"Lo apaan sih?" dengan kasar Eliza menepis tangan Keenan. "Lepasin gue."
"Gue cuma mau mastiin keadaan lo, itu doang. Lo pingsan tadi?" Keenan melonggarkan cengkramannya.
Tanpa menjawab, setengah berlari Eliza meninggalkan Keenan, kembali ke ruang kelas, sedangkan yang ditinggal hanya bisa meratap. Tatapan yang sama sejak kelas 9 lalu, tidak berubah sedikit pun.
Mereka berdua sama-sama berubah. Suatu perubahan yang membuat jarak diantara mereka kian melebar dan tidak dapat dijangkau.
Keenan pernah salah dengan segala tindak semena-menanya dulu. Ia salah karena telah secara tidak langsung menarik Eliza masuk dalam lingkaran api. Akibatnya, Eliza yang harus terkena imbas pahit.
Andai saja Keenan punya mesin waktu, ia tentu tidak akan membiarkan semua hal buruk itu terjadi. Ia tidak akan membiarkan Eliza terlibat skandal memalukan.
Ia mencoba memperbaiki kesalahannya. Tetapi yang ia lakukan malah justru memperkeruh keadaan, menambah luka sakit tak kasat mata, yang kelak menyunguhkan permainan cantik untuk menumbangkan seorang pemain utama, membuat sang pemeran terjerat seolah ia adalah aktor dalang penyebab petaka ini.
Keenan akhirnya mengalah dengan mengikuti keinginan Eliza yang meminta Keenan menjauh dari kehidupannya. Namun bila seperti ini, Keenan mau tidak mau harus melanggar janji yang dibuatnya empat tahun silam. Demi kebaikan Eliza.
---
"Ini ruang seni tari."
Seorang gadis ramping memasuki ruangan yang baru saja diperkenalkan padanya. Ruangan bernuansa putih bersih dengan cermin dinding di berbagai penjuru ruangan dan berlapiskan keramik bermotif serat kayu.
Sempurna!
Ini adalah gambaran studio tari idaman Irena. Ruangan luas itu kelak akan menemaninya selama paling tidak setahun kedepan.
Mulai besok, Irena akan meluangkan waktunya minimal seminggu sekali untuk membantu mengajar eksul tari. Satu hal yang paling ia sukai adalah menari. Baginya, menari membuat dunia disekitarnya juga ikut bergerak lebih hidup. Berharap bahwa dengan menari, semua permasalahan akan berputar lalu menguap ke udara menghapus rasa sakit yang membekas.
"Jadi nanti saya minta tolong untuk ikut bantu ngatur anak-anak dengan koreografinya juga ya Irena," perempuan berusia sekitar 30 tahun itu tersenyum ramah, "disini nanti eksulnya setiap Jumat sepulang sekolah, cuma dua jam, tapi kalau kamu mau datang duluan untuk merancang koreo, atau kalau mau pinjam ruangan untuk latihan tari di hari lain juga bisa, tinggal disesuaikan aja jadwalnya nanti."
"Terima kasih bu," Irena mengangguk senang.
Senang karena pada akhirnya setelah 2 tahun mengikut orang tuanya dinas, ia bisa kembali lagi ke kota kelahirannya.
Senang karena ia sudah diterima di universitas unggulan dengan jurusan bergengsi.
Senang mendapat uang tambahan dari mengajar.
Senang, karena.. pada akhirnya ia dapat bertemu dengan Keenan.
Seseorang yang bahkan tidak merespon sepatah kata apapun saat ia memberitahu kedatangannya ke Jakarta.
Seseorang yang hanya membaca pesan-pesan Irena ketika ia mengabarkan bahwa ia akan menjadi asisten guru untuk eksul tari di sekolah Keenan.
Seseorang yang menorehkan luka dalam, namun juga bisa membuat hari Irena menjadi berwarna dan hatinya tersenyum.
Irena hanya ingin Keenan kembali. Tetapi Keenan seolah menutup rapat-rapat pintu untuknya.
"Kunci ruang tari ini ada 3 rangkap, satu untuk saya, satu untuk petugas kebersihan, dan satu lagi dipegang kepala sekolah. Ruangan ini tidak saya kunci kalau siang, cuma tiap sore akan dibersihkan petugas dan dikunci sampai pagi." jelas bu Casly, "kalau ada yang kurang jelas, kamu bisa tanyakan langsung ke saya, jangan sungkan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Are We Friends?
Ficção AdolescenteEliza suka Keenan. Namun Eliza tahu diri untuk menyingkir. Keenan itu punya Irena, itu dulu. Sekarang, ada Nata dan Ethan. Bagi Eliza, kehadiran kedua sahabatnya udah lebih dari cukup untuknya. Namun, saat semua sudah tentram, Irena kembali muncul d...