Bow
Sinopsis: Meski begitu, ada satu hal yang Brett sadari. Bahwa Eddy adalah tangan kanan terbaik yang pernah ia miliki.
Canon video: 2 boys 1 violin
==========
Malam itu Eddy dan Brett baru saja menyelesaikan rekaman untuk video terbaru mereka. Eddy yang sedang bersemangat untuk menyunting video dengan cekatan langsung menenggelamkan diri dalam kesibukan. Brett disisi lain, memutuskan untuk berlatih. Ada bagian kecil didalam hatinya yang tidak ingin kalah dari Ling Ling, maka dari itu program latihan 40 jam seharinya kembali dilaksanakan.
. : o O o : .
Bunyi ketukan pintu membangunkan Brett dari mimpinya.
"Pagi," sapa Eddy dari pintu. "Mau sarapan diluar? Aku kehabisan bahan makanan."
Penampilan bangun tidur Brett tidak jauh beda dengan Eddy. Rambut berantakan—beberapa diantaranya mencuat melawan gravitasi—dan kantung mata menghitam. Brett meraih kacamatanya kemudian mengangguk sebagai jawaban. Ia masih mengantuk dan persediannya ngilu—akibat berlatih empat puluh jam semalam.
"Good, aku baru saja googling café baru yang punya kopi lezat dekat sini."
Eddy baru saja akan keluar dari kamar Brett ketika ia melihat sesuatu di pipi sahabatnya.
"Hey, uh, kau punya, uh..." tangan Eddy menggapai pipinya sendiri. Memberi gestur kepada Brett untuk diikuti.
Akibat sedang mengumpulkan nyawa, Brett menjawab setengah sadar. "Apa? Aku punya apa?"
"Kau punya... dipipi..."
Setelah beberapa saat meraba wajahnya sendiri, pipi Brett memerah. Malu. Ia baru sadar ada air liur yang mengering dipipinya. Eddy menahan tawa. Melihat Brett yang seperti itu, membuatnya gemas.
Mungkin ada sedikit perbedaan diantara penampilan bangun tidur mereka berdua.
Melihat Brett yang sudah sadar dengan penampilannya sendiri, akhirnya Eddy beranjaku—memberikan Brett waktu untuk bersiap.
"Oh, ya. Video semalam sudah kuunggah ya!" teriak Eddy samar dari balik dinding. "Kuharap kau tidak keberatan jika kunamai videonya '2 Boys 1 Violin'!"
Terdengar seperti clickbait tapi... yasudahlah. Batin Brett sembari berjalan menuju kamar mandi.
"Ya! Thanks, dude!" jawabnya.
Lima belas menit kemudian mereka berdua sudah siap berjalan menyusuri kota.
. : o O o : .
Kejadiannya begitu cepat bagi Brett. Awalnya mereka berdua berjalan santai—Brett berjalan didepan dan Eddy tertinggal dibelakang karena sibuk menangkap pokémon. Detik berikutnya ia berbaring diatas trotoar sambil memegangi lengan kirinya.
Pagi sial untuk sleepy Bretty. Ditabrak pengendara sepeda mabuk teramat keras. Eddy histeris melihat Brett yang memekik kesakitan.
Dan disinilah mereka sekarang. Bukannya mengecap secangkir kopi dan sarapan pagi malah menikmati bau khas rumah sakit memenuhi hidung mereka.
Eddy meringis tiap kali melihat wajah kesakitan sahabatnya. Ia merasa bersalah karena terlalu sibuk bermain.
"Sori, Brett." Ucapnya pelan.
Yang tengah berbaring diatas kasur menggeleng lemah. "Tak apa, bukan salahmu, kok"
Sunyi mengudara. Tepat sebelum atmosfir menjadi canggung, dokter menghampiri mereka.
"Saudara Brett Yang?" Sang dokter membawa dokumen ditangannya. "Hasil rontgen—"
"Apakah Brett patah tulang, Dok?" Eddy memotong.
"Maaf menyela—tapi, uh, Brett adalah pemain biola... jika ia tidak latihan sampai berbulan-bulan aku khawatir—"
Kali ini sang Dokter yang memotong. "Ya, ya saya mengerti." Dokternya mafhum.
"Saudara Brett tidak mengalami patah tulang ataupun sesuatu yang lebih parah. Untungnya hasil rontgen menunjukkan bahwa saudara Brett mengalami keseleo ringan."
Dua pasang violinist bernafas lega.
"Akan tetapi, saudara Brett belum diperbolehkan untuk melakukan segala jenis olahraga ataupun latihan selama kurang lebih 3 hari."
Brett menelan ludah.
"Saya akan memberikan obat anti nyeri. Oh, dan jangan lupa untuk mengompres daerah keseleo dengan es supaya lebih cepat sembuh." Jelas sang dokter kemudian meninggalkan Brett dan Eddy berdua.
"Tiga hari..."
"Welp, lebih baik daripada satu bulan, kan?" Eddy mencoba membuat sahabatnya lebih baik. Senyum canggung kemudian.
"Kuharap tanganku tidak akan gatal untuk memainkannya,"
Eddy menggaruk kepala—masih merasa tidak enak. "Uh, berhubung kita belum makan pagi, aku mau ke minimarket. Kau mau pesan apa?"
. : o O o : .
Brett yang malang. Sekarang ia tengah berbaring diatas sofa apartemen Eddy—menonton sahabatnya latihan.
Dan sekarang, tangannya gatal. Gatal untuk menggesek g-string itu.
"Satu komposisi saja...? Please..." rengeknya—untuk yang kesekian kali hari itu.
Matanya berkilau menatap biola yang sedang dipegang oleh Eddy. Eddy lemah dibeginikan. Ia tak tahan dengan tatapan seperti itu.
Menghela nafas panjang, akhirnya ia menyerah. "Baiklah. Satu saja, ya?"
"Yes!" Brett loncat dari sofa dengan ceria.
Eddy mengoper alat musiknya ketangan Brett. Sesaat setelah berhasil menempati biola pada posisinya, tangannya berdenyut—ngilu.
Wajah Eddy mengerucut mendengar rintihan pilu.
"Ouch, aku tidak bisa menggesek senar dengan tangan seperti ini..." ucapnya. Entah kenapa saat ia berkata seperti itu, rasanya ada background music sedih yang mengalun.
Pupus sudah harapannya. Sekarang yang bisa Brett lakukan hanyalah bersabar menunggu dua hari lagi untuk bermain. Brett yang malang.
"Oh! Aku punya ide!" seru Eddy. "Bagaimana jika aku yang menggesek senar untukmu? Seperti yang kita lakukan saat rekaman kemarin!"
Manik gelapnya kembali berkilau setelah mendengar ide tersebut.
Dan sore itu mereka habiskan untuk bermain bersama lebih dari satu komposisi. Mereka menikmati setiap nada yang dihasilkan. Entah kenapa, rasanya saat mereka bermain seperti ini, suara yang mereka hasilkan dua kali lebih bagus dari pada bermain dengan biola masing-masing. Ya, meski kesalahan yang terjadi dua kali lebih banyak dari biasanya.
Meski begitu, ada satu hal yang Brett sadari. Bahwa Eddy adalah tangan kanan terbaik yang pernah ia miliki.
KAMU SEDANG MEMBACA
CRESCENDO [TwoSetViolin Oneshots]
FanficPrompt A-Z TwoSetViolin Oneshots. Prompt U, updated! Ucapan - "Kalau besar nanti... aku ingin menjadi soloist yang hebat!" ucap si bocah berkacamata. #RamaikanTwoSetIndonesia