Part 15

2K 123 3
                                    

Sebelum baca, yuk sedekah! Vote tulisan ini. Hatur nuhun ❤

Lega rasanya, setelah satu jam berada di jalanan yang macet. Kini kami sudah berada di bandara, menunggu kedatangan Kak Hanif dan Kak Arumi.

Bu Nani dan Pak Imron asik mengobrol, sedangkan aku dan Kak Azmi hanya saling berdiam diri. Kikuk rasanya, waktu bergitu lama berputar jika hanya saling diam seperti sekarang.

Kuedarkan pandangan ke segala penjuru tempat ini, membunuh rasa bosan yang mulai melanda. Pertanyaan mulai bermunculan di benakku, tentang reaksi Kak Hanif menanggapi kabar mendadak tentang pernikahan adiknya. Huft, kenapa menikah saja harus sepusing ini sih?

"Nifa," sapa Kak Azmi yang terdengar seperti gumaman.

Aku menoleh, mencoba memperjelas pendengaran. Kak Azmi pun sama, kami saling pandang.

"Bisa kita bicara sebentar?" tanyanya membuatku tersadar.

"Iya, katakan saja, Kak." Aku memutus pandangan darinya, mengontrol debar dada yang kian merajalela.

"Jika Kakakmu bertanya tentang keseriusan, tolong katakan iya. Agar pernikahan kita lancar," tuturnya membuatku tercengang.

Lama-lama sipatnya sama seperti si bocah tua. Ingin rasanya berteriak atau memaki Kak Azmi, tapi diriku yang lemah tak kuasa berbuat begitu.

"Itu Nak Hanif!" seru Bu Nani membuat aku dan Kak Azmi mencari sosok yang dimaksud.

Nyaliku ciut saat melihat sang Kakak berjalan seperti terburu-buru, bahkan istrinya harus berlari kecil menyusul langkah kakinya. Aku yakin, dia pasti marah.

"Bagaimana perjalanannya, Nak Hanif?" tanya Pak Imron setelah Kak Hanif tiba di depan kami.

Ujung bibirnya tertarik ke atas. Ck, senyum palsu. Ternyata bisa menahan emosi juga.

"Perjalanan yang cukup menyenangkan, Pak. Ada beberapa urusan yang belum selesai, tapi bagaimana lagi. Ternyata calon pengantinnya sudah tidak sabaran," jawabnya panjang lebar, menekan kata 'calon pengantinnya' seraya menatapku tajam.

Jariku saling bertauatan dan menunduk, takut. Si bocah tua pasti akan memberikan banyak pertanyaan, tentunya menyudutkanku. Pandangan kualihkan kepada Kakak ipar, Arumi. Senyumannya menghangatkan hati yang dirundung kalut. Ya, aku masih punya ia yang selalu mendukungku.

"Sebelumnya, bolehkah saya berbicara empat mata dengan Azmi, Pak?" pinta Kak Hanif membuatku tercengang.

Bu Nani dan Pak Imron saling pandang, lalu sedetik kemudian Ayah calon suamiku mengabulkan permintaan Kak Hanif.

Kakak dan calon suamiku menjauh beberapa meter. Sepertinya pembicaraan serius, terlihat dari mimik wajah Kak Azmi saat berbicara dengan si bocah tua. Ingin rasanya berada diantara mereka, mendengarkan percakapan yang membuat hati tidak karuan.

"Tenang, semua akan baik-baik saja," ujar Kak Arumi mengusap pundakku. Aku tersenyum menanggapinya. Kalau saja ia ada di posisi gadis remaja sepertiku, mungkin akan sama risau menghadapi pernikahan yang serba mendadak.

Sepuluh menit kemudian, Kak Hanif datang diikuti calon suamiku. Wajahnya terlihat tenang, tidak ada gurat kesal atau marah lagi. Aku bernapas lega.

"Pak Imron, bagaimana kalau besok saja ijab kabulnya?"

Deg. Seketika debar jantung lebih cepat, telapak tangan dingin dengan kaki yang serasa membatu. Seperti terperangkap di dalam labirin, tidak berujung dan sulit menemukan jalan keluar.

Ekor mataku melirik laki-laki yang besok akan menikahiku. Wajahnya datar, tanpa ekspresi. Tenang, tapi membunuh hati yang dipenuhi kemelut rasa tak menentu. Muhammad Azmi Haidar, aku benci dirinya!

Menikah Muda #Wattys2019 [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang