Rintik hujan yang sudah senyap menetap pada dedaunan, menggantung pada ranting pepohonan. Butir bening itu berharap dapat bertahan, memilih menguap dan menyatu kembali dengan langit akan tetapi, waktu berkata ia harus jatuh untuk memberi kehidupan pada bumi yang kehausan. Bukankah dalam hidup, sering kita temui harapan yang bertahan pada kenyataan yang menjatuhkan. Mengembalikan tetes air yang jatuh ke bumi pada langit, bagaikan mengembalikan seseorang yang sudah terkubur oleh tanah. Percuma! tak akan bisa.
Hujan tadi baru saja membasahi kenangan lama yang terpendam, memunculkan sosok yang telah lama ia benamkan namun tak juga menghilang. Senja rindu sosok itu, sosok yang telah raib ditelan bumi.
Rajendra dan Senja memutuskan untuk menginap di rumah Sadewa. Senja sendiri ingin lari dari kenyataan bahwa ia butuh kehangatan atau setidaknya ketenangan. Berbeda dengan Rajendra, cowok itu menyimpan misteri yang tak terbagikan pun tersembunyi. Bukankah sahabat adalah yang paling dekat, ruang bagi diri bercerita sebebas hati. Kata sahabat yang mereka dengungkan hanya sekelumit ruang untuk saling tertawa, melepas masing masing beban berat yang menghujam dada.
Tok...Tok...Tok
"Assalamualaikum," ujar mereka bertiga di depan pintu.
"Waalaikumsalam. Eh, anak mama pulang," jawab Mama Sindy sambil mencium putra sulungnya. Senja hanya meringis melihat hal itu. Beginikah rasanya kehangatan seorang ibu yang tak pernah Senja dapatkan,"...Senja sama Rajendra ayo masuk," Suruh wanita paruh baya itu, menggiring mereka masuk ke dalam.
"Makasih, Tan! Tante masih cantik aja, Senja jadi naksir," puji Senja. Kebiasaannya selalu kambuh saat melihat cewek cantik.
"Bangsad mau punya bapak kaya dia?" tanya Rajendra dengan jari telunjuk menunjuk Senja sambil menatap Sadewa. Sadewa tersenyum meremehkan.
"Tampang tai begitu," timpal Sadewa, membuat Mama Sindy tersenyum berkali-kali. Gemas dengan perdebatan ketiga remaja itu. Mama Sindy lantas menoel pipi Senja,"Kamu nggak berubah ya, masih aja suka godain cewek. Untung Mama nggak doyan brondong,"
Wanita paruh baya itu sudah menganggap seluruh anggota The Monsters selayaknya anak maupun bagian dari keluarganya sendiri. Karena teman itu ibarat anak tangga boleh jadi membawa kita ke arah lebih baik atau justru sebaliknya--arah yang lebih buruk--sehingga kita harus berhati-hati anak tangga mana yang sedang kita lalui. Wanita yang kerap disebut Ibu adalah tameng bagi anaknya, melindungi dan memberi petuah mana yang benar dan yang salah; mana yang harus dilakukan dan ditinggalkan. Ibu adalah cahaya yang senantiasa abadi meski redup karena usia tetapi, kasihnya abadi sepanjang masa.
Senja hanya menggaruk-garuk tengkuknya yang tidak gatal lantas menyengir lebar.
Membuat semua terbahak-bahak, kecuali Sadewa, tatapan cowok itu mengintimidasi, "Syukurin, cewek gue jangan digodain. Nggak akan mau sama lo!"Senja mengadu serta menyenderkan kepalanya di pundak wanita itu, "Mama... Mama... Kang Sesat jahad ama Enja?!" Sindy mengelus puncak kepala Senja, lantas mendapat tatapan horor dari Sadewa.
"Yang anak kandung siapa, yang gembel siapa,"
"Udah pada makan belum? Mama tadi masak opor ayam sama dendeng sapi.. makan ya," perkataan Mama Sindy tadi membawa angin kesegaran bagi dua gembel yang tersenyum pongah, perut mereka berbunyi minta diisi.
"Gembel, jangan dikasih makan, Ma!" celetuk Sadewa melunturkan keceriaan dua cowok yang baru saja berpelukan. Keduanya menunjukkan tampang kasihannya.
"Sstt, Dewa yang baik sama temennya!" suruh Mama Sindy berjalan menuju dapur dan berbalik sebentar," Jangan lupa bersihin badan kalian dulu baru turun buat makan. Ini mama siapin."
KAMU SEDANG MEMBACA
TMS [4] - SENJA
Fiksi RemajaSERIES KEEMPAT DARI NOVEL THE MONSTER SERIES -- UPDATE SETIAP SATU MINGGU SEKALI Senja yang nyata dihadapan mata diabaikan. Namun, yang diangkasa malah diperhatikan. Anugerah yang Tuhan berikan memang seperti candu yang ingin dihentikan, tapi malah...