Eliza termenung di dalam kamarnya sendirian. Rumahnya sepi karena orang tuanya belum pulang, padahal hari sudah mulai malam. Eliza membuka jendelanya, udara di luar memang cukup dingin karena angin berhembus kencang.
Mungkin bila tas punggungnya tidak tertinggal di mobil Ethan, ia akan mengerjakan tugas pelajaran bahasa agar akhir pekannya bebas dari tugas.
Mungkin juga, bila ia tidak terlanjur kesal dengan Ethan, sekarang ia akan masih bersenang-senang di mal bersama Ethan dan Nata.
Tapi yang ada sekarang, Eliza merasa sepi. Kekhawatirannya bila Ethan berubah perlahan sudah menjadi nyata di matanya.
Mana pernah dulu sahabatnya itu meninggalkannya di sekolah?
Mana pernah dulu sahabatnya itu ingkar janji padanya?
Dan sekarang, bahkan Ethan lebih membela Irena daripadanya.
Pandangan Eliza jatuh pada gitar berwarna putih pemberian Ethan saat ia berulang tahun ke 16. Gitar itu hanya ia mainkan sewaktu-waktu Ethan mengajarinya, tapi Eliza tahu, gitar itu sekarang hanya akan menjadi rongsokan di samping meja belajar yang tak pernah ia gunakan.
Eliza menerbenamkan wajahnya pada bantal putih miliknya yang entah sejak kapan menjadi basah.
Eliza tidak pernah suka menjadi dekat kepada siapapun karena ia tahu, semua orang akan pergi, semua orang akan meninggalkannya suatu saat nanti.
Ia marah, bukan pada Ethan, tapi pada dirinya sendiri. Benteng yang sempat ia bangun dari Ethan, entah sejak lama runtuh.
Sejak kapan juga ia peduli? Bukankah memang kita harus menyiapkan diri bila sewaktu-waktu merasakan kehilangan?
Eliza menarik nafas panjang, mencoba menenangkan dirinya yang terasa aneh sore ini. Seperti, ia bukan dirinya sendiri.
"Eliza!"
Eliza mengusap wajahnya kasar. Ia pasti berkhayal, atau sempat tertidur sampai mendengar suara Ethan.
"Liz! Eliza!"
Ia mendekati suara yang berasal dari jendela kamarnya, berniat untuk menutup jendela. Udara dingin langsung menerpa wajahnya saat ia berada di tepi jendela.
"Liz! Jangan ditutup jendelanya!"
Eliza menunduk, melihat sosok yang berdiri di depan pintu rumahnya itu sedikit diterangi lampu perkarangan rumah miliknya.
"Turun dong Liz, ditimpuk tetangga nih gue kalau ngomongnya teriak-teriak begini." ucap Ethan setengah berteriak yang membuat Eliza tertawa.
Eliza menutup jendela kamarnya sebelum menuruni anak tangga rumahnya dan membuka pintu, tepat sebelum hujan angin turun. Tanpa diundang pun, Ethan langsung masuk begitu Eliza muncul dihadapannya.
Ethan menaruh tas punggung Eliza di atas sofa ruang tamu, "Lo nangis?"
"Ha?"
"Gue tanya, lo abis nangis?"
"Enggak," Eliza berbohong. Yang benar saja, mau ditaruh dimana mukanya nanti? Bisa habis ia diejek Ethan.
"Gue line lo, telpon, gak diangkat semua. Lo ngapain?"
"Gue gak cek handphone."
Ethan duduk di samping tas Eliza, "Lo udah makan? Atau mau keluar makan yukk."
Eliza menggeleng, "Gak laper, bentar lagi orang tua gue pulang palingan.
Telpon rumah Eliza berdering nyaring. Perasaan Eliza jadi gak enak, jangan-jangan orang tuanya pulang malam lagi, ini saja sudah jam 6 lewat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Are We Friends?
Fiksi RemajaEliza suka Keenan. Namun Eliza tahu diri untuk menyingkir. Keenan itu punya Irena, itu dulu. Sekarang, ada Nata dan Ethan. Bagi Eliza, kehadiran kedua sahabatnya udah lebih dari cukup untuknya. Namun, saat semua sudah tentram, Irena kembali muncul d...