Part 24

1.7K 139 5
                                    

Sebum baca, yuk sedekah! Vote tulisan ini. Hatur nuhun ❤

Seminggu telah berlalu, tapi ... aku belum juga menemukan Hanifa. Setiap hari, tanpa rasa lelah, mencari keberadaannya, menunggu ia di depan gerbang kampus atau menyambangi kelas Hanifa. Namun, semua sia-sia. Dirinya sama sekali tidak meninggalkan jejak. Apakah kamu ingin menghukumku seperti ini, Nifa?

Aku termangu di sudut ruangan kedap suara, ada kaca tak tembus pandang yang menghalangi ruangan ini dengan tempat fotokopi. Ya, aku berada di kios fotokopi depan SMA, tempat ayah mengajar. Karena sibuk mencari Hanifa, aku lupa menyambangi konter pulsa dan juga kios fotokopi. Apapun yang terjadi, aku harus bertanggung jawab pada pekerjaanku.

Hari ini lumayan ramai, sesekali kulihat ke ruangan fotokopi lalu melirik gawai yang sepi sejak seminggu yang lalu. Aku tersenyum miris, menghadapi kenyataan bahwa orang terdekat menjauh karena kebodohanku sendiri.

Pikiranku kembali menerawang, seminggu mencarinya seperti orang gila. Bahkan, aku membuat selebaran dan menyatakan istriku hilang. Di kampus, fokusku berceceran tak menentu. Arumi, Pak Hanif, orangtua menjauhiku, merasa hidup tak berarti. Hanya Harun yang setia membantu dan mengerti situasiku saat ini.

Dering handphone membuyarkan lamunanku. Tertera nama 'Harun' di layar yang terus berkedip. Segela kujawab panggilannya, firasat merasa yakin ini tentang Hanifa.

[Assalamualaiku, Halo.]

[Waalaikum salam, Az! Gue tadi lihat Hanifa!] Aku tersentak seraya berdiri, tanpa menunggu lama, kuraih kunci motor.

[Dimana?]

Kudengar Harun menyebutkan alamat yang membuat darahku mendidih. Seluruh rasa menyatu memenuhi rongga dada. Kesal, senang, lega dan ... rindu. Ya, aku merindukannya, sangat.

"Fi, gue tinggal dulu, kalau ada masalah hubungi gue!" seruku kepada Lutfi--salah satu pegawai--sebelum sampai di motor.

Setelah memastikan helm dan jaket terpasang dengan benar, motor yang kukendarai melesat membelah jalanan yang mulai macet. Tanpa peduli keselamatanku sendiri, memacu kuda besi dengan kecepatan tinggi. Pikiran berkecamuk mengahdirkan rasa khawatir. Club, kenapa Hanifa ada di sana?

***

Sial. Harusnya aku sudah di tempat tujuan, tapi ... sekarang malah berurusan dengan polisi.

"Kenapa anda tidak hati-hati? Sudah tahu kan ini jalanan umum?" tanya sang polisi yang kutahu namanya Ardi Bintara, terlihat di name tag-nya.

Aku meghela napas, mencoba menahan emosi. "Pak, boleh saya menelepon seseorang dulu? Soalnya urgent," ujarku dengan hati tak menentu.

Polisi itu berpikir sejenak sebelum akhirnya memberikan izin. Aku langsung menelpon Harun, agar ia bisa mengikuti Hanifa. Jangan sampai kehilangan jejaknya lagi.

"Maaf, Pak. Saya buru-buru. Ini penting untuk kehidupan saya," tuturku lirih.

"Tapi, jangan sampai mencelakakan orang lain juga," ucap sang polisi seraya melipat tangan di depan dada.

Ya, aku mengalami insiden, hampir mencelakakan orang lain. Tidak sengaja menyerempet seorang polisi yang hendak menaiki motornya. Untung saja ia bisa menghindar dan hanya kena motornya. Namun, permasalahan menjadi panjang tatkala ia membawaku ke kantor polisi.

"Motor dan SIM kamu, saya tahan." Aku menatapnya tak percaya. Bukankah sudah kukatakan sebelumnya keadaan sedang urgent. Emosiku mulai tersulut.

"Tapi, Pak. Keadaan sedang urgent, jadi ...,"

"Saya yang antar," ucapnya menyela.

Aku terdiam, tak percaya dengan yang kudengar. Lalu, tiba-tiba ia menyodorkan helmku dan tersenyum.

Menikah Muda #Wattys2019 [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang