Gadis itu duduk di atas ayunan gantung, menatapi titik-titik cerah yang menghias langit. Satu tetes bening jatuh mengalir dari pelupuk mata, membekas nyata di satu pipi.
Ia menggigit bibirnya, berusaha menghapus ingatan dan memusnahkan semua kenangan.
Tetapi, setelah seperkian menit kemudian, gadis itu menghentikan aktivitasnya. Seluruh air mata itu jatuh, tumpah membasahi baju yang ia kenakan malam ini.
Ia menyerah. Ia harus pergi dari sini.
Sementara di balik jendela, pemuda itu menatap kaca dengan tatapan buram. Tak ada keberanian sedikitpun dalam dirinya untuk membuka penghalang itu.
Dia mengerti, waktu sudah tidak lagi berpihak padanya. Dia sudah terlambat. Gores yang terlalu dalam sudah terlanjur dia lukis di atas sebuah lembar persahabatan.
Pemuda itu terdiam, membisu di pijakannya.
He had no more words to say.
Pemuda itu tahu, gadis itu mengerti, persahabatan mereka sudah tak lagi berwujud nyata seperti awalnya.
Persahabatan itu pecah, berubah menjadi keping-keping kenangan yang memilukan. Berubah menjadi sebuah bagian-bagian kecil yang sulit dilupakan.
Malam itu, ditemani sinar gemintang dan cahaya rembulan, gadis dan pemuda itu berjalan bertolak arah. Menyunggingkankan senyum terbaiknya di dalam bayangan tatapan mata yang terkunci.
Tak perlu menunggu waktu berganti, mereka sama-sama terhentak. Pemuda itu terdiam, begitupula dengan gadis di belakangnya yang mulai bertanya di atas ambang kesadaran.
Can i try to leave these notes?
Can i try to forget those memories?
Can i try it?
And can we leave these all?
KAMU SEDANG MEMBACA
Can Try
Teen FictionKita belajar banyak mengenai luka. Menapaki satu-persatu titik sakit yang tidak terdefinisi. Kita belajar banyak mengenai rasa. Melewati satu-persatu takdir yang tidak terkira oleh memori. Kamu baik, tapi aku tidak. Kamu bahagia, tapi aku tersiksa...