pada Revo. Ia sudah memutuskan untuk terus mengejar Revo meskipun Revo tidak menaruh perasaan padanya.

"Perasaan gua gak liat Vita hari ini," komentar Iqbaal.

Dennis dan Hafiz langsung lirik-lirikan tidak jelas. "Gitu deh," kata Hafiz mendahului Dennis. "Dia ada misi baru ceritanya."

"Misi?" Alis Iqbaal yang kanan terangkat. Kedua tangannya membawa mangkuk mi kuah yang masih hangat itu.

"Yoi," jawab Hafiz, lalu Dennis melanjutkan, "ceritanya sih dia punya misi make a failed dream come true."

"Hah?"

"Iya," sahut Hafiz. Dennis kembali melanjutkan, "ya, ceritanya sih lu bakalan susah lagi ngejar Vita."

Ketiganya duduk lalu meletakkan mangkuk mereka pada masing-masing daerah. Tangan Iqbaal langsung mengambil sumpit.

"Maksud lu apaan sih?" Iqbaal jadi emosi. "Lu kalau ngomong jangan setengah-setengah kenapa?"

"Sabar, Bang," ucap Dennis. Hafiz dan Dennis pun terkekeh pelan melihat kemarahan Iqbaal yang semakin memuncak.

"Buruan!"

Hafiz justru melalapkan mi nya ke dalam mulutdengan lahap. Ia menikmati kuah mi tersebut dengan bangga.

"Aduh, malah makan," gerutu Iqbaal sebal. "Buruan kenapa sih?"

"Vita itu bakalan ngejar Revo lagi," kata Dennis akhirnya. "Ya, dia katanya gak mau nyerah sampe Revo bener-bener nolak dia. Gimana mau nolak kalau Revo emang suka sama dia."

"Shit!"

**

Ada perasaan menggebu-gebu di dalam hati Vita karena pasalnya hari ini ia akan bertemu dengan Revo.

Revo menyempatkan dirinya untuk menemui Vita. Jarak Depok dan Bogor yang bisa ditempuh dengan kereta selama sekitar 20 menit tentu saja memudahkan Revo.

Vita sudah siap dengan antasan hitam bertuliskan 'Peace!' yang dicetak berwarna putih. Tambahan dengan sweater hitam yang menambah fashion-nya. Ia juga mengenakan celana jeans biru tuanya yang berujung di mata kaki.

"Non!"

Panggilan Mbak Mirna menyadarkan Vita dari lamunan tentang refleksi dirinya.

"Ada telepon!"

"Eh? Telepon?"

Vita membuka pintu kamarnya lalu mengikuti Mbak Mirna. Kemudian, keduanya menuruni tangga dan menuju ruang keluarga. Di atas meja di samping sofa tangan ada telepon yang terus berdering tanpa henti.

"Halo?"

"Vita, ini Ibu!" Suara ibunya terdengar gelisah, namun Vita membiarkan ibunya untuk melanjutkan. "Ibu sudah pesankan tiket ke Inggris jam 10 malam. Kamu bawa barang buat seminggu, Papa kamu masuk rumah sakit!"

Saat itu juga Vita menjerit tak tertahankan dan air matanya mengalir deras.

*

*

*

to be continue // July 25, 2014

Anything ✕ CJRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang