"Yaudahlah, lupain aja."
Revo mulai menghela nafas panjang ketika Sheilla mengatakan hal itu. Pasalnya, Vita kemarin mencak-mencak padanya saat Revo mengajaknya berbicara dan memaksanya. Vita bahkan hampir menampar laki-laki itu.
"Kenapa sih lo?" tanya Sheilla. "Seenggaknya yang gue saranin kan bener lah. Daripada lo harus nempel mulu sama Vita."
"Bukan gitu, Shei. Masalahnya beda."
"Kalau lo gitu mulu, dia bakalan ngejauh juga. Seenggaknya lo jelasin ke dia kalau lo gak suka sama dia."
Revo tertawa renyah. "Dia gak pernah nyatain cintanya sama gua dan gua gak bisa kalau langsung ngomong gua gak suka dia. Kesannya kayak gua udah tau perasaan dia."
Sheilla mendengus. Lalu, ia bangkit dari kursinya dan meninggalkan Revo yang masih bercampur aduk dengan pikirannnya. Itu dia yang membuat Revo malas, setiap kali ia meminta pendapat Sheilla, Sheilla selalu saja membuatnya tersingkir.
**
Vita menghela nafas sambil menangkupkan kepalanya diatas meja. Ia mengerucutkan bibirnya lantasan tidak tertarik sama sekali pelajaran Ekonomi yang sedang dijelaskan oleh Pak Sardi. Padahal, biasanya gadis itu selalu mendengarkan ocehan tanpa akhir dari Pak Sardi.
Walaupun sebenarnya Pak Sardi sudah menyadari bahwa murid-muridnya mulai bosan, ia tetap meneruskan. Toh, tidak ada salahnya jika ia harus menjelaskan untuk murid-murid rajin karena ia tidak peduli soal murid-murid pemalas itu.
Prinsipnya; siapa yang dengarkan dapatkan keuntungan dan siapa yang malas dapatkan balasannya.
Kesannya seperti ia sangat tidak peduli pada muridnya, padahal sebenarnya ia sangat peduli akan masa depan murid-murid pemalas itu. Hafiz sendiri yang sibuk mencatat apa yang diterangkan oleh Pak Sardi tampaknya sangat khawatir pada Vita.
Laki-laki itu pun menyikut lengan Vita dan membuat gadis itu sedikit tersentak. "Lo kenapa? Mau ke UKS?" tanya Hafiz dalam bisikan sepelan mungkin.
Vita menggeleng pelan. Ia menyadari bahwa Hafiz peduli juga terhadapnya, soalnya seharian ini ia jarang mendengarkan guru dan memilih untuk menyibukkan dirinya dengan pikiran yang campur aduk.
"Gue gapapa," kilah Vita. "Udah dengerin aja Pak Sardi. Lo kan anak pinter."
Hafiz tersenyum kemudian ia meremas lengan Vita pelan. "Pokoknya, kalau ada apa-apa, lu cerita sama gua. Gua gak suka liat lu sedih gini. Entar Iqbaal nyalahin gua."
"Kenapa nyalahin lo?" Vita mengerutkan keningnya tatkala mencuri pandang kepada Pak Sardi yang tampaknya tidak peduli sama sekali pada mereka. Mereka bisa berbicara leluasa namun dalam nada rendah.
Hafiz menggeleng dan membuat Vita semakin bingung sekaligus penasaran. Kan tidak mungkin jika Hafiz mengutarakan kenyataan bahwa Iqbaal menyukai Vita. Bisa-bisa, Vita langsung antipati dahulu.
"No, there's nothing," kata Hafiz misterius, kemudian ia tersenyum menyeringai pada Vita seolah-olah dia sebenarnya mengetahui sesuatu yang tak Vita ketahui.
Lama-lama Vita merasa jengkel juga karena ia tidak tahu soal itu.
Tapi, akhirnya ia memilih untuk bungkam karena tampaknya Hafiz tidak begitu suka ketika Vita terus-terusan mengorek informasi. Terutama, jika Pak Sardi mengeraskan suaranya, itu artinya mereka tidak boleh berbicara terlalu keras.
**
"Vit! Tunggu, Vit!"
Murid-murid yang berada di koridor memperhatikan mereka--Vita dan Revo--yang tengah entahlah mungkin kejar-kejaran. Beberapa memperhatikan mereka, beberapa juga ada yang menyindir--penggemar Revo--mereka karena iri.

KAMU SEDANG MEMBACA
Anything ✕ CJR
Hayran KurguIqbaal Dhiafikri Ramadhan tidak pernah menyangka bahwa keadaan band yang telah ia bentuk sejak SMA bersama ketiga sahabatnya akan terancam bubar. Pravitasari Utami yang selama ini bersahabat dengan Iqbaal sejak SMP sedang sibuk mengejar sosok kakak...