Dua Puluh Empat : Tidak Sanggup

173 12 1
                                    

Ethan menyetir dengan kecepatan tinggi. Menyalip mobil demi mobil di depan mereka dengan membunyikan klakson tidak sabar. Irena yang duduk di kursi penumpang dari tadi memegangi ponsel dengan satu tangan, sedangkan tangan yang lain dipakai untuk mengusap air matanya yang terus mengalir.

Mereka berdua sama-sama menuju rumah sakit setelah ditelpon Nata tadi. Walau Nata cuma bilang Eliza yang kecelakaan, Irena yakin, disitu juga ada Keenan yang mengalami hal serupa. Makanya daritadi ia ikutan panik.

"Gue gak seharusnya kasih ide gitu." Irena sesugukkan.

Semua ide memanas-manasi Keenan dan Eliza tadi adalah idenya. Sungguh, ia cuma hanya ingin melihat reaksi Keenan, melihat apakah Keenan akan cemburu. Bahkan saat tadi ia melihat mereka masuk, jantungnya berdetak cepat, perasaan gugup langsung menyerangnya sebelum diikuti rasa iri karena Keenan pergi bersama Eliza.

Ia senang karena tadi, ia yakin kalau Keenan jelas masih cemburu. Tapi sekarang keadaannya berbalik 180 derajat. Ia takut, menyesal, dan tidak tahu apa yang bisa ia perbuat.

'Dikabarkan ada kecelakaan tunggal pada ruas tol arah tanjung priok, kedua korban telah diidenti--'

Ethan mematikan siaran radio itu. Ia tidak mau dengar karena entah kenapa ia yakin bahwa yang dimaksud kedua korban itu adalah Eliza dan Keenan.

"Gue, harusnya tau, gak seharusnya gue ngajak lo buat manasin mereka. Semuanya salah gue."

Irena jadi takut, bagaimana kalau keadaannya benar-benar buruk. Atau bagaimana bila ternyata mereka berdua tidak akan pernah bisa lagi membuka mata? Semua pasti akan menyalahkannya, termasuk dirinya sendiri. Ia tidak akan bisa memaafkan dirinya sendiri bila sampai hal itu terjadi.

Ethan tidak langsung menjawab karena ia terlalu sibuk membunyikan klakson dan menyalip mobil lain. "Bukan salah lo, kalau gue gak iyain, semua ini mungkin gak terjadi. Bisa aja mereka masih makan dan gak ada kecelakaan ini semua."

Irena benci Eliza. Tapi bukan berarti ia menginginkan perempuan itu mati. Ia tidak pernah punya masalah dengannya selain urusan Keenan.

---

Baik Irena maupun Ethan langsung berlari secepat yang mereka mampu begitu Ethan memarkirkan mobil di basement rumah sakit.

Kaki Irena seperti kehilangan kemampuannya memikul berat tubuh Irena. Kakinya lemas, ia pasti akan terjatuh bila ia tidak menangkap lengan Ethan cepat.

"Gue, gak sanggup."

Ethan juga terlihat kehabisan nafas, tapi ia masih mampu untuk menarik Irena untuk berdiri tegak. "Ayo, ruangannya diujung lorong."

Irena menggeleng kuat, "Gue gak sanggup. Gue," Irena menarik nafas dalam-dalam, "Gimana kalau mereka gak bisa bangun lagi?"

"Jangan sembarangan, ayo, cepetan." Ethan menarik Irena sehingga tubuhnya tertarik mengikuti langkah cepat Ethan.

Dari jarak ini, Irena dapat melihat dengan jelas siapa saja yang menunggu di depan ruang ICU. Venata. Ia terduduk sendiri dengan menundukkan wajahnya dalam-dalam. Fakta itu membuat Irena takut, tapi ia tidak cukup cepat untuk menghindar dari tarikan Ethan.

"Nata, mereka gimana?" tanya Ethan begitu sampai di depan perempuan yang terlihat kacau.

"Tadi, gue kesini terus kata-- ngapain lo bawa dia kesini?" Tanya Nata tajam begitu menyadari ada Irena.

Irena sedang tidak ingin debat, ia sendiri juga kacau, sama seperti Nata, bahkan lebih dari itu. Suara dalam dirinya terus merutuki perbuatan bodohnya di restoran saat melihat Keenan dan Eliza masuk tadi. Perasaannya campur aduk, merasa bodoh, menyesal, dan marah pada dirinya sendiri, belum lagi kaget karena semua terjadi terlalu tiba-tiba.

Are We Friends?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang