Part 16

1.9K 129 10
                                    

Sebelum baca, yuk sedekah! Vote tulisan ini. Hatur nuhun 🙏

"Kamu tahu Arumi itu ...," ucapnya menggantung seraya melirikku sekilas, lalu kembali menatap langit-langit kamar.

Aku menatap wajahnya dari samping, walau di bawah lampu temaram, jelas sekali siluet wajah menenangkan darinya. Terpesona, katakanlah begitu. Tidak masalah bukan? Dia suamiku.

"Em, tidak jadi," ujarnya membuyarkan angan sesaat. Aku menatapnya heran. Aneh sekali, tiba-tiba mengatakan tentang Kak Arumi, lalu ia sendiri yang mengurungkan niatnya.

"Kenapa dengan Kak Arumi?" tanyaku terlanjur penasaran.

Suamiku menoleh. Kami saling menatap, mencari sesuatu yang mampu meyakinkan diri sebagai jawaban atas keraguan masing-masing.

"Tidak ada. Hanya mau bilang, kalau aku juga mengenal Arumi," jawabnya singkat lalu membalikkan badan, memunggungiku.

Heran. Jadi, ia hanya mau mengatakan hal sepele. Ck, tanpa dia bicara seperti itu, semua orang juga tahu. Lah, Kak Arumi 'kan istri dosennya sendiri. Aku menggeleng, lalu memejamkan mata. Melepas lelah dan mengarungi lautan mimpi.

Dug! Prangg!
Baru saja mata terpejam, terdengar suara benda berjatuhan dari dapur. Aku segera bangun dan berlari ke tempat yang dituju.

Betapa terkejutnya saat kudapati Kak Arumi terduduk lemas di lantai dapur.

"Ya Allah, kenapa bisa begini?" tanyaku seraya membereskan sisa pecahan piring dan gelas.

"Arumi! Kamu tidak apa-apa?"

Aku menoleh saat mendengar suaranya. Tubuhku membeku melihat siapa yang sedang membantu Kak Arumi berdiri. Gurat khawatir terlihat jelas di wajahnya. Selama mengenalnya, baru kali ini kudapati ia sekhawatir sekarang. Oh, dadaku terasa sesak.

"Yaa Allah, kamu kenapa Arumi?" tanya Kak Hanif datang tiba-tiba.

Melihat kedatangan Kak Hanif, suamiku langsung melepas kontak fisik dari Kak Arumi. Sedangkan aku? Sama sekali tidak ia pedulikan. Dengan terburu-buru membereskan pecahan piring dan gelas, hati sudah tidak karuan. Ah sial! Kenapa juga air mata malah ikut keluar.

"Aw!" pekikku saat serpihan piring melukai tanganku.

Darah segar keluar dari jari tengah, aku mendongkak menatap tiga orang yang berdiri tak jauh dariku. Tidak ada yang menoleh atau bertanya tentang keadaan gadis remaja ini, miris sekali.

Aku bangkit dan berjalan menuju westafel, melewati mereka yang menganggapku tidak ada. Air mengalir membersihkan darah yang bercucuran bersamaan dengan air mata yang sudah menganak sungai.

Aku seperti tak kasat mata bagi mereka. Rasa sesak memenuhi rongga dada, tak kuasa berlama-lama di sini. Tanpa mengucapkan apapun, segera melenggang pergi menjauh dan kembali ke peraduan. Tempat paling nyaman untuk gadis malang sepertiku.

Dengan kasar kubanting pintu kamar, menghempaskan diri di kasur pengantin. Sengaja menarik selimut hingga menutupi seluruh badan, bersembunyi untuk meluapkan rasa sakit yang tak terkira. Aku pengantin remaja dan menangis di malam pertama.

***

Terdengar sayup-sayup suara merdu yang sama tempo hari. Seperti magnet menarik besi, aku terbangun dan bersila di atas kasur. Sebelum itu, meraba-raba mata yang terasa sakit. Ah, pasti karena menangis semalaman.

Kali ini aku langsung bergegas ke kamar mandi. Membersihkan diri, berharap memori semalam ikut hanyut oleh guyuran air yang membasahi badan.

Sepuluh menit kemudian ritual mandi selesai. Sudah siap dengan pakaian rumah, toh kami izin tidak masuk kuliah selama tiga hari. Saat hendak melangkah, suara Kak Azmi menginterupsi.

Menikah Muda #Wattys2019 [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang