Part 4

2.3K 140 13
                                    

Sebelum baca, yuk sedekah dengab vote tiulisan ini! 😄

      Hening. Sudah sepuluh menit berlalu, tapi suasana masih mencekam. Raut wajah Hanif yang tidak bersahabat membuat Hanifa merasa bersalah. Jika saja dia menolak tawaran Azmi, mungkin kejadiannya tidak seperti ini.

“Kenapa kamu bisa bersama adik saya?” tanya Hanif tajam.

“Em, Kak. Biar Nifa yang jelaskan,” jawab Hanifa.

Hanif menatap tajam sang adik. Di sisi lain, Azmi bersikap tenang.

“Saya akan jelaskan semuanya, Pak. Em, tadi kebetulan kami bertemu di sekolah. Saya melihat seorang laki-laki menyakiti Hanifa. Dia mencengkeram tangan Hanifa sampai memerah.”

Mendengar pernyataan Azmi, Hanif langsung menghampiri Hanifa yang duduk diseberangnya. Sang Kakak menggeram melihat pergelangan Hanifa memerah. Rahangnya mengeras. Sorot mata memgintimidasi dia berikan kepada Azmi.

“Siapa yang melakukan ini kepada adikku?!”

Azmi nampak kaget. Melihat dosen yang terkenal dingin dan tenang, tiba-tiba berubah drastis.

“Kak, tenang!” seru Arumi tiba-tiba datang.

Diusapnya tangan Hanif, mencoba meredam emosi yang mulai naik. Hanif menghempaskan diri di kursi. Diusapnya wajah dengan kasar.

“Kakak sudah bilang, jangan berhubungan lagi dengannya, “ ujar Hanif frustasi.

Hanifa mulai terisak. Arumi yang mengerti situasi pun langsung mendekap adik iparnya.

“Aku yakin, Nifa tidak seperti itu. Coba dengarkan dulu penjelasan mereka,” tutur Arumi menengahi.

Diliriknya Azmi yang setia membisu. Raut wajah Hanif berubah, matanya meredup.

“Apa kamu melihat kejadian itu langsung, Azmi?”

“Saya tidak tahu detail kejadiannya. Hanya saja, saya melihat laki-laki itu mencengkeram tangan Hanifa sampai dia meringis kesakitan.”

Hanifa masih terisak, ada rasa takut dan bersalah menghinggapi hati.

“Kak, Nifa benar-benat tidak ada hubungan lagi dengannya. Dia yang mengejar Nifa dan meminta balikan. Sudah ditolak, tapi masih nekat menyakiti Nifa. Sungguh, Kak,” tutur Hanifa.

Hanif menghela mafas berat. Beban pikiran bertambah, permasalahan Hanifa dan sang mantan tidak semudah dugaannya. Dia beranggapan mereka hanya terjebak romansa cinta monyet. Tapi, semua semakin rumit. Bisa saja laki-laki yang terus mengejar adiknya berbuat nekat. Dia tidak mungkin mengawasi Hanifa 24 jam, sedangkan aktivitasnya cukup padat. Apalagi statusnya adalah suami, ada kewajiban yang harus di tunaikan.

“Kakak juga bingung. Mantanmu pasti akan melakukan hal nekat lebih dari ini. Tapi, Kakak tidak mungkin mengawasimu 24 jam, “ ujar Hanif frustasi.

Hening. Mereka berpikir keras mencari jalan keluar dari masalah ini. Hingga, seseorang berani mengungkapkan niat yang membuat Hanif bimbang.

“Kalau begitu biar saya yang jaga Hanifa,” ucap Azmi tiba-tiba.

Semua mata tertuju kepadanya.

“Caranya?” tanya Arumi dan Hanif serempak.

Hanifa yang sudah mengerti arah pembicaraan hanya terdiam. Dia bingung harus berkata apa, sedangkan posisinya sekarang seperti buah simalakama.

“Saya akan menikahi Hanifa,” ucap Azmi mantap.

“Apa?! “ tanya Hanif sontak berdiri.

***
“Aku tidak bisa, Arumi,” gumam Hanif lemah.

“Kenapa?”

“Ya, tidak bisa saja.”

“Jawaban macam apa itu? Kakak mau Nifa di ganggu lagi?”

Hanif mendelik.
“Tentu tidak, Arumi.”

“Kalau begitu, ijinkan mereka menikah,” ujar Arumi.

“Tidak bisa!” seru Hanif bersikukuh.

“Kenapa?”

“Pokoknya tidak bisa.”

Arumi berdecak. Kadang, dia merasa jengkel dengan sipat Hanif yang keras kepala.
“Beri aku alasannya.”

Hanif terdiam beberapa saat. Dia menghela nafas dan memijit pelipisnya.

“Karena Azmi pernah menaruh rasa kepadamu. Aku tidak mau ada cinta yang bersemi kembali,” tutur Hanif berterus terang.

Arumi mulai mengerti. Suaminya tipe pencemburu, tidak heran jika dia menolak keras kedatangan Azmi. Terlebih jika dia masuk menjadi bagian keluarganya.

“Kak, kalau Kakak berpikir begitu berarti Kak Hanif meragukanku,” ucap arumi seraya memegang tangan sang suami.

“Arumi, aku percaya kepadamu. Tapi, Azmi? Kita tidak tahu perasaannya saat ini.”

“Kak, kita tidak tahu kalau tidak mencoba memberinya kesempatan,” ujar Arumi.

Hanif mengernyit.
“Maksudmu?”

“Beri mereka waktu satu bulan. Anggap itu proses ta’aruf. Jika mereka cocok, biarkan mereka menikah. Toh, bulan depan usia Nifa genap 18 tahun.”

“Tapi, dia terlalu muda untuk menikah, “ ujar Hanif khawatir.

“Tidak ada yang menjamin usia matang sukses dalam berumah tangga, Kak. Rumah tangga bahagia itu, bagaimana mereka menjalaninya.”

Hanif terdiam, pikirannya berkecamuk. Haruskah dia memberikan estafet tanggung jawab kepada orang lain di usia Hanifa yang masih belia.

***

“Ini Kak,” ucap Hanifa menyodorkan baju yang tempo hari terkena tumpahan sirup.

“Terima kasih. Bagaimana pergelangan tanganmu?”

“Sudah baikan. Em, Kak?”

“Iya?”

“Apakah yang Kakak ucapkan kemarin itu benar?”

Azmi membisu. Dia mengerti maksud pertanyaan Hanifa. Hatinya memang belum bisa mencintai, hanya saja ada rasa ingin melindungi. Baru sebatas itu. Untuk kedepannya, siapa yang tahu? Bukankah yang bisa membolak-balikkan hati hanya Sang Pencipta? Jadi, biarkan semua mengalir apa adanya.

***

Oh, hai... Ketemu lagi dengan Mahmud kece cetar membahana 😅

Gimana? Udah mulai dapet greget nya kan? Iya kan? Iya dong?

Semoga puasanya lancar dan barokah. Jangan lupa tadarus ya! 😄

Ditunggu kritik dan sarannya 🙏
Salam hangat dari Mahmud ❤

Menikah Muda #Wattys2019 [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang