3

902 157 14
                                    

Yeah, wish that I could do it again,
Turnin' back the time
Back when you were mine

Kak Tesurou lagi-lagi menegurku hari ini.

Kami bukan tipe adik-kakak yang sering bertengkar, justru sebaliknya. Sangat terbuka satu sama lain, ia bahkan sempat meminta saran kepadaku saat salah satu teman klub-nya berkata akan berhenti bermain Voli.

"Nanti kita main lagi aja ke Miyagi."

"Nggak mau, ngapain."

"Katanya kangen?"

"Aku nggak bilang kangen!"

"Emang nggak bilang, tapi keliatan."

Sial, memang. Sifat terlalu peka milik Kak Tetsurou terkadang merepotkan.

"Apa sih yang bikin kamu susah lupain dia?"

Aku diam. Tak mau menjawab karena enggan mengingat-ingat.

"Kita pindah udah hampir dua tahun. Malah semester depan kamu udah masuk SMA."

Aku tersenyum miris, "dia tuh orangnya susah banget mengungkapkan perasaan lewat perkataan."

Kak Tetsurou menatap penasaran menunggu lanjutan apa yang sebelumnya aku ucapkan.

"Aku awalnya nggak suka. Dia kayak stalker, ngikutin kemana-mana sambil melototin."

"Hah? Serius?"

"Iya!" Aku mengangguk keras.

"Tapi salah satu temen aku yang juga temennya dia bilang dia suka aku. Aku bingung dong, kok bisa? Aku murid yang biasa aja."

'Nggak, kamu tuh pinter. Sama pinternya kayak Kakak.' Kuroo menyangkal dalam pikiran.

"Terus katanya dia suka aku karena aku pinter."

'Nahkan.'

"Tapi aku perhatiin lama-lama dia gemesin juga, apa-apa harus ditanya kalau nggak dia bakal diem seharian."

"Itu namanya bego."

"Nggaaak!" Aku tertawa ringan, "dia bilang takut salah ngomong. Soalnya temen sekelas dia sering ngatain bego, dia nggak peduli. Beda cerita kalau aku yang ngatain bego. Dia bakal sakit hati
karena dikatain sama cewek yang dia suka."

"Wow. He tried his best to not look like a fool in front of you."

"Indeed."

Setiap orang punya cara masing-masing untuk mengurangi rasa sakit hati dari apa yang terjadi di masa lalu 'kan?

Aku juga begitu.

Kalau orang lain memilih mengingat kembali sambil mendengarkan lagu yang liriknya menyayat hati, aku lebih senang bercerita dengan seseorang agar bebanku agak berkurang.

Dulu aku sering bercerita kepada Tobio, meskipun responnya hanya mengangguk-angguk seraya sesekali bergumam.

Aku selalu bercerita tentang betapa panjangnya hari terasa. Perasaan lelah karena banyak orang menaruh ekspektasi berlebih, aku tak diizinkan sedetik saja menjadi lengah. Kalau gagal karena tak sanggup melaksanakan kewajiban dikata lemah.

Semuanya sama saja. Guru, teman, orang tua, untung Kak Tetsurou tidak. Aku berkata padanya bahwa aku tak suka disebut pintar, masih banyak pertanyaan-pertanyaan yang berputar di kepalaku setiap hari. Setelah berkata begitu ia tak pernah menyebutku pintar lagi.

Menyenangkan 'kan? Memiliki seseorang yang mengerti diri. Mendengarkan saat dibutuhkan, memberi saran tanpa menggurui.

Kamu disana apa kabar, Tobio?

Apa kamu punya seseorang yang bisa dijadikan sandaran saat beban yang kamu punya sudah tak tertahan?

Apa kamu punya tempat bercerita kalau-kalau rasa sudah tak bisa ditahan?

Apa kamu menemukan badan hangat yang selalu bisa kamu peluk setiap saat suasana hatimu terasa pelik?

Semoga ada. Kuharap kamu selalu bahagia.

Berapa kalipun aku mencoba, jawabannya akan tetap sama.

Aku masih merasa memilikimu, secukupnya. Bagian dari dirimu masih ada, meskipun hanya sebatas kenangan yang ada dalam kepala.

(all mine)

 heartache. | tobioTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang