Part 23

1.8K 143 10
                                    

Sebelum baca, yuk sedekah! Vote tulisan ini. Hatur nuhun ❤

Aku terkulai lemas di lantai, dingin. Tengah malam tergeletak tak berdaya dengan luka lebam, tidak lupa sudut bibir yang mengeluarkan darah segar.

Ya, aku dihajar habis-habisan oleh Pak Hanif. Sama sekali tak kubalas, karena memang pantas mendapatkannya. Mungkin, ini tidak seberapa dengan yang dirasakan istriku.

Bahu Pak Hanif naik turun, mengatur napas karena emosi yang meledak. Aku tersenyum getir. Di dekat pintu, Arumi menutup mulut dengan air mata yang sudah membanjiri pipinya. Entah apa yang dipikirkannya, yang terlitas hanya ada nama Hanifa. Aku ingin bertemu dengannya, penyesalan sudah memenuhi relung hati.

"Saya sudah bilang sebelumnya. Jangan sakiti Hanifa! Membuatmu babak belur tidak cukup. Ingat! Kalau sampai Hanifa terluka barang sedikit saja, tamatlah riwayatmu!" Sorot matanya tajam menghunus hati yang sudah perih.

Dengan keras, Pak Hanif membanting pintu serta merta membawa Arumi yang masih setia membisu dengan Air mata.

Badanku terasa remuk dan perih di beberapa bagian. Aku tersenyum getir, tak kuasa meneteskan air mata. Jangan katakan cengeng! Karena, ini lebih sakit dari kehilangan.

Aku mencoba berdiri dengan susah payah, hawa dinging menusuk pori-pori, menggetarkan tubuh yang sudah tak berdaya. Susah payah, mencoba berjalan. Walau terseok-seok, akhirnya bisa sampai di mobil.

Untuk sesaat, aku mengatur napas. Ini kenyataan yang membuatku sadar arti kehadiran seseorang. Ternyata benar pepatah mengatakan, laki-laki akan hancur karena perempuan, dan aku menjadi buktinya.

Menerawang jauh masa-masa sebelum statusku menjadi suami. Kedekatanku dengan Hanifa tidak disengaja. Kepololosannya, wajah yang selalu tersenyum membuatku ingat bahwa selama pernikahan, semua memudar begitu saja. Lagi, karena aku.

Air mata mulai menganak sungai tatkala ingatanku menerawang jauh saat meminangnya, menyakinkan dia agar bisa belajar saling mencintai, dan ... aku berdosa karena dia belum tersentuh olehku.

Aku menangis dalam diam di sini, sendiri berteman sepi tanpa sandaran. Hanifa, kembalilah. Aku janji, tidak akan mengulang kesalahan yang sama. Aku baru menyadari bahwa kehadiranmu begitu berarti. Laki-laki bodoh ini siap menerima hukuman apapun, tapi tidak untuk perpisahan.

Kuputar kunci mobil, dan menacap gas secara perlahan. Menyusuri jalanan yang sepi. Masih dini hari untuk mencari seseorang.

Selama perjalannan yang terlintas di pikiranku hanya nama Hanifa. Lalu, dering handphone menyadarkan lamunanku.

Aku mengernyit mendapati Ibu menelpon, dini hari? Rasa penasaran menyusup relung hati. Firasatku tidak enak.

[Halo, Assalamualaikum.]

[Waalikum salam, Azmi, pulang ke rumah!]

Degup jantung berpacu cepat tatkala suara Ayah yang aku dengar. Dari nada suaranya, ada kemaran yang tertahan. Apakah aku akan babak belur untuk kedua kali?

***

Aku terdiam seraya menunduk, sesekali melirik ekspresi Ayah yang dingin dengan tangan disilangkan di depan dada. Di sebelah Ayah, Ibu juga terdiam dengan wadah berisi air dan handuk kecil.

"Yah, biar Ibu kompres dulu luka lebamnya, ya," ujar Ibu kepada Ayah yang masih setia mematung.

Saat Ibu hendak berdiri, Ayah merentangkan tangan sebelah. Mengisyaratkan untuk tetap duduk.

"Biarkan saja, dia sudah dewasa untuk mengobati lukanya sendiri." Ibu terdiam, tanpa mengatakan apapun. Hening.

"Azmi," ucap Ayah setelah sekian lama diam. Aku mendongkak, menatap Ayah yang juga menatapku, dingin.

Menikah Muda #Wattys2019 [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang