Irena memelankan langkahnya, untuk yang kesekian kalinya, ia ragu. Ia memang ingin menjenguk Keenan walau pasti definisi menjenguk hanya duduk di luar pintu operasi dan berharap kalau Keenan baik-baik saja di dalam. Tapi di sisi lain, ia tidak ingin pulang dan terus berspekulasi negatif tentang keadaan. Irena hidup di dunia nyata yang harus dihadapi, bukan dihindari.
Irena menyapukan jari pada matanya yang pasti sekarang lembab. Ia peduli, karena pasti ada mamanya Keenan di depan pintu operasi, dan ia tidak mau terlihat buruk dihadapannya.
"Tante," panggilnya begitu tiba di depan perempuan berusia kira-kira lima puluh tahun itu. Perempuan itu tidak menangis sama sekali, tatapannya kosong dengan kantung mata yang sembab.
Perempuan itu masih diam, tidak bergeming, pandangannya kosong menatap jendela lebar yang menyunguhkan pemandangan jalanan ramai dengan langit yang menguning.
Irena berdiri disebelah perempuan itu, ikut memandangi turunnya matahari dan ramainya jalan.
"Irena?"
Irena baru akan tersenyum saat perempuan itu memeluknya, "Sejak kapan kamu disini?"
"Belum lama." jawabnya setelah terbebas dari pelukan perempuan di sebelahnya.
"Keenan gimana tante?"
Ia hanya menggeleng, sebelum matanya kembali basah dengan cairan yang tidak diharapkannya. "Tante gagal jadi orang tua, tante gak ngerti kenapa dia bisa ngebut segitunya."
Irena menghela nafas, bisa jadi alasan Keenan mengebut adalah perbuatannya dengan Ethan, tapi itu tidak masuk akal. Keenan bahkan tidak peduli dengannya. Jadi jelas, perbuatannya tadi tidak berarti apa-apa lagi.
"Perempuan yang kecelakaan bareng Keenan, namanya siapa?"
Irena tertegun, "Eliza."
"Gimana keadaannya?"
Irena menggeleng, ia tidak tahu apa-apa tentang keadaan Eliza, lagipula, itu juga tidak penting baginya.
"Semoga baik-baik aja, tante pengen turun ke bawah, jenguk, tapi tante juga gak bisa ninggalin Keenan." perempuan yang mulai beruban itu memilih salah sebuah kursi untuk duduk. "Lucu ya, tante gak pernah punya waktu buat anak sendiri, terlalu sibuk mencukupkan dia dengan materi sampai tante lupa, kapan terakhir ngobrol sama dia."
Irena jadi bingung bagaimana bersikap, ia tahu segala hal tentang Keenan, segalanya. Atau setidaknya sampai hari dimana mereka putus dan Keenan menjaga jarak darinya.
Perempuan itu tertawa sumbang, "Gimana kalau tante gak bisa lihat dia buka mata lagi? Tante bahkan gak inget kapan terakhir ketemu dia."
Irena diam. Selama ini ternyata, Keenan masih kurang perhatian dari orang tuanya. Apa Keenan masih sama seperti Keenan yang dulu? Irena jadi rindu.
"Kamu tahu Keenan kecelakaan darimana?"
Irena baru akan menjawab saat Aldi dan Kevin datang. Ia tidak jadi menjawab.
"Tante," panggil mereka, tapi Irena tahu, Kevin tidak tulus. Ada sesuatu yang mengganjal pada Kevin, ia hanya tidak tahu apa. Ia tidak terlihat sedih, ia hanya terlihat bingung. Irena tidak mau ambil pusing, ia masih tidak bisa lupa hari dimana Kevin hampir menamparnya bila Keenan tidak menolongnya. Ia tahu Kevin terus memandanginya, tapi ia pura-pura tidak menyadarinya dan membuang muka dari Kevin.
Selebihnya Irena tidak mau banyak berbicara, ia lebih banyak mendengar percakapan mereka, dan sekali-kali mamanya Keenan akan melibatkannya dalam percakapan mereka.
"Eliza? Enggak kok, Keenan gak pacaran sama siapa-siapa. Dia cuma pernah pacaran sama Irena." ucap Aldi sambil menunjuk Irena dengan dagu.
Irena tersenyum miris menimpalinya. Kadang ia bingung, mengapa Keenan tidak pernah jadian dengan Eliza. Padahal mereka satu sekolah. Irena kenal Keenan, cowok itu tidak sepasif itu. Apa Eliza selalu menolak Keenan? Atau malah jangan-jangan, mereka berpacaran diam-diam?
Bila Keenan berpacaran dengan Eliza, ia akan berhenti mengejar Keenan. Ia akan berusaha mencari penggantinya
Namun keadaan seperti sekarang inilah yang terus membuat Irena masih berharap bahwa Keenan masih ada untuknya. Berharap bahwa Keenan masih sama seperti yang dulu ia kenal.Detik berikutnya yang Irena sadari adalah operasi Keenan sudah selesai dan keadaannya stabil. Irena tidak tahu operasi apa, yang ia tahu adalah Keenan akan baik-baik saja. Dan baginya, itu sudah cukup melegakan.
Irena merogoh saku celananya, sesuatu bergetar, dan itu ponselnya. Tanpa berpikir dua kali, ia segera mengangkat telpon yang diterimanya. Ia tidak tahu kenapa, ponselnya tergelincir jatuh dari tangannya saat mendengar apa yang diucapkan Ethan. Ia melihat ketiga pasang mata yang seolah menunggu penjelasan keluar dari bibirnya. Tapi bibirnya kelu, tidak dapat berucap apa-apa selain bergetar hebat, ketakutan.
---
Ethan berdiri tegap. Matanya fokus pada nisan yang ada di depannya. Sebelah tangannya memegangi payung, sebelahnya lagi mengusapkan jari pada ukiran nama yang terukir di atas batu itu. Ia mengambil nafas panjang sebelum menghembuskannya lagi, dan lagi. Tetapi tetap saja, jantungnya berdebar kencang, dahinya mengeluarkan keringat dingin.
Ia memandangi Nata yang berdiri di sebelahnya, tatapan perempuan itu kosong sebelum berjongkok di sebelah batu tersebut. Ethan mengikuti Nata berjongkok. Sungguh, tidak ada air mata yang keluar dari matanya, tidak seperti Nata yang terus menangis pilu.
Ia menaburkan kelopak bunga mawar merah segar ke atas tanah tempat sebuah tubuh terbaring kaku tertanam pada bumi.
"Nata, udah dong, lo jangan nangis terus."
Ethan kembali mengambil segenggam bunga dari kantung plastik besar yang dipegang erat Nata, lalu kembali menabur bunga.
"Dia pasti gak suka liat lo sedih kayak gitu, udah Nata."
Nata menggeleng, ia tidak bisa. Ia tidak mampu menghadapi dunia nyata tempat kakinya berpijak. Bila semua ini nyata, mengapa harus orang terdekatnya?
Ethan kehabisan akal. Ia hanya termenung, membaca baik-baik ukiran di hadapannya.
Kemana ia selama ini untuk Eliza? Rasanya ia lebih mementingkan diri dan perasaannya sendiri hingga membuat jarak mereka mendadak terpentang jauh.
Ethan ingat dulu ia mengajak Eliza pergi makan di tepi laut, kini ia hanya ingin momentum seperti itu dapat terulang kembali. Tidak hanya terus berputar dalam memorinya bak kaset rusak.
Ethan juga ingat, hari dimana ia mengajak Eliza pergi nonton, saat dimana ruangan berubah gelap, Eliza menggigil dan bergetar kencang, ketakutan. Hari dimana ia memeluk Eliza pertama dan terakhir kalinya. Hangat rasanya, dan tidak ingin ia lepas. Ia bahagia sekali hari itu, sekaligus cemas karena satu orang yang sama. Eliza. Perempuan yang sudah membuat matanya terkunci, pada senja itu, senja dimana menjadi titik awal persahabatan mereka.
"Ethan, lo sayang ga sama Eliza?"
Ethan mengangguk.
"Terus, kenapa lo malah jalan sama Irena, dan dia jalan sama Keenan? Kalau dia jalan sama lo, semua ini gak bakal terjadi."
Sial.
Ethan merasa dirinya adalah orang terburuk yang pernah tinggal dalam hidup Eliza. Setelah mengatakan ia menyukainya, ia malah menjauhi Eliza habis-habisan dan memanas-manasinya dengan bantuan Irena. Ethan tidak tahu bagaimana harus mengucap sebuah kata maaf yang pasti tidak akan cukup untuk membayar salahnya.
Sudah tiga hari sejak kejadian di ruang ICU, tapi mata Eliza tidak terbuka lagi. Keenan tidak jauh beda, hanya saja ia sempat siuman sebelum kembali jatuh terlelap lagi.
"Yuk, kita pulang." Ethan tidak mau berlama-lama, baginya, dunia harus tetap berjalan. Walau berat, hidup terus berputar dan tidak akan menunggu insan pada suatu titik yang kelak hanya akan menjadi keping masa lalu.
Nata mengangguk, mengusap nisan itu sebentar sebelum meninggalkan yang tertanam di dalam sana sekali lagi.
"Yuk."
---
KAMU SEDANG MEMBACA
Are We Friends?
Novela JuvenilEliza suka Keenan. Namun Eliza tahu diri untuk menyingkir. Keenan itu punya Irena, itu dulu. Sekarang, ada Nata dan Ethan. Bagi Eliza, kehadiran kedua sahabatnya udah lebih dari cukup untuknya. Namun, saat semua sudah tentram, Irena kembali muncul d...