Part 21

1.9K 149 21
                                    

Sebelum baca, yuk sedekah! Vote tulisan ini, hatur nuhun 🙏

Cahaya kekuningan belum sepenuhnya keluar dari peraduan, tapi aku sudah siap untuk pergi dari rumah Kak Hanif. Sampai lebih dulu di kampus lebih baik, demi menghindari sosoknya. Aku hanya ingin tahu, seberapa khawatir Kak Azmi kepada istrinya.

"Fa, kamu yakin mau berangkat sepagi ini? Belum sarapan, lho," tanya Kak Arumi, gurat khawatir terlihat jelas di wajahnya.

Dengan senyum terpaksa, aku mengangguk. Bagaimana pun, Kak Arumi tidak berhak disalahkan, ini rumah tanggaku. Kalaupun ada yang disalahkan, tidak lain adalah Kak Azmi.

"Iya, Kak. Nanti aku sarapan di kantin saja." Aku melangkah keluar rumah, Kak Arumi mengikuti dari belakang.

"Nanti bareng kita saja, ya. Kalau Kak Hanif tanya kamu berangkat sepagi ini, bagaimana?" Langkah terhenti mendengar pertanyaannya. Benar juga, tidak semudah itu mengelabui si bocah tua. Sejenak aku berpikir, mencari alasan yang tepat.

"Bilang saja dijemput Kak Azmi," usulku yang dibalas gelengan kepala dari kakak ipar.

"Kenapa beralasan seperti itu? Tidak baik berbohong." Aku menatapnya, mencari sesuatu yang disembunyikan Kak Arumi.

"Aku belajar dari Kak Arumi dan Kak Azmi," ucapku lolos begitu saja. Kekagetan tampak jelas dari raut wajah Kak Arumi, mungkin tidak menyangka aku berkata demikian.

Tanpa mengucapkan apapun lagi, bergegas keluar dari pelataran rumah Kak Hanif, dari jauh kulihat Kak Arumi mematung dengan raut wajah murung. Entahlah, apapun yang ia pikirkan, aku tidak peduli. Kali ini egois bertahta di hati.

Berjalan menyusuri trotoar ditemani semilir angin pagi, mengusik hati dengan tenang. Kendaran yang berlalu-lalang belum ramai, udaranya masih segar dan memberikan cukup celah untuk menjernihkan pikiran.

"Hei!" sapa seseorang saat aku baru saja sampai di halte bus dekat komplek perumahan yang Kak Hanif tinggali.

Aku menoleh mendapati Kak Ardi tersenyum dengan seragam kebesarannya, ia tampak gagah duduk di motor ninja berwarna merah. Jujur aku terkesima, bukan karena motornya, tapi karena sosoknya yang berkharisma.

"Fa!" serunya menyadarkanku dari angan sesaat.

"E-eh, Kak Ardi? Kenapa ada di sini?" tanyaku, kikuk. Ia turun dari motor dan menghampiriku dengan helm yang masih dipakai.

"Harusnya aku yang tanya, ngapain kamu pagi buta ada di jalan? Hanif tidak mengantarmu?" Matanya menatapku intens, sukses membuat rasa malu datang kepadaku.

"Ah, iya. Sengaja, soalnya ada keperluan," jawabku berasalan.

"Hm, baiklah. Ayo! Aku antar," tawarnya dengan senyum simpul.

Aku menolaknya dengan halus, tapi Kak Ardi bersikukuh untuk mengantarku, bahkan berdalih menunggu sampai mau ia antar. Ternyata masih sama seperti dulu, pemaksa. Setelah menimbang-nimbang, akhirnya aku menyetujui ajakannya.

Saat menaiki motornya, tidak nyaman rasanya. Jok yang tinggi membuatku pegal, jelas saja, aku memegang pinggiran motor agar tidak bersentuhan dengan Kak Ardi. Bagaimanapun statusku sebagi istri, harus menjaga kehormatan diri ini.

Selama perjalanan, kami berbincang ria, walaupun kadang beberapa perkataannya berbaur dengan suara knalpot, tapi aku terhibur. Sifat humorisnya bertambah sejak terakhir melihatnya. Ah, andai saja suamiku bisa seperti Kak Ardi. Mungkin hari-hari tidak lepas dari canda tawa.

Lima belas menit kemudian, sudah sampai tujuan. Kampus masih terlihat lengang, baru beberapa mahasiswa yang datang. Setelah turun dari motor dan berterima kasih, tiba-tiba Kak Ardi menarik tanganku. Refleks kutarik kembali tangan ini.

Menikah Muda #Wattys2019 [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang