Dua Puluh Enam : Pesawat Terbang

190 14 2
                                    

Samar-samar Eliza melihat cahaya putih menusuk matanya, silau. Kepalanya berdenyit pusing begitu mengenai sinar, sehingga ia memilih untuk memejamkan matanya sejenak beberapa saat. Eliza kembali membuka matanya, hanya untuk mendapati ruangan nuansa putih yang ia tidak kenali. Asing dan tidak familier. Ia tidak tahu sekarang ini hari apa, jam berapa, tapi ia tahu pasti kalau ia sedang berada di rumah sakit.

Tangan kanannya ia angkat, tapi terasa sedikit nyeri dengan selang-selang tertancap pada lipatan lengannya. Ia beralih, berniat memeriksa bila tangan kirinya mendapatkan tusukan yang sama. Nyatanya tidak. Tangan kirinya tertekan oleh sebuah kepala yang bersandar padanya.

Eliza mengamati orang yang tertidur lelap itu, tapi ia tidak bersuara. Ia hanya ganti mengamati jendela yang berjarak tidak jauh darinya. Tirai jendela itu terbuka, ia bisa melihat langit yang terlihat gelap. Jadi ia simpulkan, hari sudah malam.

Ia berusaha menggapai remote televisi yang berada di nakas sebelah kirinya dengan tangan kanannya. Ia tidak mau membangunkan Ethan dengan menggerakkan tangan kirinya yang sekarang sudah merangkap menjadi bantal.

"Aw." rintihnya spontan begitu merasa jarum yang tertusuk pada lengan kanannya terasa nyeri.

"Hm?"

Ethan mengangkat kepala, pemandangan Eliza yang semula hanya dapat melihat rambut, tergantikan dengan wajah pucat Ethan. Ia terlihat tidak sehat dan lelah. Ethan terus mengucak matanya sebelum pandangannya beralih pada Eliza yang terang-terangan sedang memandanginya.

"Hey," ucap Ethan sekali lagi mengucak kedua matanya seolah meyakinkan diri melihat sosok di hadapannya. "Ya ampun, lo udah lama sadar? Gue ketiduran ya?"

Eliza ingin menjawabnya, tapi suaranya serak dan tidak bisa keluar. Cepat-cepat Ethan mengambilkannya minum dan sedotan, membiarkan cairan dingin itu melewati keronggokannya.

"Gue kecelakaan ya?"

Ethan mengangguk dan menaruh kembali gelas ke atas nakas. "Iya, tapi sekarang lo udah gapapa. Apa masih ada yang sakit?"

"Berapa lama gue pingsan?" Eliza mencoba meraih remote televesi yang tanpa diminta sudah diambilkan Ethan untuknya. "Thanks."

"Mungkin sekitar 4 hari. Tapi yang penting lo selamat Liz. Demi, pas sore lo dibawa kesini, kita semua sempet kehilangan lo, untung aja cuma sebentar."

Eliza menatapnya sebentar, sorot matanya penuh kecemasan, sebelum ia kembali mengotak-atik saluran televisi. Kamar ini hanya dihuni ia seorang, jadi ia bebas untuk mengganti saluran telivisi yang ia suka.

Eliza tidak ingat kalau ia pernah mati.   Tapi ia ingat, hal terakhir yang terjadi sebelum mereka kecelakaan adalah mobil yang ditumpanginya dan Keenan menabrak pembatas jalan dan ia berteriak kencang, sama seperti Keenan, sebelum tiba-tiba ia terbangun disini.

"Keenan gimana? Dia baik-baik aja?"

Ethan nyaris tak berkedik. "Keenan? Dia masih koma, keadaannya jauh lebih buruk dari pada lo."

Selanjutnya Ethan tidak berkata apa-apa lagi. Mereka berdua sama-sama larut dalam pikiran masing-masing. Empat hari belakangan ini, bisa dikatakan kalau Ethan menghabiskan waktu liburannya di rumah sakit. Untung saja orang tuanya memperbolehkannya.

Kerjaan Ethan hanya menunggui Eliza terbangun. Sesekali Nata akan datang menjenguk Eliza, dan mereka berdua akan mengobrol, persis seperti yang sudah-sudah. Tidak ada yang canggung sampai Nata membuka rahasia terdalam Eliza. Tentu Eliza tidak akan suka bila tahu Nata membocorkannya pada Ethan, jadi baik Nata maupun Ethan sepakat untuk sama-sama diam.

Ethan sendiri tidak terkejut saat Eliza menanyai keadaan Keenan, sama sekali tidak. Hanya saja, bohong bila ia mengatakan bahwa ia tidak kecewa dengan Eliza yang tidak menanyai kabarnya sama sekali. Padahal ia lah yang berada di samping Eliza tiap harinya, menunggui perempuan berambut hitam kecokelatan itu untuk terbangun dari tidur terdalamnya. Hanya dua kali Eliza pergi dengan Keenan, dan yang terakhir sudah berakibat fatal.

Are We Friends?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang