Nostalgia
Sinopsis: Mencoba mengingat segalanya sebelum kenangan itu luntur dari ingatan.
Bisa dibilang seperti sequel dari Prompt F, Fragmen.
==========
Cuaca yang cerah menyambut pagi Eddy Chen—meski ia sedikit merutuk ketika netranya dibuat silau oleh cahaya matahari. Burung-burung bersenandung menjadi musik pengiring. Hangat, ceria, dan bahagia. Sungguh suasana yang berbanding terbalik dengan kondisi Eddy—ini adalah pagi yang sial untuknya.
Kabel isi daya ponsel ternyata lupa dicolok ke stop kontak. Alhasil, ponsel lowbatt. Rambut paginya berantakan dan terlihat begitu abstrak—tidak ada niatan sama sekali untuk dirapihkan. Segalanya ia biarkan begitu saja apa adanya.
Kantung mata semakin hari semakin menggelap—mulai terlihat kontras dengan warna kulitnya. Beberapa titik merah mulai menonjol di bagian wajah. Dan saat ia kesal, ia pecahkan begitu saja.
Eddy pikir segalanya tidak dapat menjadi lebih sial lagi. Namun dugaannya salah.
Mesin kopinya rusak—tidak dapat memproduksi secangkir kafein sama sekali. Dan ketika ia beranjak menuju kulkas—mencari bahan makanan yang dapat dikonsumsi untuk sarapan pagi, hanya angin dingin kulkas yang ia dapatkan. Hampa. Kosong melompong. Kapan terakhir kali ia pergi berbelanja kebutuhan makanan?
Akhirnya Eddy memutuskan untuk menguyur tubuhnya—menuju kamar mandi. Membersihkan diri dari segala penyesalan yang menjadi-jadi. Dan setelah mengeringkan tubuh, kini ia geming dihadapan lemari pakaian.
Sisi sebelah kiri terlihat begitu rapih dan terlipat apik—seperti tidak pernah disentuh atau digunakan siapapun sebelumnya. Sedangkan sisi lainnya... begitu berantakan. Bahkan banyak pakaian yang terlihat kusut belum disetrika. Eddy mengambil acak kaos yang ada disana dan ia padukan dengan celana jeans robek-robek kesukaannya.
Kaos putih dengan tulisan practice ala-ala membalut tubuh. Eddy menatap cermin sedikit lama. Membayangkan sosok lain yang juga sering menggunakan kaos ini—kembaran dengannya. Saat Eddy merasa dadanya ngilu, buru-buru ia enyahkan banyangan itu.
Setelah mengambil jaket denim dari gantungan, Eddy bergegas menuju restoran terdekat untuk mengisi perutnya.
. : o O o : .
Eddy merutuk saat melihat papan bertuliskan 'tutup' menghias pintu masuk restoran yang biasa ia datangi. Perut masih keroncongan—minta diberi mangsa. Pria itu memutuskan untuk pergi menuju kafe terdekat untuk membeli secangkir kopi. Bibirnya kembali merutuk kelitika melihat antrean yang begitu panjang di starbooks. Setelah membuang waktu yang cukup lama, secangkir kopi dengan penuh krimer lah yang ia dapatkan. Emosi ia tahan—dengusan panjang yang orang-orang dapatkan.
Suara gemuruh perut setia menemani tiap langkahnya. Hanya ada dua restoran yang berada di dekat blok rumahnya—satu diantaranya tutup dan yang lainnya sangat ingin Eddy hindari. Tapi apa boleh buat? Perut yang keroncongan memenangkan ronde ini. Mau tak mau kakinya berubah haluan menuju restoran.
Baru mengijakkan kaki di pintu masuk, maniknya mendapati seseorang yang ia kenal.
"Oh! Hai Eddy!" sapa seorang pelayan ramah.
Eddy tersenyum hambar sebagai jawaban. Melihat sosok yang absen, pelayan itu kembali bertanya.
"Dimana Brett? Kok tidak ikut bersamamu?"
Ada jeda sebelum ia menjawab. Tangannya mengepal—tubuhnya sedikit bergetar. Air muka berubah, namun pertanyaan itu tidak ia gubris. Seutas senyum simpul yang ia berikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
CRESCENDO [TwoSetViolin Oneshots]
FanfictionPrompt A-Z TwoSetViolin Oneshots. Prompt U, updated! Ucapan - "Kalau besar nanti... aku ingin menjadi soloist yang hebat!" ucap si bocah berkacamata. #RamaikanTwoSetIndonesia