Dua Puluh Tiga : Kecepatan Tinggi

155 13 0
                                    

Keenan mengantar Eliza pulang. Padahal kalau Keenan mau, ia bisa saja menyuruh supirnya untuk mengantar Eliza. Tapi ia tidak mau merepotkan Pak Beni yang sekarang lebih sering mengurus kebun dibandingkan mengantarnya dengan mobil.

"Za, lo laper gak?" Keenan menoleh sebentar pada Eliza yang duduk di sebelah kirinya sebelum memusatkan perhatiannya pada jalanan lagi.

"Gue gak terlalu laper sih, emangnya kenapa?"

Eliza mengecek ponselnya, pesannya tidak bertambah, masih sama, hanya tinggal sisa pesan dari Nata yang akhirnya ia balas dengan 'gak tau gue juga."

"Gue laper nih, temenin makan yuk."

Ganjil rasanya, Eliza menggulirkan daftar pesan masuk, hingga menemui nama Ethan. Pesan terakhir itu sudah Senin lalu, hari dimana ia, Ethan dan Nata belajar bersama untuk ujian akhir kimia. Setelahnya, tidak ada lagi pesan dari Ethan.

"Za?"

"Ha? Apa?"

Keenan menoleh lagi, Eliza sibuk dengan ponsel tapi tidak mengetikkan apapun disitu.

"Temenin gue makan dulu deh ya,"

Eliza mengangguk dan membiarkan Keenan memarkirkan mobilnya di sebuah restoran italia yang menjajakan pasta.

Wangi makanan menyerbu penciuman Eliza, sangat menggiurkan, bahkan saat mereka baru berjalan masuk ke dalam restoran kecil tersebut.

Restoran itu dipenuhi ornamen berwarna putih dengan gaya klasik tetapi santai, jauh dari kesan rumah makan gedongan yang terlihat mahal dan mengintimidasi.

"Gue kayaknya mau makan deh." ucap Eliza pada Keenan.

Nihil.

Tidak ada jawaban apapun membuat Eliza menoleh ke belakang, Keenan masih berdiri terpaut kira-kira lima langkah darinya. Eliza mengikuti arah pandang Keenan tersebut sebelum detik berikutnya, matanya melebar kaget.

"Keenan." Panggil Eliza menyadarkan Keenan yang sepertinya melamun. "Jadi makan gak?"

Keenan mengangguk lalu berjalan menuju Eliza yang sudah berdiri di samping meja kosong terlebih dahulu.

Eliza mengambil tempat dengan posisi strategis untuk melihat pemandangan yang sempat mengunci perhatian Keenan. Walau sebenarnya ia juga tidak mau melihat itu, tapi ia penasaran. Tanpa bisa ia kendalikan, rasanya paru-parunya terisi penuh gas beracun hingga terasa sesak dan panas mirip rasa terbakar.

Eliza memang tidak bisa mendengar apa yang kedua orang tersebut bicarakan. Tapi keduanya sama-sama terlihat senang dan akrab, terbukti dengan mereka tertawa lepas tak berbeban sedikit pun. Sekali-kali, yang perempuan menunjukkan ponselnya pada si lelaki dan langsung ditanggapi dengan anggukan dan tatapan kagum.

Kalau Eliza boleh menebak, ia yakin, si perempuan itu sedang pamer atau mencoba menggoda si lelaki yang tampaknya tertarik.

Tatapannya pada Ethan bertemu, saat Ethan menoleh ke hadapannya. Ekspresinya datar, dan hanya sebentar. Eliza berniat melontarkan senyum sebelum niat itu luntur ketika Ethan menolehkan kepalanya ke arah Irena lagi.

"Za, lo liatin Ethan sama Irena segitunya banget. Lo baik-baik aja?"

Eliza mengangguk, terlalu keras, ia berusaha meyakinkan Keenan dengan anggukannya walau matanya tak mau lepas dari gerak-gerik dua orang tersebut. Rasanya kedua bola matanya ingin meloncat keluar saja. Eliza hanya merutuki matanya, kenapa harus melihat mereka disini?

Tapi lagipula memangnya kenapa juga makan dengan melihat pemandangan Irena dan Ethan bersama? Ia juga sudah tahu kalau hari ini Ethan akan menghabiskan hari bersama Irena berkat ajakan perempuan berkulit cerah itu. Tapi bila itu pun benar, apa maksud Ethan waktu kemarin bilang kalau Ethan menyukainya?

Are We Friends?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang