Part 22

1.8K 144 15
                                    

Sebelum baca, Yuk sedekah! Vote tulisan ini. Hatur nuhun ❤

PoV Azmi

       Untuk kesekian kalinya, aku mengacak-acak rambut. Bodoh! Kenapa malah nama Arumi yang keluar dari mulut ini? Saat kucoba memperbaiki keadaan, pintu hati mulai terbuka untuk gadis remaja itu, tapi pikiranku masih dipenuhi dengan nama Arumi. Aku memang brengsek!

Sudah kucari Hanifa ke penjuru kampus, bahkan bertanya langsung kepada Assyifa, hasilnya nihil. Kamu di mana, Nifa? Dengan rasa bersalah yang sudah menggunung, aku tak akan patah arang untuk berusaha mencari gadis remaja bersatuskan istri.

Sejenak berpikir, mencari celah kemungkinan ia berada saat ini. Ah, iya ... tentu saja, kemana lagi kalau bukan pulang ke rumah. Sudah kuabaikan jam mata kuliah yang kadung terlambat, bolos saja sekalian. Tidak ada pilihan lain, demi kelangsungan rumah tanggaku.

Dengan cepat kuberlari menuju parkiran, tidak kuabaikan pandangan orang-orang tehadapku. Setelah sampai dan masuk mobil, langsung kutancap gas, pergi membelah jalanan.

Dalam hati terus merapal doa dan menggumamkan nama Hanifa. Aku tidak mau berpisah dengannya, sungguh. Jika ia marah karena kesalahanku, tentu hukuman apapun akan aku terima dengan lapang dada. Namun, bercerai? Tidak akan kubiarkan terjadi.

Setelah lima belas menit mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi, akhirnya sampai di tempat tujuan.

Dari luar rumah tampak gelap, apa mungkin Hanifa belum pulang? Perasaanku tidak enak, bergegas masuk. Rumah tidak dikunci dan ... sepi.

Aku menyerukan namannya dan mencari ke setiap ruangan. Namun, sama sekali tidak kudapati Hanifa. Aku terkulai lemas di lantai kamar tatkala lemari baju Hanifa kosong. Dada terasa sesak, antara marah, sedih, dan menyesal menjadi satu, bergejolak tak menentu. Ya Allah, ia benar-benar pergi.

Kukeluarkan gawai dari saku celana, berharap mengetahui keberadaannya. Namun, saat nomor Hanifa tersambung, deringnya menggema di ruangan ini. Kucari sumber suara, jantung terasa melompat. Ia bahkan tidak membawa handphone. Lantas, di mana Hanifa berada?

Terlintas untuk menelfon Arumi, menanyakan keberadaan Hanifa. Namun, kurungkan. Besar kemungkinan ia akan ikut panik. Ck, bodoh! Disaat seperti ini, aku masih sempat mengkhawatirkan Arumi. Inikah alasan Hanifa meninggalkanku? Karena Arumi.

Jujur, awal menikah, perasaanku terhadap Hanifa hanya sebatas kasihan. Dua hari pasca menikah, perasaan yang sempat kukubur dalam kenangan kelabu kembali muncuk ke permukaan. Saat aku tinggal satu atap dengan Arumi, walaupun statusku berubah saudara. Namun, harus aku akui, Arumi masih bertahta di singgasana hati.

Aku menengadah menatap langit-langit kamar, menerawang jauh sebelum kejadian ini. Ya, tentang perlakuanku kepada Hanifa, saat ia menyajikan makanan untukku, tapi bayangan Arumi yang terlintas. Saat pembicaraan ringan kami selalu terselip nama Arumi, semua seolah kaset rusak yang terus berputar. Setelah semua kejadian terekam jelas, aku sadar telah menyakiti gadis kecil yang harusnya kubahagiakan. Hati sakit membayangkan jika posisiku menjadi Hanifa. Aku salah, Kamu di mana Hanifa?

***

Kulirik jam yang melekat di pergelangan tangan, pukul 23.30 WIB. Jalanan mulai lengang, pertanda tengah malam datang. Aku membuang nafas kasar, sudah beberapa kali mengitari jalanan yang kemungkinan Hanifa lewati. Karena tidak tahu harus menghubungi siapa lagi, kuputuskan mencari Hanifa sendiri. Walaupun tahu semua sia-sia. Namun, hanya ini yang bisa kulakukan.

Aku menepikan mobil di salah satu warung pecel lele. Lapar sudah tak bisa kutahan. Sedari siang belum ada makanan yang  masuk ke perut. Dengan gontai, aku memasuki warung yang  ramai pembeli. Sengaja menduduki kursi paling ujung dekat pintu masuk, agar semilir angin mudah masuk dan menerpa tubuh, menenangkan. Aku tersenyum miris, di saat pasang lain makan bersama di luar, aku sendiri di sini, bertemankan sepi dan gulana. Ah, hati tercubit tatkala mengingat belum pernah sekali pun mengajak Hanifa keluar rumah sekedar mencari angin. Tenpa terasa, sudut mataku berair. Suami yang buruk bukan? Aku bahkan tidak tahu makan kesukaannya, hobi dan hal lain yang selayaknya pasangan ketahui. Hanifa ... maaf.

"Dek, mau pesan apa?" tanya pelayan, menyadarkan dari anganku.

"Ah, iya. Pecel lele satu porsi dan teh tawar hangat," jawabku seraya membetulkan posisi duduk. Pelayan itu mengangguk dan berlalu dariku.

Sembari menunggu, aku sengaja mengeluarkan gawai. Membuka media sosial. Lagi, senyum miris aku terbitkan. Bahkan media sosial Hanifa aku tidak tahu, hanya Whatsapp sebagai penghubung kami.

Sebuah ide terlintas di pikiran. Sengaja stalking akun Arumi, karena kau yakin, Hanifa berteman dengan kakak iparnya di Facebook. Aku terus men-scoll wall Arumi, dan ... Yes! Ketemu. Akun bernama 'Nifa', tidak salah lagi. Foto profilnya seorang gadis cantik memakai gamis dan jilbab hijau tosca, itu istriku.

Tanpa menunggu, aku melihat isi facebooknya. Tidak ada yang spesial, sepertinya ia jarang up date status. Namun, hatiku terusik dengan status terakhirnya.

"Aku menyerah, sampai di sini saja."

Rasa sesak seolah memenuhi rongga dada. Kulihat waktu yang terakhir ia up date status, pukul 09.00 WIB. Waktu setelah kejadian pagi tadi.

Shit! Aku mengusap wajah dengan kasar. Benar-benar bingung harus berbuat seperti apa.

"Silahkan, Dek," ujar pelayan membawa pesananku. Aku tersadar dan tersenyum kepada pelayan saraya mengucapkan terima kasih. Aku harus punya tenaga untuk mencari Hanifa.

Makanan yang tersaji di meja tandas tanpa sisa hanya  dengan waktu  sepuluh menit. Setelah membayar, aku bergegas melanjutkan perjalanan. Segala kemungkinan terjadi, mau tidak mau aku harus menemuinya.

***

Aku mengatur nafas, mencoba mengumpulkan keberanian. Tidak ada pilihan lain, lebih baik seperti ini dari pada terus dihantui rasa khawatir.

Setelah hati benar-benar siap. Aku mengetuk pintu rumah yang dulu sempat ditinggali. Sampai ketukan ketiga, tidak ada sahutan. Mungkin sudah tidur, mengingat hari sudah sangat larut.

Aku membalikan badan, bergegas pergi. Namun, suara bariton menginterupsiku.

"Azmi, kenapa malam-malam ke sini?" Sontak membalikkan badan, mendapati Pak Hanif berdiri di ambang pintu. Dari raut wajahnya, terlihat sekali baru bangun tidur. Tidak enak telah mengganggu istirahtnya, tapi sekali lagi, tidak ada pilihan lain.

Detak jantung berpacu lebih cepat, berlomba dengan keringan dingin yang mulai bercucuran. Sungguh, ketakutan mengurungku.

"Maaf mengganggu tengah malam, saya mau bertanya. A-apa Hanifa a-ada di sini?" tanyaku gugup.

Ia terdiam. Tidak lama kemudian, tangannya meremas ujug kerahku dengan tatapan tajam. Rahangnya mengeras. Dengan tenang mencoba melepas cengkraman Pak Hanif, sudah kusimpulkan, Hanifa tidak ada di sini.

"Kau apakan adikku?!" bentaknya tepat di depan wajahku.

Aku memejamkan mata, pasrah dengan segala kemungkinan di depan mata. Jika harus babak belur, biarkan saja. Aku ikhlas, karena itu tidak sebanding dengan luka yang kuberi kepada Hanifa.

"Jawab! Apa maksudmu datang ke sini menanyakan keberadaan Hanifa?!" Cengkramannya semakin kuat, sampi kurasakan sakit di bagian leher belakang.

Entah harus menjawab apa dan bagaimana menjelaskan kejadian yang sebenarnya. Jikalau jujur, maka Arumi pun ikut terseret. Ya Allah, aku harus bagaimana?

***

Alhamdulillah up lagi. Maaf menunggu lama 😄

Semoga kalian suka 😊
Menerima krisan, lho 😆
Salam hangat dari Mahmud Kece 😍

        

Menikah Muda #Wattys2019 [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang