Justify

297 40 23
                                    

Justify

Sinopsis: "Tolong... biarkan aku menjelaskan..."

==========

Hari itu Eddy mengajaknya untuk pergi ke toko boba baru didekat kampus. Eddy bilang mereka memiliki boba special edition rasa Kopi yang wajib untuk dicicipi. Mendengar kata kopi, Brett menjawab pesan dengan satu emoji—tanda setuju tanpa syarat.

Sepatu ketsnya berdecit tiap kontak dengan lantai. Sepuluh menit lebih awal dari janji mereka.

Kakinya terus melangkah menyusuri koridor—mencari ruangan kombinasi tiga nomor.

Saat manik oniks dibalik lensa kaca mata menemukan angka yang dicari, violinist itu tidak langsung mendobrak pintu kayu.

Dari dalam sana terdengar suara sahabatnya yang tengah bercengkrama dengan dua makhluk lain. Awalnya Brett berniat untuk mengejutkan mereka, namun niat ia urungkan. Berhenti didepan ruangan. Telinga ia pasang, dibuka lebar-lebar. Tidak ada yang bisa terdengar, hanya canda tawa samar.

Karena rasa keingintahuan yang tinggi, Brett tidak sengaja menaruh beban tubuhnya kearah pintu. Automatis, pintu terbuka.

"Apa sih! Aku tidak menyukai Brett! Tidak sama sekali! Amit-amit! Jijik tau!" seru suara yang familiar—Eddy.

Hening.

Brett masih belum dapat mencerna informasi yang masuk barusan.

Empat pasang mata saling tatap-tatapan. Beberapa diantaranya menganga. Eddy membelalak.

Canggung.

"Err... kami duluan ya, Eddy... sampai ketemu besok..." dua orang itu pamit undur diri—kabur sebelum keadaan makin hancur.

"Ak-aku—Brett—tung—"

Lidah Eddy kelu, tiba-tiba gagu.

"A-aku... aku pergi duluan." Ucap Brett singkat tanpa emosi diwajahnya. Sepatu kets kembali melangkah, kali ini tidak tahu kemana.

Eddy yang sadar situasi dan kondisi, merapihkan instrumennya dan buru-buru mengikuti.

Ia harus meluruskan ini atau Brett yang ia kenal tidak akan kembali lagi.

. : o O o : .

Padahal kaki Brett tidak jenjang—langkahnya selalu lebih kecil dibanding dengan Eddy. Namun hari itu Brett selalu dapat mendahului.

"Brett!" panggilnya, tidak digubris.

"Brett tunggu!"

Pria berzodiak aries itu berlari, mengejar sang sahabat. Menarik lengannya—memaksa mata bertemu.

Eddy merutuki dirinya sendiri.

Brett yang sekarang berada dihadapannya tampak begitu mungil dan rapuh. Tatapannya kosong. Terdapat sisa air mata mengalir dipipi, ia seka secara kasar dengan tangan yang bebas. Merasa risih ditatap begitu lama, Brett melepas pegangan tangan Eddy.

"Apa," tanyanya datar.

"Aku—"

"Kau tahu, Eddy?" emosi menyelubunginya. "Kita berteman sejak lama. Kalau kau memang tidak menyukaiku, seharusnya kau bilang saja dari dulu. Aku tidak membutuhkan teman yang bermuka dua."

Bukan—bukan begitu maksudku!

Untung saja lokasi mereka berdiri saat ini tidak memiliki orang yang berlalu lalang. Oleh karena itu Brett berani meninggikan suaranya. Eddy tampak sedang menyusun kata-kata.

Tolong, jangan buat aku berkata hal yang tidak ingin aku katakan.

"Dan kau tahu? Aku juga tidak menyukaimu. Tidak sama sekali. Aku—"

Bibir mungilnya ditutup tangan Eddy.

"Tolong... biarkan aku menjelaskan..." lirihnya. Obsidian tidak memiliki nyali untuk menatap pria dihadapannya.

"Kami sedang bermain jujur atau berani sebelum kau datang. Saat itu giliranku. Dan aku memilih jujur."

Daun-daun kering berjatuhan, angin bertiup perlahan. Satu helai daun kecoklatan jatuh tepat diatas kepala Brett—oleh Eddy disingkirkan.

"Mereka menanyakanku, apakah aku me-menyukaimu atau tidak." semburat kemerahan mewarnai pipinya tipis. "Awalnya kukira suka yang mereka maksud adalah suka sebagai sahabat atau semacamnya. Makanya aku jawab 'iya'. Akan tetapi bukan itu yang mereka maksud. Lebih seperti... suka antar lawan jenis."

Brett masih diam mendengarkan.

"Buru-buru aku berbohong dengan menyangkalnya. Dan pada saat itulah kau tiba-tiba masuk."

Alis tebal mengernyit, merasakan kejanggalan. "Kenapa kau harus berbohong?"

Eddy diam, cukup lama.

Merasa jawaban tidak kunjung datang, Brett balik badan. Melangkah pergi, menjauh. Mengalihkan fokusnya kesesuatu yang lain—apapun! Apapun selain Eddy.

"Karena aku memang menyukaimu."

Jawabannya pelan, namun Brett dapat dengan jelas mendengarnya. Seakan angin membantu menghantarkan kata-kata Eddy kepadanya.

Brett berhenti, lagi. Air mata ia seka, meneguhkan hati. Akan tetapi saat ia berbalik, Eddy tak lagi berdiri menunggunya disana. Eddy juga pergi—Brett tidak mau seperti ini.

Maka dari itu, ia berlari. Berlari bersama angin, mengejar sahabatnya.

Bruk!

Tubuh mungilnya menabrak punggung lebar Eddy. Brett merintih kemudian.

"Bre—"

Brett menarik Eddy kedalam pelukannya. Eddy dibuat tak berkutik.

"Sebentar saja, please."

Senyum simpul terpatri di wajah Eddy. Berbalik, ia lingkarkan lengannya—mendekap sosok yang lebih pendek kedalam pelukannya.

"Maaf, Brett. Telah membuatmu salah paham." Ucapnya, pelukan mengerat.

Brett menggangguk dalam pelukan—pelukan yang rasanya amat panjang.

Dari jauh, mereka berdua terlihat begitu epik—apalagi ditambah efek dramatis daun gugur berjatuhan dan angin lembut menyapu memori buruk.

CRESCENDO [TwoSetViolin Oneshots]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang