Tercetak senyum semerah delima di bibir itu, sekilas sulit diartikan--bahkan manik matanya yang teduh berpendar kecewa juga perasaan lega. Si lelaki pun menghela napas, disentuhnya pundak si perempuan yang mematung itu.
"Tinggalin dia yang nggak tau diperjuangin, nggak peka dan nggak punya rasa sama lo. Lo pantes buat bahagia, tanpa harus sama dia," kata si lelaki.
Perempuan itu berbalik, "Terlalu nyaman buat beranjak walau cuma sebatas teman, rasa terlanjur menggenggam enggan melepaskan,"
"Lo sadar udah diabaikan tapi masih kekeh bertahan? Bandel lo nggak berkurang," si Lelaki membuang muka enggan melihat si perempuaan terluka. Sebelum kembali memandang si perempuan yang memegang ponsel sambil duduk diatas sofa. "So, Apa yang bisa gue lakuin buat lo?" tanya si lelaki menatapnya lama.
"Rasa sakit bertubi-tubi membuat seseorang semakin lemah, dan saat orang itu kalang kabut maka itulah waktu yang tepat untuk mengambil hatinya. Luka sudah membuatnya menyerah lantas menerima pilihan yang ada," ujar si perempuan panjang masih menatap lurus lalu mendongak dan beradu pandang dengan sepasang biji kopi dihadapannya.
"Gue nggak masalah kalo lo lukai mereka berdua," pungkasnya menunjukkan sesuatu dari ponselnya.
"Dengan senang hati my sweet girl,"
***
Pagi menghadirkan fajar di ufuk timur, mentari menyingsing dengan garang menghempas tetes embun yang menggantung di dedaunan. Ada keikhlasan juga kerendahan hati yang diajarkan embun pada bumi, cukup jatuh memberi kesejukan tak peduli betapa gersang tanah di bawah sana. Embun ibarat harapan kecil yang menggantung dalam setangkai daun, namun harapan kadang tak sesuai dengan kenyataan yang ada.
Koridor SMA Gita Bahari cukup ramai dengan siswa-siswi yang berlalu-lalang karena saat ini waktu istirahat sudah tiba, gadis dengan mulut cerewet itu berjalan tergesa-gesa sesekali membelah lautan manusia dihadapannya. Qia mangkir dari kelas lebih dulu, meninggalkan Samantha juga Jazzi serta omelan Ustadz Danu yang geram karena belum selesai mengucap salam.
"Syee, lo nggak papa? Mana yang luka?" tanya Qia tampak cemas, membolak balikkan badan sepupunya. Insiden yang menimpa Shanum sempat membuat Qia khawatir, namun setelah Shanum menceritakannya lewat voice note semalam. Akhirnya Qia sedikit bernapas lega.
"Gue nggak luka sama sekali, Qi!" seru Shanum meyakinkan, "gue cuma ketakutan aja tadi malam," lanjutnya.
"Gue khawatir banget sama lo, dan gue nggak nyangka Gama seceroboh itu. Cowok papan triplek itu melenceng dari ekspektasi gue." Qia pikir cowok dingin model Gama mirip cowok di wattpad atau drama korea gitu--bak malaikat yang sering bikin cewek ngerasa kaya ratu dan meleleh--dunia nyata emang nggak seindah drama korea yang sering di tontonnya.
"Gama masih bujang, lho nggak berminat?" Goda Shanum.
Qia memutar bola matanya malas, "Nggak! Mending sama Oppa Korea muka plastik tapi nggak kaku buat senyum. Dia mah kulkas berjalan, buat nyimpen sayur bukan hati,"
Shanum hanya menggelengkan kepala. Pikirannya memutar kejadian bagaimana cowok tengil yang sempat dia benci membiarkan tubuhnya dihajar preman demi menyelamatkannya. Bagaimana cowok berandal yang terkenal jenaka itu berubah menyeramkan tadi malam. Dipikirannya bukan Gama tapi Senja.
"Qi, gue heran kok Senja bisa tau gue ada disitu. Apa dia buntutin gue?!" dilihatnya Qia yang tersenyum penuh arti.
"Ekhem, jadi.." dehem Qia sejenak sebelum melanjutkan, "waktu lo ngirim pesan darurat ke gue, gue kasih tau Senja dan kebetulan dia ada dideket situ, Syee!"
KAMU SEDANG MEMBACA
TMS [4] - SENJA
Fiksi RemajaSERIES KEEMPAT DARI NOVEL THE MONSTER SERIES -- UPDATE SETIAP SATU MINGGU SEKALI Senja yang nyata dihadapan mata diabaikan. Namun, yang diangkasa malah diperhatikan. Anugerah yang Tuhan berikan memang seperti candu yang ingin dihentikan, tapi malah...