Ucapan
Sinopsis: "Kalau besar nanti... aku ingin menjadi soloist yang hebat!" ucap si bocah berkacamata.
==========
Semburat jingga mulai mewarnai langit, gradasi warna oranye terlihat apik—membuat siapapun yang melihat ingin terus memandang. Menampilkan pemandangan indah, memanjakan mata.
Hari sudah senja.
Dua bocah tengah berlari—tampak sedang bermain kejar-kejaran. Terlalu fokus, melupakan fakta bahwa hari sudah menjelang malam. Mereka harus pulang.
Yang tengah dikejar tersandung, menyebabkan bocah satunya memekik—buru-buru mendatangi sosok yang terjatuh diatas rerumputan. Kedua tangan mungilnya menutupi mulut, maniknya menatap cemas.
Bocah berkacamata, yang terjatuh, mengisaratkan temannya untuk ikut berbaring disebelahnya. Secara tidak langsung mengatakan bahwa ia tidak apa-apa.
Suara detak jantung terdengar samar. Napas kedua anak adam masih tak karuan akibat terlalu lama berlari. Keduanya menatap langit tanpa mengatakan sepatah kata apapun. Membiarkan tubuh untuk beristirahat sejenak, hingga salah satu diantara mereka berceletuk.
"Kalau besar nanti... aku ingin menjadi soloist yang hebat!" ucap si bocah berkacamata.
Tangan mungilnya terangkat, menggapai langit diatasnya—membayangkan angin kosong adalah mimpi-mimpi yang kelak akan diwujudkan. Seakan yakin bisa menjadikannya kenyataan.
"...Bukan. Aku pasti akan menjadi soloist yang hebat!"
Tepat disampingnya, bocah lain yang agak sedikit lebih tinggi menatap kearahnya. Mengamati manik oniks yang tampak memancarkan keyakinan, keteguhan dan harapan.
Tangannya mengepal, membulatkan tekad.
Dan semenjak hari itu, Eddy Chen tahu persis mimpi apa yang harus ia kejar.
. : o O o : .
Siapa yang tidak kenal Brett Yang? Semua orang di ranah musik klasik tahu nama itu. Semenjak seisi aula digemparkan dengan debut solo-nya memainkan salah satu gubahan Tchaikovsky ditahun 2012, bisikan demi bisikan mulai terdengar. Bermula dari mulut ke mulut kemudian menyebar melalui banyak media. Dan kini, Brett Yang termasuk kedalam jejeran violinist ternama.
Jika menyebut nama Brett Yang, maka jangan lupakan sosok pria satunya yang selalu hadir dibangku nomor satu sebagai concert master ditiap konsernya. Eddy Chen. Nampaknya kedua violinist ini tak pernah bisa dipisahkan bahkan diatas panggung pertunjukan.
Hari ini adalah gladi kotor untuk konser solo Brett yang digelar di Sydney Opera House. Banyak orang-orang ternama yang rela jauh-jauh datang dari benua lain hanya untuk menonton dirinya. Hal ini tentu saja memberikan tekanan hebat untuk Brett.
Sudah dua jam berlalu sejak latihan mereka dimulai dan alis tebal Brett masih terus bertautan.
Ada yang aneh. Ada yang kurang. Ada yang tidak pas! Projection! Terdengar banyak nada sumbang dari viola section. Dan masih banyak keluhan lainnya dilontarkan dari bibir ranumnya.
Hal ini tidak seperti Brett yang biasanya.
Semua orang menghela napas panjang. Meringis dalam hati mendapati solis mereka begitu ketat hari ini.
Melihat kondisi seperti ini Eddy tidak bisa hanya diam dan mendengar. Sebagai concert master yang budiman, ia pun angkat bicara.
"Brett, sepertinya kita butuh istirahat. Dari tadi kita terus—"
"Dan kau! Apa-apaan dengan permainanmu? Kau sadar suaramu terdengar ampas? Kau terdengar seperti viola—tidak, bahkan viola terdengar lebih bagus dibanding permainanmu hari ini—"
Brett terdiam sesaat melihat kilatan kekecewaan dimanik sahabatnya.
"Ikut aku."
Eddy menarik tangan Brett, menjauh dari kerumunan. Meninggalkan sejuta pertanyaan kepada penonton yang sedari tadi asyik menyaksikan.
. : o O o : .
"Kau kenapa sih? Biasanya kesalahan kecil tak pernah kau gubris? Tapi hari ini semua hal kecil kau permasalahkan. Ada apa?"
"Yah, kalau saja si 'mr. Perfect Pitch' tidak melakukan kesalahan fatal seperti memainkan nada yang tidak seharusnya mungkin latihan kali ini akan berjalan lancar saja."
Kini alis Eddy yang berkerut.
"Wtf, bro. Jariku terpeleset akibat keringat—" ucapanya tak jadi diselesaikan saat melihat Brett yang memutarkan mata. "Apa-apaan, sih? Lagian itu hal sepele, kali. Padahal biasanya aku yang perfeksionis. Tapi kenapa sekarang kau malah ambil pekerjaanku?"
"Hah? Hal sepele? Jika kau melakukan kesalahan yang sama disaat aku tampil nanti bagaimana, hah?" ucapnya naik darah.
Brett menghela napas panjang sebelum mengucapkan sepatah kalimat lagi. "Awas saja kalau kau melakukan hal yang sama atau yang lebih parah dari itu. Kau akan ku—"
Sebelum Brett menyelesaikan kalimatnya, tangan kanan Eddy sudah lebih dulu mengunci pergerakan sahabatnya—meletakkan tangannya pada tembok persis disebelah kepala Brett. Jarak diantara mereka saat ini hanyalah dua jengkal. Manik obsidisan menatap tajam namun sedikit... nakal? Brett dapat merasakan napas Eddy menyapu kulitnya.
"Akan kau apakan?" ujung bibirnya tertarik—menyeringai.
Brett.exe is not responding.
"Lu-lupakan!" Brett menyingkirkan tangan Eddy dari hadapannya.
"Ayo kembali. Yang lain pasti sudah menunggu." Ucapnya berusaha sedatar mungkin.
Kemudian ia berbalik ke arah panggung. Menginggalkan Eddy yang menatap punggung mungilnya sambil berkata dalam hati; 'lucunya'.
Namun ada satu hal yang Eddy tidak sadari.
Fakta bahwa disaat Brett balik badan, wajah sang solis seketika memerah seperti kepiting rebus setelah dibegitukan olehnya.
==========
K/n
Yak kali ini Kyuu gak bakal banyak bacot, tapi Kyuu mau berterimakasih kepada mba /nitadev_7994/ karena berkatnya prompt ini bisa diluncurkan hari ini yaay XD //celebrett//
KAMU SEDANG MEMBACA
CRESCENDO [TwoSetViolin Oneshots]
Fiksi PenggemarPrompt A-Z TwoSetViolin Oneshots. Prompt U, updated! Ucapan - "Kalau besar nanti... aku ingin menjadi soloist yang hebat!" ucap si bocah berkacamata. #RamaikanTwoSetIndonesia