Telapak tangan Eliza mengeluarkan keringat dingin sebesar biji jagung. Kakinya terasa lemas saat acara jerit malam segera dimulai. Ia tahu, baik Nata maupun Keenan sama-sama terus memperhatikannya daritadi, terutama Nata. Berkali-kali Nata bilang, "Lo yakin ikut? Pura-pura sakit aja deh. Serius, daripada kenapa-napa."
Eliza menyunggingkan senyum tipis pada Nata lalu kepada Keenan seolah memberi isyarat bahwa ia akan baik-baik saja.
Pos pertama yang harus regu mereka lalui adalah mengumpulkan 5 batu berbentuk segitiga berwarna kuning. Batu itu sendiri di sebar pada area taman yang dibatasi oleh tali, jadi sebenarnya areanya tidak terlalu luas.
Eliza memegangi tangan Nata erat, ia tidak mau bila ia terpisah dari regunya, bisa menjadi bencana.
"Liz, lo bener bisa?"
Eliza mengangguk, walau ia yakin Nata hanya bisa melihatnya samar-samar dengan cahaya senter yang minim.
Kepala Eliza berat, terasa berputar. Ia merasa tangannya ditarik kuat. Eliza tidak bersuara, ia memilih diam. Ia tahu, semua ini tidak nyata. Yang nyata ialah ia sedang jerit malam dan tangannya memegang Nata erat. Tidak ada yang menariknya.
Eliza ayo kita pergi! Cepet!
Eliza menggeleng kuat. Ia tidak akan menjawab suara itu. Tiba-tiba saja ia merasa kepalanya terbentur sesuatu yang keras. Kepalanya lebih pusing dari sebelumnya. Tubuhnya ringan rasanya seperti bisa melayang bila ia tidak kuat-kuat menapakkan kakinya ke tanah.
Kaki Eliza bergerak cepat mengikuti suara tadi. Tapi sebuah tangan menariknya ke arah lain. Eliza ketakutan. Ia tidak tahu siapa yang menarik tangannya sekasar itu. Tanpa aba-aba, tangan itu pula mendorongnya kasar ke sebuah ruangan gelap.
"Liz! Liz!"
Samar-samar ia mendengar suara khawatir memanggilnya, ia kenal akan suara itu. Hanya saja, ia tidak tahu siapa.
Eliza mencoba mencari jalan keluar, tapi terowongan tempatnya berada terlalu sempit dan gelap, ia tidak dapat melihat apapun.
Kita dimana?
Suara itu lagi. Suara yang mengajaknya untuk lari. Eliza samar, ia hanya dapat melihat seorang laki-laki duduk tak jauh darinya. Ia terlihat ketakutan dan memilih tembok dingin sebagai sandaran untuknya duduk. Isakannya kencang, sendu, Eliza tidak mengenalnya. Tapi ia kenal Eliza.
Laki-laki itu usianya sepantaran dengannya, mungkin lebih tua atau lebih muda beberapa tahun dari Eliza, ia tidak tahu. Wajahnya ditenggelamkan pada kedua lutut dan kedua tangannya yang bebas memegangi kepala, takut bila terbentur benda keras.
Eliza mendekati anak itu. Jarak mereka kira-kira hanya lima langkah terpentang. Dengan nyali yang dipaksakan, Eliza menyentuh lutut anak tersebut. Anak itu berhenti terisak.
Tiba-tiba saja suara letusan terdengar memengkakkan telinga Eliza, dan sinar terang menerangi mereka. Anak laki-laki tersebut hambur membuat Eliza ketakutan dan terjungkal ke belakang. Tubuhnya terpecah menjadi kupu-kupu warna hitam, mungkin jumlahnya ribuan atau jutaan. Eliza tidak tahu, karena semua kupu-kupu hitam pekat itu terbang simpang siur memenuhi terowongan sempit dan membuatnya kehabisan udara untuk dihirup.
"Bangun Za.."
Eliza takut, ia menutup matanya rapat-rapat sampai kekacauan yang ia dengar berubah menjadi keheningan damai. Eliza membuka mata. Semuanya penuh tanah basah entah ia ada dimana. Wewangian bunga mawar segar langsung merasuki indera penciumannya.
"Liz, bangun..." isakan itu memanggilnya bangun, jadi Eliza menutup matanya sekali sebelum membukanya kembali.
Nata menyerbu Eliza, memeluk sahabatnya itu erat. Eliza sendiri bingung. Apa yang barusan terjadi. Ia memindai sekelilingnya, mencari tahu dimana mereka berada.
KAMU SEDANG MEMBACA
Are We Friends?
Fiksi RemajaEliza suka Keenan. Namun Eliza tahu diri untuk menyingkir. Keenan itu punya Irena, itu dulu. Sekarang, ada Nata dan Ethan. Bagi Eliza, kehadiran kedua sahabatnya udah lebih dari cukup untuknya. Namun, saat semua sudah tentram, Irena kembali muncul d...