Eliza tidak bisa tidur. Dugaannya tidak beralasannya ternyata benar adanya. Eliza pikir ia sudah terbebas dan bisa hidup tenang, tetapi mereka nyatanya masih mengganggu.
"Kamu harus hati-hati, waspada, kalau perlu sebelum naik mobil, dicek dulu remnya. Fatal kan kalau sampai kayak gini."
"Tapi tenang aja, papa udah urus semuanya. Mama kamu juga udah ngomong sama mamanya Keenan dan dia juga ngerti, gak nyalahin kamu sama sekali."
"Gak boleh ada lain kali kayak gini. Kamu gak aman disini."
Perkataan itu terus berputar dan membuatnya cemas. Ia tidak mau kehilangan lebih banyak lagi. Ia sudah kehilangan terlalu banyak.
Kalimat terakhir tersebutlah yang membuatnya takut. Ia tidak takut apabila sewaktu-waktu kejadian serupa terulang. Ia tidak takut bila ia harus pergi, namun ia takut untuk kehilangan. Ia tidak mau kehilangan orang-orang disekitarnya.
Eliza memejamkan matanya rapat-rapat, berpikir keras akan apa yang telah terjadi dan masa depan yang akan ia lalui. Ia tahu apa yang harus ia perbuat sekarang. Setelah butuh waktu beberapa jam untuk membulatkan tekadnya tersebut, Eliza tidak akan bohong pada dirinya sendiri. Sebuah kekecewaan yang hanya tidak dapat dituliskan dan diungkapkan.
---
"Morning!" Nata tersenyum lebar sambil menggoyang-goyangkan lengan kiri Eliza, memaksa Eliza untuk segera membuka matanya.
"Gue kemarin kesini! Tapi lo belom sadar, gue pergi, eh lo sadar. Gak nungguin gue deh ah sadarnya!" Cecar Nata begitu Eliza membuka matanya yang masih setengah ngantuk.
Eliza cuma tertawa, tapi matanya mencari sosok lain.
"Lo nyari Ethan ya?"
Eliza menggeleng, "Gak kok. Orang tua gue kemana?"
"Udah pergi tadi pas gue sama Nata dateng."
Eliza menoleh, jadi selama ini Ethan ada di dalam kamar mandi dan mendengar percakapannya dengan Nata? Eliza jadi gak enak karena bilang ia tidak berniat mencari Ethan.
"Eh, ini makanan lo udah ada, lo mau makan sendiri apa gue suapin? Oke gue suapin!" cetus Nata tanpa perlu repot-repot menunggu jawaban dari Eliza.
"Gue gak sesakit itu Nata, gue bisa. Paling juga besok gue udah bisa pulang."
"Gue mau suapin lo! Pokoknya mau ya?"
Eliza memutar kedua bola matanya malas, ia senang sih sahabatnya ini perhatian, tapi kalau seperti ini sih namanya berlebihan.
"Gak."
"Mau!"
"Gak Nata."
"Harus mau Liz!"
"Gak mau, gue sendiri bisa kok."
"Kalau gue yang suapin gimana?" Celetukan Ethan itu membuat mereka sama-sama menatapnya bingung. Pasalnya, Ethan mengucapkannya dengan santai seperti itu adalah hal yang wajar. Tanyakan pada Eliza sebagaimana tidak wajarnya pikiran dan denyut nadinya saat Ethan menyuapinya kemarin.
Nata menaik-turunkan alisnya menggodanya lalu melirik ke Ethan dengan tatapan yang sama. "Ide bagus!"
"Gak."
"Kok mukanya merah?" tanya Nata dengan kurang ajarnya. Eliza sadar kok sekarang wajahnya terasa panas, cuma kan Nata gak perlu memperjelas hal itu depan Ethan.
"Loh kok muka lo juga merah? Cie!!" Teriak Nata heboh sendiri sekarang pada Ethan.
"Berisik lo." Ethan mengabaikan fakta tersebut, walau mukanya sekarang merah padam. Ia tetap mengambil potongan roti berselai nanas itu dan memberikannya pada Eliza.
KAMU SEDANG MEMBACA
Are We Friends?
Teen FictionEliza suka Keenan. Namun Eliza tahu diri untuk menyingkir. Keenan itu punya Irena, itu dulu. Sekarang, ada Nata dan Ethan. Bagi Eliza, kehadiran kedua sahabatnya udah lebih dari cukup untuknya. Namun, saat semua sudah tentram, Irena kembali muncul d...