Prolog

1.7K 73 1
                                    

Penerangan koridor sekolah mulai meredup seiring bertambah sorenya hari. Sebagian besar siswa sudah meninggalkan wilayah sekolah begitu bel pulang dibunyikan.

Begitu juga yang dilakukan Eliza pada hari-hari sekolahnya, kecuali hari Kamis. Gadis berambut hitam itu harus rela pulang lebih sore karena eksul mading yang diikutinya.

Contohnya seperti sekarang ini, ia baru selesai berkutik dengan majalah dinding bertema 'lingkungan hidup' buatannya saat jam sudah menunjukkan pukul lima di sore hari.

Eliza bergegas merapikan barang-barang bawaannya. Bersamaan dengan siswa lain seeksulnya, ia meninggalkan ruang perpustakaan tempatnya menghabiskan 2 jam terakhirnya menyelesaikan mading.

Alih-alih pulang, tadi pagi ia sudah janjian dengan Nata, sahabatnya sejak kecil, untuk pulang bareng.

Jadi disinilah Eliza, menunggu Nata di depan ruang osis. Maklum saja, tidak seperti Eliza yang malas ikut-ikutan organisasi, Nata justru paling antusias untuk mengikuti organisasi sekolah. Buktinya, dulu saat dia duduk di bangku SMP, ia pernah menjabat sebagai ketua osis. Dan sekarang, Nata aktif menjadi anggota osis di SMA walaupun baru kelas satu.

Selagi Eliza menunggu Nata selesai rapat, ia mengintip melalui tirai yang sedikit terbuka pada ruang musik di sebelah ruang osis. Ruang musik itu masih terang, terangnya kontras dibandingkan dengan koridor sekolah yang sudah gelap.

Tadi sebelum ke perpustakaan untuk memulai eksulnya, Eliza sempat mendengar alunan melodi gitar klasik dari dalam ruang musik ini. Suaranya merdu, menenangkan dan menyenangkan.

Apa yang main udah pulang ya?

Pikiran Eliza itu terjawab begitu ia mendengar suara erangan orang kesakitan dari dalam ruang musik.

"Hai! Udah lama ya nungguin gue?" Eliza langsung melonjak kaget begitu pundaknya ditepuk Nata. Cepat-cepat ia menenangkan diri. Sungguh, ia terlihat seperti orang yang sedang ketawan mencuri. Padahal yang ia lakukan hanya mengintip masuk ke dalam ruang musik.

"Ngapain lo?"

"Aw"

Lagi-lagi terdengar suara rintihan dari dalam ruangan terang itu.

"Sssst," Eliza memberi isyarat agar sahabatnya itu bisa diam dan mendengarkan dengan seksama. "Lo denger gak sih? Kayaknya ada yang gak beres deh di dalam, masuk yuk?"

Nata mengangkat sebelah alisnta bingung, "Sok tahu, yang ada kalau kita malah kena masalah gimana?"

"Kalau emang ada yang gak bener didalem gimana? Dari tadi gue denger ada orang ngerintih kesakitan, kalau kenapa-kenapa gimana?" Cecar Eliza hingga Nata terdiam.

"Lo pokoknya harus temenin gue." Pinta Eliza yang langsung dibalas gelengan oleh Nata.

"Lagian tadi kenapa gak lagi rame aja sih pas bubaran rapat osis? Kalau sekarang udah sepi gini, gue jadi serem tau gak." bela Nata sambil melihat kesekeliling mereka. Sepi. "Udah balik aja deh yuk."

Eliza cuma menatap Nata dengan tatapan memelas. Dan Nata benci itu. Eliza memang paling tahu kelemahannya.

"Yaudah deh ah, gue jadi gak tega." Nata akhirnya mengangguk pasrah. "Gue temenin."

Eliza tersenyum menang. "Satu.. dua.. tiga.." bisiknya nyaris tanpa suara lalu membuka pintu ruang musik pada hitungan ketiga.

Kedua pasang mata itu terbelalak begitu melihat apa yang ada dihadapan mereka.

Dua orang yang sama-sama mereka kenal, sedang mengambil uang lembaran dua puluh ribu yang kira-kira ada 10 lembar itu dan tersenyum puas, sedangkan ada sosok lain yang terjembab lunglai di lantai dengan wajah lebam membiru.

Keempat pasang mata itu saling bertukar pandang. Ada perasaan bingung, kaget, sebelum hening yang menyelimuti mereka terintrupsi suara 'ceklek' dari ponsel Eliza yang mengambil gambar kejadian di depannya.

Dan hal terakhir yang kedua gadis itu ketahui adalah, mereka harus cepat-cepat untuk lari, sekarang juga.

---

An

Cerita ini udah pernah dipublish dengan judul ephemeraliza tahun 2018, tapi udah di unpublish buat revisi, pas mau di publish lagi gak bisa :(

19/04/19

Are We Friends?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang