Part 11

2K 117 2
                                    

Azmi PoV

       Aku membeku, menatap perempuan yang memandang benci. Iya, sorot matanya jelas mengisyaratkan kebencian. Hanifa, calon istriku. Apa yang harus aku katakan padanya? Sedangkan posisi diriku sangat sulit.

"Kamu ngapain disini?" tanya Siska dengan tangan yang setia menggelayut.

Dia nambak kikuk, wajahnya bersemu merah. Aku yakini dia marah, atau tidak malu. Sebut saja laki-laki brengsek, memang pantas untukku.

"Em, a-anu. Lagi hunting buku, Kak," jawabnya terbata.

Pandanganku tidak lepas darinya. Inginku rangkul tangannya, mengajak dia berbicara. Mencoba menjelaskan situasi yanga terjadi. Tapi, untuk saat ini tidak bisa. Doaku hanya satu, semoga pernikahan ini tetap berjalan. Aku sudah berjanji, ketika Hanifa berstatus istri, akan aku ceritakan semuanya.

"Oh gitu, sendiri?" tanya Siska lagi.

Belum sempat menjawab, seorang perempuan seumuran Hanifa menghampirinya.

"Eh, udah bel-um?" pertanyaannya tersendat kala matanya menangkap keberadaan aku dan Siska.

"Sama teman, Kak. Oh iya, saya permisi dulu," tutur Hanifa sembari menarik tangan temannya.

Hendak kukejar langkah Hanifa, tiba-tiba Siska mencegahku.

"Ingat Azmi! Kartu AS-mu ada ditanganku!" ancamnya.

Aku mengacak rambut frustasi. Bingung harus berbuat apa, aku menyakiti hati Hanifa. Walaupun belum ada rasa diantara kami, tapi mengerti, jika sakit melihat calon suami jalan berdua dengan perempuan lain.

"Siska, aku sudah bilang, perasaan tidak bisa dipaksakan. Mengertilah!" seruku mulai murka.

"Tapi aku tidak rela kamu bersama Mahasiswi baru itu!" serunya juga tidak mau kalah.

"Siapa yang bilang?"

"Harun," jawabnya lugas.

Bodoh. Aku memang bodoh. Aku hanya berniat berbagi cerita kepada Harun, tapi sialnya Siska mendengar pembicaraan kami. Dia bahkan bertanya langsung pada Harun, benar-benar kesalahan besar. Tapi, setidaknya rencana mengundang anggota BEM sudah kubatalkan, aku harap bisa mengurangi kesalahanku.

"Sebelumnya kamu bisa mengelak, tapi sekarang tidak lagi. Aku tahu semuanya," tutur Siska.

"Dengar Siska! Semua tidak akan berubah dengan kamu melakukan hal menjijikan seperti ini." Kuatur napas, berharap paru-paru kembali normal.

"Dengan memaksa dan mengancam, kamu pikir aku akan takluk? Tidak. Jadi kumohon berhentilah. Demi nama baik kamu."

Siska berdecak, dilipatnya tangan depan dada.
"Menjijikan? Nama baik? Persetan dengan itu semua. Sejak awal, aku sudah bertekad mendapatkanmu. Jika aku tidak bisa mendapatkanmu, maka Mahasiswi baru itu juga tidak! Ingat itu!" Serunya seraya pergi meninggalkanku dengan belenggu yang menjerat.

Aku bingung. Tidak mungkin mundur, sedangkan hari bersejarah itu sudah diatur. Hanifa, maapkan aku.

***

Aku berjalan gontai memasuki rumah. Dalam perjalanan pulang, sudah kucoba menghubungi Hanifa. Tapi, jangankan menjawab, sekedar membaca pesan dariku saja tidak. Pasti dia marah.

Ck, aneh. Iyalah pasti marah, siapa yang rela melihat calon suami berjalan mesra dengan perempuan lain tanpa sepengetahuannya. Ah, tidak pantas rasanya disebut laki-laki baik. Aku bahkan sedang mencoba berhijrah, tapi kenapa seperti ini?

"Nak!" seru Ibu saat aku melangkahkan kaki menuju kamar kebesaran.

Aku menoleh, dan seketika terperanjat mendapati dia sedang duduk manis bersama dosen statistika itu.

Menikah Muda #Wattys2019 [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang