Part 28

2.2K 132 35
                                    

Sebelum baca, yuk sedekah! Vote tulisan ini dengan menekan bintang di ujung bawah sebelah kiri. Hatur nuhun ❤

BAB 28
Salah Paham

       Aku masih diam, bergelut dengan pemikiran sendiri. Mencari cara untuk menjelaskan tentang Kak Ardi tanpa membuatnya salah paham.
 

   Aku menoleh padanya yang masih setia memelukku dari samping. Menatap langit-langit kamar, mencoba mencari sesuatu yang bisa mengalihkan pembicaraan.
       "Katakan," ucapnya masih setia memelukku.
       Aku mengunci mulut. Kata-kata yang hendak keluar tercekat di tenggorokan.
       "Apa yang kamu lakukan di rumah polisi tersebut?" tanyanya lagi menambah daftar kebingungan yang berjejer di benak.
       Dari mana dia tahu kalau Kak Ardi seorang polisi? Lalu, kenapa nada bicaranya aneh sekali? Seperti sedang menahan sesuatu.
       "Kenapa tidak dijawab?" Kembali terlotar pertanyaan, membuat rasa takut datang tiba-tiba.
       Dia melepas pelukan seraya duduk di kasur, menghadap kepadaku yang masih setia berbaring.
       "Aku butuh penjelasan!" serunya dengan tatapan tajam.
       Bulu kudukku meremang mendapat tatapan tajam seperti sekarang. Ini lebih menyeramkan dibanding menonton film horor.
       Beberapa kali pengalaman bertengkar dengannya, belum pernah aku dapati tatapan seperti sekarang. Ck, bertengkar saja bangga. Aneh.
       Aku menghembuskan napas pelan, mencoba menenangkan diri. Tidak bisa menghindar lagi, lambat laun kebenaran akan terungkap. Sebelum Kak Azmi tahu dari orang lain, sebaiknya aku yang memberitahunya.
       "Kak, Nifa menginap di rumah Kak Ardi. Karena, saat itu tidak tahu harus pergi kemana. Kebetulan, Kak Ardi lewat. Dia menawarkan bantuan dan ...."
       "Dan kamu menerimanya tanpa memberitahu polisi itu tentang statusmu sebagai perempuan yang telah bersuami, begitu?" tanyanya, memotong penjelasanku.
       Aku bangkit dan duduk berhadapan dengan Kak Azmi. Menatap matanya yang memancarkan sorot amarah. Namun, kata-kata yang terlontar dari mulut Kak Azmi jauh dari raut wajahnya sekarang.
       "Maaf," cicitku, takut jika emosinya meledak sewaktu-waktu.
       Kak Azmi tidak mengatakan apupun lagi. Dia hanya menatapku, datar. Aku tidak tahu apa yang ada di pikirannya, tapi rasa khawatir menyusup relung hati. Apakah dia marah? Lalu, kenapa berekspresi seperti sekarang?
       "Kak, maafkan Nifa. Tapi, waktu itu tidak ada pilihan lain. Maaf," lirihku, menunduk.
       Kak Azmi membisu, tidak ada pergerakan sama sekali. Aku semakin takut, apalagi jika sudah diam begini, membuatku serba salah.
      "Kamu sudah dewasa. Harusnya tahu, jika tinggal bersama laki-laki yang bukan mukhrim itu perbuatan tidak benar. Terlebih tanpa izin dariku. Aku kecewa," tuturnya tiba-tiba setelah cukup lama saling berdiam diri.
       Aku sontak mendongkak, nanatapnya. Ada kekecewaan di sorot mata Kak Azmi. Rasa takut, bersalah dan sedih bercampur menambah lengkap kekhawatiranku.
       "Kak, tidak seperti yang Kakak pikirkan. Dengarkan dulu!" seruku, mengenggam tangannya.
       Kak Azmi diam, tapi dia memalingkan wajah. Enggan menatapku yang sudah sangat ketakutan akan kelanjutan pembicaraan ini.
       "Kak, tidak ada yang terjadi di antara kami. Sungguh, bahkan aku mengurung diri di kamar. Saat Kakak menemukanku di club tempo hari, itu karena aku kabur dari Kak Ardi. Dia mau mengantarkanku ke rumah Kak Hanif. Sayangnya, di perjalanan aku bertemu dengan Aris dan dia memaksaku masuk ke club. Sungguh Kak, aku berbicara jujur." Aku menjelaskan semua dengan cepat, seperti kereta api yang melintasi batasan antara jalan raya dan relnya.
       Kak Azmi mentapku, seperti mencari kebenaran dari sorot mataku.
       "Ada siapa saja di rumah polisi itu?" tanyanya lagi, membuatku menahan napas.
       Firasat buruk benar-benar sudah memenuhi hatiku. Aku menatap matanya, mencoba meminta kepercayaan terhadapku. Namun, tidak kutemukan. Hanya ada kekecewaan dan rasa ingin tahu yang belum terjawab.
       Aku menunduk seraya memejamkan mata. Harus siap dengan segala kemungkinan. Bagaimanapun kondisi saat ini, tetap harus jujur.
       "Hanya ada aku dan Kak Ardi," jawabku, lirih.
       Tangan yang kugenggam tiba-tiba dilepas paksa olehnya. Dia berdiri, pergi meninggalkanku sendiri tanpa mengucapkan sepatah kata.
       Aku memejamkan mata. Sesak dan rasa lain bercampur aduk berhasil menghadirkan bulir bening yang menyeruak melalui sela-sela mata. Semua salahku, maaf.

Menikah Muda #Wattys2019 [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang