Part 17

2K 138 8
                                    

Sebelum baca, yuk sedekah! Vote tulisan ini. Hatur nuhun 🙏

Sepi. Kami saling diam dalam pikiran masing-masing. Lama rasanya duduk bersama dengannya. Pemandangan di luar mobil lebih menarik, membuatku merasa nyaman dibanding berdiam diri dengan kemelut beban menyesakan dada.

"Nifa?" tanyanya, memecah keheningan. Aku menoleh mendapati ia menatapku hangat, tapi segera kupalingkan pandangan.

"Em. Iya, Kak," jawabku tetap memandang jalanan.

Kurasakan tangan kekar mengelus kepala yang dibalut jilbab, lalu turun ke tangan. Suamiku menggenggam tanganku. Seperti tersengat listrik, darah bersesir dan pipi memanas. Aku tidak berani menatapnya, takut hati ini goyah karena sorot mata Kak Azmi.

"Apa kamu masih marah, hm?" tanyanya. Aku menoleh, menatapnya yang sedang menyetir. Apa pertanyaan itu masih penting? Ah, kesal sekali jika mengingat kejadian semalam.

"Maaf, memang aku yang salah." Baguslah kalau sudah sadar, setidaknya ia masih bisa ku sebut laki-laki bertanggung jawab, yang mengakui kesalahan.

"Hm," gumamku pelan. Seulas senyum terbit di bibirnya, mungkin merasa lega.

Jujur, aku belum bisa memaafkannya. Tapi, tidak mau memperpanjang masalah, menyudahi lebih baik bukan? Cukup rasanya dibuat tersiksa dengan ketidak jujurannya. Ah, ngomong-ngomong tentang kejujuran ....

"Kak, siapa sebenarnya Kak Arumi untuk Kakak?" tanyaku spontan.

Ckitttt! Jdug!
Kak Azmi tiba-tiba menginjak rem, kepalaku mencium dashboard mobil, hingga semua menjadi ... gelap.

***

Kepalaku terasa pusing dan berkedut. Bau aroma obat menusuk hidung. Sayup kudengar suara laki-laki memanggil namaku. Dengan susah payah kubuka mata secara perlahan, saat pandangan sudah jelas, orang pertama yang kulihat adalah suamiku. Tunggu! Matanya berair, raut wajah yang sama saat sedang mengkhawatirkan Kak Arumi. Apakah dugaanku benar?

Grepp!
Tiba-tiba tubuhku dipeluk, erat sekali. Kudengar dia merapalkan syukur karena aku sudah sadar. Sedangkan, diri ini tidak berkutik. Membeku dengan debar jantung yang semakin menjadi. Rasa membuncah memenuhi rongga dada, air mata menyeruak begitu saja. Benarkah ini Kak Azmi yang aku kenal?

"Alhamdulillah, terima kasih Yaa Allah, akhirnya kamu sadar juga," ucapnya seraya mengurai pelukan.

Sekali lagi, ia membuat dadaku kembang kempis. Tangannya mengusap pipi dengan lembut, menghapus jejak air mata dan tersenyum hangat. Oh, jika ini mimpi, biarkan aku lebih lama tertidur. Setidaknya, meneguk rasa bahagia walau tidak di dunia nyata. Aku haus perhatiannya.

"Maaf, aku memang ceroboh. Sekali lagi maaf," tuturnya dengan wajah menghiba.

Tidak tega melihatnya seperti ini. Aku tersenyum dan mengangguk, mencoba membuat ia tenang.

"Sudah, Kak. Nifa enggak apa-apa kok," ujarku tersenyum. Suamiku menghela nafas lega.

"Syukurlah, setelah kita sampai rumah, sebaiknya kamu istirahat saja. Biar aku yang membereskan semuanya." Aku hanya mengangguk patuh, dengan keadaanku sekarang, tidak mungkin beraktivitas terlalu banyak.

Hari ini, sesuai kesepakatan sebelumnya, kami tinggal di rumah ibu, sedangkan beliau tinggal bersama Kak Hanif. Rencana tinggal bersama ibu tiga hati diurungkan, mengingat kami harus kembali beraktivitas sebagai Mahasiswa.

Ada hal yang menggajal pikiran, tentang sebab kejadian ini. Ya, pertanyaanku belum dijawab oleh Kak Azmi. Ingin kembali kulontarkan pertanyaan serupa, tapi mengingat keadaan sekarang, mungkin sebaiknya disimpan dulu. Semoga saat aku menanyakan hal yang sama, Kak Azmi menjawabnya dengan jujur dan terbuka. Semoga.

***

Pagi cerah menyapa, memberi semangat bagi insan untuk mulai beraktivitas. Aku bersenandung, memulai hariku sebagai istri dari Muhammad Azmi Haidar, suami tercinta. Ya, hatiku tidak bisa berbohong. Rasa itu sudah mulai tumbuh.

Hari ini terakhir kami cuti. Libur tiga hati lumayan memberi efek untuk hubunganku dan Kak Azmi. Aku mulai terbiasa berbicara tentang berbagai hal dengannya, bertukar cerita layaknya pasangan bahagia. Jangan tanyakan malam pertama atau semacamnya, itu masih jauh dari pikiranku. Sekarang, aku hanya ingin mengenal suamiku, semuanya. Walau banyak pertanyaan yang belum terjawab, tapi seiring berjalannya waktu, semua akan muncul kepermukaan.

"Ah, akhirnya beres juga," ujarku seraya mengusap peluh di kening.

Setelah pekerjaan rumah selesai dan ditutup dengan memasak sarapan, aku bergegas ke kamar mandi, membersihkan diri sebelum Kak Azmi selesai joging.

Sepuluh menit kemudian, aku sudah rapi dan wangi, siap untuk menyambut suami. Saat memasuki ruang makan, aku terkejut mendapati Kak Azmi duduk dengan khusyu melahap makanan yang sebelumnya sudah tersusun rapi di meja.

"Lho, kapan Kakak datang?" tanyaku heran sembari duduk di depannya.

Kak Azmi meneguk air putih sebelum menjawab pertanyaanku. Lalu dia tersenyum simpul.

"Waktu kamu di kamar mandi," jawabnya, lalu melanjutkan makan. Senang melihatnya lahap memakan masakan yang kubuat. Lelahku terbayar sudah.

"Masakan kamu enak, sama kayak Arumi."

Seketika senyum dibibir pudar. Asa yang melambung terhempas begitu saja. Sabarlah hati, semoga air mata mengerti untuk berkompromi. Mengeratkan genggaman pada sendok yang kupegang, mencoba menahan emosi dan kekecewaan, membiarkan rasa ini mengendap sementara. Jadi, ia makan begitu lahap karena rasa masakannya persis buatan Kak Arumi. Lalu, aku dianggap apa baginya? Tidak adakah kelebihan dariku yang bisa ia banggakan? Sehingga dengan enteng membandingkan gadis 17 tahun bersatuskan istri dengan perempuan lain. Aku tersisih.

***

Selamat malam, maaf ya up datenya cuma sedikit. Semoga di part selanjutnya bisa lebih panjang 😄

Semoga kalian suka 😊
Ditunggu krisannya 😄
Salam hangat dari Mahmud kece ❤






Menikah Muda #Wattys2019 [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang