Part 20

1.9K 145 16
                                    

Sebelum baca, yuk sedekah! Vote tulisan ini, hatur nuhun 🙏

Kubiarkan kaki ini melangkah tanpa tujuan. Hati kalut dan mata terasa sakit. Mungkin terlalu lama menangis. Di saat seperti ini, aku butuh sandaran. Menuangkan rasa sakit yang amat dalam. Tapi, kemana harus kucari? Bahkan, bercerita kepada saudaraku sendiri tidak bisa.

Langkah terhenti tatkala tetesan hujan mulai membasahi bumi. Aku menengadah menatap awan mendung. Bahkan, langit ikut prihatin akan nasib ini. Kulihat sekeliling yang mulai sepi, beberapa kendaraan menepi, mencari perlindungan diri. Aku pun sama, berteduh ke tempat terdekat. Karena kaki sudah sangat pegal, akibat terlalu lama berjalan.

Aku berjongkok di depan ruko yang sudah tutup, mengusap-usap kedua tangan agar dingin berkurang. Air hujan semakin deras, suaranya merdu mengikis kegundahan hati.

Kulirik jam yang melingkar di tangan, pukul 17.30 WIB. Ah, sebentar lagi malam datang, tapi tidak tahu berada di mana. Segera kukeluarkan benda pipih berwarna putih, mencoba menguhungi seseorang. Sial, gawaiku mati. Bagaimana ini?

Aku berdiri, melihat sekeliling. Mencari bantuan atau siapa saja yang mungkin kukenal. Sepanjang jalan penuh dengan orang yang berteduh, tapi tidak ada satu orang pun yang ku kenal.

Rasa khawatir dan takut memenuhi relung hati. Bagaimana aku pulang? Ukh, bodohnya! Harusnya langsung pulang, bukan malah berjalan tak tentu arah. Kumat deh labilnya, rutukku dalam hati.

Aku kembali jongkok, menatap jalanan yang sudah dipenuhi air hujan. Andai saja aku bebas seperti air hujan, bisa mengalir kemana saja. Sayangnya hanya angan. Teringat dengan kejadian sebelumnya, membuat hatiku dipenuhi rasa sesal dan sakit. Malang nian nasibku.

"Hei! Kamu Hanifa, kan?" Aku mendongkak tatkala seseorang memanggil namaku.

"Siapa, ya?" tanyaku, heran. Sosok laki-laki dengan postus tinggi dan tegap. Kulitnya putih dengan wajah seperti --oppa-- boy band Korea, tapi ... ia memakai seragam polisi. Tunggu! Kenapa polisi menghampiriku? Sontak berdiri, menengok kiri-kanan. Keheranan sendiri, apa aku berbuat salah?

"Ma-maaf, Pak. Saya tidak salah apa-apa," ujarku terbata, rasa takut mendera. Ia menatapku, lalu tidak lama kemudian, kudengar ia tergelak hingga bahunya naik turun. Tentu saja aku keheranan.

"Kamu tidak berubah, ya. Masih tetap lucu seperti dulu." Aku menunduk malu, kenapa ia sok akrab sampai-sampai berkata seperti itu.

"Kamu tidak ingat siapa aku?" tanyanya, berubah serius. Aku meliriknya sekilas lalu menggeleng dengan menundukkan kepala.

"Ya ampun, apa kamu tidak ingat dengan tetanggamu dulu? Teman SD Kakakmu," tuturnya berusaha mengingatkanku.

Aku menelisik wajahnya, mencoba mengingat-ingat sosok yang berdiri di depanku. Wajahnya memang familiar, apakah ia ....

"Kak Ardi!" seruku saat satu nama terlintas di benak.

"Pintar," ucapnya seraya mengacak ujung jilbabku.

Aku tidak menyangka, orang yang dulu sering mengganggu dan tiap hari datang ke rumah dengan alasan main bersama Kak Hanif, ia sudah sukses menjadi polisi. Hebat! Ah, rasanya hatiku sedikit membaik, bisa melupakan sejenak tentang masalah rumah tangga.

"Wah, nggak nyangka, deh! Aku kira siapa, soalnya pangling," ucapku dengan menatapnya dari ujung rambut sampai ujung sepatu.

"Benarkah? Tapi, kok kamu dari dulu masih saja sama, imut," katanya. Aku memukul lengannya pelan. Lalu, kami larut dalam obrolan tentang masa lalu, diselingi dengan tawa dan kekonyolannya. Sungguh, obat hati yang sedang dirundung duka.

***

"Terima kasih, Kak. Mau mampir dulu?" tanyaku saat turun dari mobil Kak Ardi.

Ya, aku diantar olehnya. Ia yang menawarkan dan memang tidak ada pilihan lain, mengingat hari sudah gelap dan tidak dapat menghubungi siapapun.

Menikah Muda #Wattys2019 [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang