Menunggu

292 41 26
                                    

Menunggu

Sinopsis: Kini Eddy yakin, penantiannya akan menjadi sangat lama—karena ia menunggu seseorang yang tak akan pernah kembali padanya.


==========

Jam menunjukkan pukul lima pagi dan kombo Brett-Eddy sudah dalam kondisi prima—siap berangkat. Melihat mereka berdua dapat bangun pagi tanpa harus bergelut dengan tombol tunda di ponsel masing-masing merupakan pemandangan yang langka.

Setelah sarapan seadanya dan membeli kopi di kafe terdekat, Brett dan Eddy mengganti destinasi menuju bandara. Meski masih tergolong amat pagi, langit terlihat mendung—gulungan awan gelap seakan menghalangi matahari untuk unjuk gigi.

"Sepertinya akan turun hujan," ucap Brett membuka pembicaraan.

Eddy—yang sedang mengemudi—menggumam sebagai jawaban.

Merasakan intonasi yang berbeda dari sahabatnya, Brett mendesah panjang.

"Aku tak akan lama."

"Ya."

"Aku akan menghubungimu tiap malam."

"Ya."

"Malam setelah konser selesai aku akan langsung pulang."

Ada jeda sebelum Eddy menjawab.

"Kau tak perlu buru-buru, Brett. Bersenang-senanglah disana. Aku akan menunggu." Ucap Eddy tanpa melirik lawan bicaranya.

"Kau membuatku sulit untuk pergi, tahu."

"Ya."

Brett mendengus.

"Tunggu aku."

Satu gumaman kembali mengudara sebagai jawaban, hening kemudian.

. : o O o : .

Pukul enam lewat lima belas. Meski begitu, suasana di bandara cukup ramai. Banyak manusia yang berlalu-lalang menarik koper. Datang dan pergi. Termasuk salah satu dari duo violinist ini.

"Hati-hati." Ucap Eddy singkat kemudian melepas pelukan.

"Ya. Kau jaga diri."

"Mohon perhatian. Para penumpang pesawat Qatar Airways dengan nomor penerbangan QR0905 tujuan New York—"

"Welp, itu panggilanku. Sampai jumpa, Eddy." Ucapnya kemudian melangkah menjauhi Eddy.

Disisi lain, manik obsidian hanya bisa menatap punggung mungil sahabatnya menjauh dan hilang dibelokan.

Sesaat sebelum Eddy ikut berpaling dan pulang, ponsel di kantung celananya bergetar—sebuah notifikasi pesan.

Dari: Bretty Bang

Aku akan merindukanmu.

. : o O o : .

Sebetulnya pagi itu Eddy memiliki firasat buruk. Dimulai dari roti yang ia panggang gosong sampai rem yang mendadak sedikit blong. Namun cepat-cepat pikiran itu ia enyahkan.

Sesampainya di rumah, Eddy terduduk di sofa. Rumah terasa sunyi tanpa ada suara biola yang mengisi pagi—biasanya Brett-lah yang latihan duluan, membangunkannya dari tidur cantik.

Melirik ponsel, belum ada balasan baru dari pesan yang ia kirim. Mungkin sudah boarding, pikir Eddy.

Jam menunjukkan pukul delapan dan langit tidak kunjung membiarkan sang surya untuk menyinari bumi. Perlahan tapi pasti, rintik hujan mulai terdengar. Beberapa menit kemudian hujan berubah menjadi deras—sesekali terdengar suara guntur yang menggelegar. Sungguh waktu yang tepat untuk berlatih (derasnya hujan dapat meredam nada yang diciptakan agar tidak menganggu tetangga).

Namun Eddy melakukan hal sebaliknya. Membiarkan biolanya terkunci didalam kotak dan kembali rebahan diatas kasur—kembali memejamkan mata, tidur.

. : o O o : .

Manik obsidian membelalak. Terbangun dari tidurnya akibat gemuruh yang teramat keras. Tangan menggapai ponsel yang tergeletak diatas nakas—jam dua siang.

Duduk dipinggiran kasur, kepalanya mendadak pusing. Terlalu lama tidur sepertinya.

Masih belum ada notifikasi baru dari Brett. Jemari Eddy bolak-balik menyentuh media sosial, mencoba menghabiskan waktu. Instagram-snapchat-twitter-facebook-instagram-snapchat-twitter-facebook. Namun belum sampai setengah jam, Eddy sudah bosan.

Hujan deras menjaganya dari berpergian dan seakan mendukungnya untuk latihan. Seketika bayangan Brett menghantuinya.

'Saat aku pergi, jangan lupa latihan empat puluh jam sehari, ya. Ling-ling mengawasimu.'

"Ya... aku tidak punya hal lain untuk dilakukan juga sih."

Alhasil Eddy beranjak menuju ruang latihan. Mengambil biolanya dan mulai berlatih. Menghabiskan waktu sambil ditemani derasnya hujan.

Setiap lima menit sekali, maniknya selalu melirik ponsel yang tergeletak diatas piano.

Dan tanpa ia sadari, jam menunjukkan pukul sembilan malam.

. : o O o : .

Latihannya berhenti ketika ponselnya berdering—Eddy kaget tiba-tiba sudah malam. Ini adalah rekor terlamanya latihan. 

Kembali melirik ponsel, nama seorang teman yang tidak asing muncul. Ada sedikit raut kecewa dimukanya setelah mengetahui penelepon bukanlah yang ia tunggu-tunggu sedari tadi. Ibu jarinya menekan tombol hijau, menjawab telepon.

"Halo—"

"Eddy kau harus lihat televisi sekarang juga!" ucap suara diseberang, terdengar panik.

"Ada apa—"

"CEPAT!"

Tanpa pikir panjang Eddy beranjak dari posisi. Suara langkah kaki menggema disepanjang lorong—ialah penyebabnya. Pria berumur dua puluh enam tahun itu menyalakan televisi sesuai perintah dan disuguhkan saluran yang tengah menyiarkan berita.

Matanya masih mencerna informasi yang tertulis disana.

Tim SAR Evakuasi 157 Korban Tewas Qatar Airways QR0905.

"Halo? Eddy? Halo—" sambungan ia putus sepihak. 

Aplikasi pencari ia buka secepat kilat. Buru-buru jarinya mengetik—mencari artikel yang memuat nama-nama korban tewas dari berita yang baru saja ia lihat.

Mencari sebuah nama yang ia kenal—berharap hasilnya nihil. Namun disaat jemarinya berhenti menggulir laman, pandangannya terhenti pada satu titik—satu nama.

Kini Eddy yakin, penantiannya akan menjadi sangat lama—karena ia menunggu seseorang yang tak akan pernah kembali padanya.

Ariel Arnulf

Jack Long

Kenya Bowler

Brett Yang

Modred Richard

Corrina Alexandra


==========

K/n:
Ok ini klise banget. Yaudah lah ya :(( wkwk yang penting eddy tersiksa (((eh))). 
Maafkan alur yang agak cepat ini ya gais. Efek wb :(( 

Btw, writing streak Kyuu putus sehari dong huhu :( //yha


CRESCENDO [TwoSetViolin Oneshots]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang